Senja kemarin saya tertegun demi membaca status Bu Rita Maria yang mengabarkan bahwa Chen telah pergi. Saya tidak tahu harus merespons seperti apa disebabkan sangat lamanya interaksi maya saya dengan Chen. Barangkali interaksi kami dimulai di tahun 2009-2010 ketika Chen masih mengelola blognya. Dari sana hingga ke sini, saya dapat melihat evolusi Chen baik secara pikiran maupun secara fisik.
Chen meninggalkan jejak pencarian makna hidup yang tidak lazim—ia selalu mengambil posisi "berada di antara", sambil "masuk ke keduanya".
Karena itulah, Chen hadir dalam banyak wajah yang kadang bertolak belakang. Ia HMI sekaligus IMM. Ia Syiah sekaligus Muhammadiyah. Ia kuliah di kampus Islam, sekaligus juga di kampus kepausan di Vatikan sana. Ia mempelajari sejarah, sekaligus mewarisi sastra. Ia mendukung Palestina dalam melawan Israel sekaligus memperkenalkan tradisi Yahudi di dalam Islam. Ia mengagumi kedalaman kharisma Khamenei namun pada saat yang sama melawan jilbabisasi yang diketuai oleh Khamenei sendiri. Ia sangat mencintai Jawa, sekaligus pernah menjalani hidup sebagai orang Melayu di Penang. Ia mendalami sufisme Wali Bektash, tetapi melalui jalur yang tidak biasa. Semua langkahnya seperti kumpulan nada-nada yang saling bertolak belakang seakan menyimbolkan bara perlawanan yang menyala-nyala.
Perjalanan yang tampak kontradiktif itu justru menuntunnya pada pemahaman baru. Ia mulai melihat kehidupan bukan sebagai sesuatu yang terkotak-kotak. Ia tak lagi melihat agama yang terorganisasi sebagai wahana paling tepat untuk memahami dan menjalani dunia ini. Ia mencari inti, kernel, hakikat paling mendasar—jalan yang universal dan manusiawi.
Di titik itulah Chen menemukan Dekalog. Sepuluh perintah yang, konon, diturunkan Tuhan kepada Musa.
Dengan Dekalog itu, Chen merasa tak lagi asing di tengah tradisi mana pun. Ia menyerap semuanya, menimbangnya lewat sepuluh prinsip itu. Ia ada di antara semua, sekaligus menyatu dengan semuanya.
Esensi Chen mungkin terpantul dari namanya sendiri: Gayatri Muthari atau Gayatri Wedhotami Muthari.
Nama Gayatri lahir dari budaya Hindu-Jawa, sementara darahnya masih bersambung ke Mangkunegara III. Muthari berasal dari akar bahasa Arab. Dulu, ia menulis namanya “Chen Chen Muthahhari”—menunjukkan latar yang makin beragam. Ada darah Tionghoa dalam nama Chen, dan nada-nada Persia dalam Muthahhari. Semuanya melebur dalam tubuh seorang Madura.
Begitulah Chen.
Kini ia menuju alam yang selalu ia impikan: alam tanpa sekat.
Selamat jalan, Mba Chen.
Maafkan jika selama ini kita tak selalu sejalan.
Sumber gambar : FB Almh diedit dengan ChatGPT
0 Comments