Pergulatan Kaum Islam Politik di Balik Gemuruh Pancasila

BPUPKI, Sidang, Kemerdekaan

Bukan mudah untuk menerima Pancasila itu sebagai dasar negara. Buya Syafi'i Ma'arif saja butuh waktu 40 tahun lebih untuk berkisar dari pendukung formalisasi agama ala Masyumi, Ikhwanul Muslimin Mesir, dan Jamaat Islami Pakistan menjadi mendukung Pancasila sebagai dasar negara.

Ada beberapa trauma yang membuat sebagian kalangan terutama kalangan Islam Politik atau kaum Islamis diam-diam masih belum ikhlas menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Pertama dari aspek penetapan Pancasila sebagai dasar negara.

Harus diakui, proses kemerdekaan negara kita ini berjalan dengan tergesa-gesa. Semula, Jepang menokohkan beberapa orang untuk dijadikan anggota BPUPKI. Konstitusi -termasuk dasar negara- dibahas di sana. Jepang menjanjikan untuk memberikan kemerdekaan suatu saat nanti.

Tiba-tiba situasi berubah. Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Mental Jepang langsung down dan menyerah pada sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Tak disangka, terjadi vacuum of power. Pemuda yang -kabarnya- diprovokasi Tan Malaka menculik Soekarno Hatta dan memaksa mereka segera memproklamasikan kemerdekaan memanfaatkan kekosongan kekuasaan itu.

Dalam kondisi yang berubah cepat itulah, Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Saking tergesa-gesamya, naskah proklamasi yang sudah disiapkan tidak sempat dibacakan. Naskah proklamasi diganti dengan naskah yang ditulis secara terburu-buru malam itu di rumah Admiral Maeda dalam kondisi Soekarno sendiri sedang demam malaria. Sedangkan naskah yang sebelumnya disiapkan sebagai naskah proklamasi dijadikan mukaddimah Undang-undang Dasar (UUD).

Dengan kondisi ketergesaan itulah negara didirikan dan dasar negara ditetapkan. Soekarno berjanji bahwa nanti ketika situasi sudah stabil, akan disusun kembali UUD dan dasar negara definitif. "UUD 1945 hanya sementara saja," kata Soekarno.

Pada 1955 diadakanlah Pemilihan Umum Dewan Konstituante yang tugasnya menyusun UUD definitif menggantikan UUD yang masih bersifat sementara itu. Konstituante bersidang selama 4 tahun. Hasilnya, pada 1955 tinggal satu pasal lagi yang belum beres yaitu tentang dasar negara. Menurut Prof Abdul Gaffar Karim dalam dialognya di Mojok, sebenarnya jika sidang Konstituante dilanjutkan, akan disepakatilah Islam sebagai dasar negara.

Soekarno tidak mau hal itu terjadi. Oleh karena itu ia melakukan tindakan ekstra konstitusional berupa kudeta kepada Konstituante dengan mengeluarkan dekrit 1959 yang membubarkan Konstituante.

Dekrit itu mengesahkan kembali UUD 1945 yang sebenarnya adalah UUD sementara itu untuk dijadikan UUD definitif. UUD 1945 adalah sebuah UUD yang sangat presidential heavy sebab disusun untuk menghadapi situasi revolusi yang bergolak. Soekarno yang sejak 1945 kehilangan posisi dominannya tentu suka dengan UUD yang sangat presidensil itu. Sedangkan naskah UUD yang telah selama 4 tahun disusun dengan segala perdebatan dan pergulatan yang melelahkan secara jasmani dan rohani di Konstituante dilepeh begitu saja.

Dekrit itu menyakitkan bagi orang yang merasa hampir menang. Ibaratnya undangan sudah disebar, tetiba calon mertua Anda membatalkan pernikahan lalu mengawinkan anaknya kepada mantan cinta monyetnya. Anda dilepeh begitu saja. Sakit? Tentu. (Tetiba lagu Tulus "Hati-hati di Jalan" terngiang 😂).

Dari aspek penetapan ini terlihat bahwa ada suatu proses yang tidak mulus. Proses ini yang membuat kaum Islamis masih penasaran dan diam-diam masih menyimpan mimpi untuk mengembalikan kemungkinan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Atau kalau tidak bisa menjadi dasar negara, minimal masuk ke dalam aturan perundang-undangan sejak dari UU hingga Peraturan Desa bahkan ke dalam Tata Tertib Sekolah.

Kedua dari aspek politik implementasi Pancasila.

Selepas dekrit dimana Soekarno memusatkan kekuasaan kepada dirinya (menunjuk dirinya sendiri sebagai perdana menteri, menjadi presiden seumur hidup, menunjuk anggota MPR dan DPR sesukanya, menggelari diri dengan berbagai julukan). Tak berhenti di sana, lawan-lawan politiknya terutama dari kalangan Islamis dimasukkan ke hotel prodeo. Partai dan ormas Islam juga dibubarkan.

Pada masa Soeharto, Pancasila kembali digunakan sebagai alat kekuasaan. Dengan semboyan "kembali kepada UUD 1945 secara murni dan konsekuen", Pancasila menjadi alat kontrol kepada warga negara. Pancasila dielaborasi menjadi 36 lalu 45 butir. Lalu dibungkus dengan istilah Sangsekerta Eka Prasetya Pancakarsa. Pancasila berubah menjadi entitas sakral yang diperlakukan seakan-akan ia adalah sebuah mitos yang tidak boleh untuk coba-coba dijangkau.

Bersamaan dengan itu, simbol-simbol negara di-sangsekerta-kan. Dari sana kita kenal istilah Grahasabha Paripurna, Lokawirasabha, Bina Graha, Adipura Kencana, Prasamya Purnakarya Nugraha, dan istilah lain yang semakin meminggirkan simbol-simbol kaum Islamis. Seolah satu fase sejarah kita yakni fase abad ke 15 hingga abad ke 20 -yang diisi oleh era peradaban Islam- hilang. Seakan-akan sejarah kita melompat dari Majapahit langsung ke 1945.

Pancasila menjadi alat untuk membelah identitas. Bila hari ini rakyat terbelah oleh isu radikalisme, orde baru membelah rakyat dengan parameter kesetiaan kepada Pancasila melalui isu ekstrim kanan (Eka) dan ekstrim kiri (Eki). Pancasila diindoktrinasikan melalui rezim BP7 dengan penatarannya.

Tak berhenti di sana, orde baru memainkan Pancasila melalui kartu asas tunggal yang membuat ormas-ormas Islam tidak punya pilihan selain menerimanya dalam kondisi "thaw'an" au "karhan", patuh atau terpaksa. Buktinya setelah orde baru tumbang ormas-ormas dan partai Islam meninggalkan asas tunggal Pancasila itu dan kembali menggunakan asas Islam.

Dari aspek implementasi ini, ternyata Pancasila dihadirkan bersamaan dengan sentralisasi kekuasaan. Sejak sentralisasi era orde lama hingga sentralisasi era orde baru. Ia pernah dihadirkan melalui rezim dengan wajah otoriter, bukan sebagai wajah yang ramah dan demokratis.

****

Dua hal ini memang akan menjadi trauma yang akan terus ada selama tidak ada upaya untuk menanganinya.

Dari aspek penetapan ia sangat kontroversial, ekstraparlementer, dan nirpartisipasi. Dari aspek implementasi ia pernah hadir dalam wajah indoktrinasi dan otoritarianisme yang menakutkan.

Dan kini kita punya BPIP.  Apakah ia akan mengulangi BP7?

Entah.

Selamat hari Pancasila.

Sumber gambar : Wikipedia

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts