Rahbar: Pemimpin Tertinggi Iran yang Lebih Kuat dari Presiden


Di tengah perang Iran-Israel ini, muncul seorang tokoh yang disebut sebagai pemimpin tertinggi Iran. Siapakah dia sebenarnya?

Iran mempunyai model kepemimpinan unik yang disebut Wilayatul Faqih atau Kepemimpinan Ahli Fiqih (Fuqaha). Model ini berakar dari teori kepemimpinan Islam dalam sudut pandang Muslim Syiah. Dalam teori Syiah, seorang pemimpin berfungsi sebagai penafsir hukum Tuhan sekaligus pelaksananya. Oleh karena itu, ia harus memiliki dua kapasitas utama yakni penguasaan terhadap ilmu hukum agama, dan keadilan.

Berdasarkan teori ini, Muslim Syiah meyakini bahwa kepemimpinan Islam tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang atau kepada hasil musyawarah orang-orang kebanyakan. Pemimpin adalah orang yang telah disahkan oleh Nabi sebagai sosok yang memiliki dua kapasitas tersebut.

Untuk memudahkan pemahaman, ibaratnya, pelanjut sebuah perguruan silat haruslah orang yang diamanahkan langsung oleh guru sebelumnya, bukan dipilih oleh murid-muridnya. Sebab murid tidak memiliki kompetensi untuk menilai siapa yang layak menjadi kepala perguruan menggantikan gurunya. Dalam konsep Syiah, Islam adalah perguruan besar yang bertujuan membimbing manusia mengenal Tuhan. Guru utamanya adalah Nabi Muhammad. Maka, pelanjut perguruan ini harus ditentukan oleh Sang Nabi sendiri, yakni dari kalangan murid-muridnya yang dianggap paling kompeten.

Merujuk pada keyakinan itu, Muslim Syiah percaya bahwa pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun ke-11 hijriah, Rasulullah telah menunjuk penggantinya, yaitu Ali bin Abi Thalib. Ali ditugaskan menjadi guru pelanjut sekaligus sumber penafsiran ajaran agama dan pelaksanaan kepemimpinan agama sepeninggal Nabi. Dari sini, lahirlah konsep Imamah, yakni kepemimpinan individu yang menjadi otoritas agama dan ikutan setelah Nabi wafat. Dalam kerangka ini, kepemimpinan para Imam berlanjut melalui wasiat, dari satu Imam ke Imam berikutnya.

Namun, pada masa Imam ke-12, terjadi peristiwa yang disebut sebagai keghaiban. Muslim Syiah meyakini bahwa Imam ke-12 dighaibkan atau disembunyikan oleh Allah pada tahun 874 Masehi dan akan kembali muncul di hari akhir sebagai Imam Mahdi.

Pertanyaannya kemudian, siapa yang menjalankan otoritas Imam ini sementara Imam sendiri tidak berhubungan langsung dengan umat?

Untuk menjawab kebutuhan itu, muncullah konsep faqih, yakni orang yang sangat mendalam keilmuannya dalam agama. Para faqih ini pada awalnya adalah murid-murid di madrasah atau halaqah para Imam, sehingga mereka memiliki kapasitas untuk memahami ajaran Islam secara mendalam.

Kepadanyalah kemudian umat merujuk. Sebagai wakil dari Imam ia menafsirkan ajaran-ajaran yang ditinggalkan nabi melalui para Imam, sekaligus sebagai tempat mengadu berbagai persoalan keagamaan, konflik sosial, bahkan perkara perdata. Di sinilah embrio konsep Wilayatul Faqih, atau kepemimpinan faqih, mulai terbentuk.

Namun dalam perjalanannya, tidak semua faqih memiliki kompetensi yang sama. Ada yang sangat berilmu, ada yang biasa-biasa saja. Maka, muncul strata keilmuan berdasarkan tingkat kedalaman ilmu yang disebut A'lamiyah. Umat yang sebelumnya bisa merujuk ke siapa saja, kini hanya merujuk kepada faqih-faqih yang dianggap A'lam (paling berilmu). Biasanya, faqih yang A'lam dijadikan guru oleh faqih-faqih lainnya. Kedudukan faqih yang paling berilmu dan dijadikan rujukan umat secara luas ini disebut sebagai Marja' Taqlid (sumber rujukan) dalam pengamalan agama.

Meskipun seorang faqih telah menjadi rujukan, hubungan antara umat dan faqih bersifat sukarela (voluntary). Umat boleh mengikuti fatwanya, boleh juga tidak. Namun, umat yang taat biasanya mengikatkan diri secara konsisten kepada seorang faqih dan mengikuti fatwa-fatwanya.

Lalu pada tahun 1960-an, Ayatullah Khomeini, salah seorang faqih terkemuka, mengembangkan teori Wilayatul Faqih menjadi lebih luas. Ia menyaksikan Iran di bawah kekuasaan Shah semakin sekuler dan menjauh dari nilai-nilai agama. Menurutnya, negara seharusnya merujuk pada prinsip-prinsip agama. Dari situlah ia mengusulkan bentuk Wilayatul Faqih yang lebih komprehensif, di mana faqih tidak hanya menjadi rujukan individu, tapi juga menjadi otoritas negara. 

Namun muncul pertanyaan baru tentang siapa faqih yang menjadi rujukan negara? Apakah semua faqih? Tentu tidak mungkin, karena akan menimbulkan kekacauan jika rujukannya tidak jelas. Maka menurut Ayatullah Khomeini, harus ada satu orang faqih saja yang secara efektif berfungsi sebagai rujukan resmi bagi negara.

Caranya, para faqih yang ada harus memilih satu orang di antara mereka untuk menjabat sebagai faqih negara. Jabatan inilah yang kemudian disebut Rahbar yang dalam bahasa Persia berarti “penunjuk jalan”. Dalam bahasa Arab, posisinya ini disebut Mursyid A'la (Pembimbing Tertinggi).

Fungsi Rahbar adalah sebagai pemandu negara. Rahbar berada di atas Presiden dalam struktur kekuasaan negara. Secara tidak langsung, Rahbar juga dipandang sebagai pelaksana fungsi dari Imam ke-12 yang ghaib, meskipun ia tidak ma’shum seperti para Imam.

Di awal revolusi Islam tahun 1979, Ayatullah Khomeini menjadi Rahbar pertama. Setelah beliau wafat, Majlis Khibara atau Majlis Khubregan (Majelis Para Ahli Agama) memilih Ayatullah Ali Khamenei untuk menggantikannya. Beliaulah yang kini menjadi tokoh yang hingga kini masih menjabat sebagai Rahbar Republik Islam Iran dan memimpin peperangan melawan Israel.

Sumber gambar : khamenei.ir

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts