Api yang Padam Sebelum Menjadi Nyala: Mengapa Islam Gagal Mencapai Revolusi Industri


Barangkali, sejarah bisa diibaratkan sebagai perjalanan panjang dari pikiran ke pabrik. Dari tafakur menjadi teknologi. Dari gagasan menjadi gilingan besi. Dan dalam perjalanan itu, peradaban hanya akan melaju sejauh akalnya menuntun, sejauh keberanian berpikir bebas mampu membuka pintu-pintu kenyataan.

Islam pernah berada di jalur itu. Bahkan di garis depan.

Pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, dunia Islam mengalami lonjakan intelektual yang mencengangkan. Peradaban ini mewarisi dan menerjemahkan ilmu-ilmu dari Yunani, Mesopotamia, dan India. Para pemikir seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan al-Razi tidak hanya menyerap filsafat kuno, tetapi juga berupaya mengelaborasinya dengan semangat rasional dan eksperimen. Itu masa di mana ilmu berkembang bukan karena iman, melainkan karena keyakinan pada rasio manusia.

Namun masa itu hanya sebentar. Sejarah keemasan itu ternyata hanya sebatas elaborasi filsafat dan teoritisasi pengetahuan warisan. Ia belum sempat menyapih dirinya sepenuhnya dari teologi, belum pula mencapai tahap transisi dari filsafat menjadi sains empiris, apalagi ke teknologi dan manufaktur.

Fase itu terputus. Tiba-tiba, abad ke-11 datang dengan kanonisasi teologi.

Khalifah al-Mutawakkil pada pertengahan abad ke-9 menjadi titik mula perubahan arah. Ia menggulingkan dominasi rasionalis Mu’tazilah dan mengadopsi teologi yang menolak spekulasi akal. Tapi bukan hanya arah pemikiran yang berubah, melainkan juga arsitektur kekuasaan. Pada masa Khalifah al-Qadir dan al-Qaim, negara mulai membangun doktrin resmi dengan memanfaatkan para intelektual istana.

Negara tidak lagi menanggung beban membiayai eksplorasi ilmu pengetahuan yang tidak menghasilkan revenue langsung. Sebaliknya, ia mengucurkan sumber dayanya untuk meneguhkan keyakinan dan menumpas pikiran yang menyimpang dari garis teologi resmi. Kitab-kitab disusun bukan lagi untuk menjawab kehausan akal, melainkan untuk menyerang lawan politik dan membenarkan posisi penguasa. Para pemikir yang tak sejalan dengan arus utama dituduh zindiq dan dikucilkan. Infrastruktur keilmuan tercerai.

Simbol paling menyayat dari perubahan ini adalah hilangnya kabar tentang Bayt al-Hikmah—rumah agung ilmu pengetahuan yang dulu menjadi jantung rasionalisme Islam. Ketika negara beralih dari riset kepada pembelaan iman, rumah itu perlahan memudar, tenggelam dalam kabut politik dan penyeragaman teologis. Tidak ada lagi berita tentang penerjemahan, diskusi, atau eksperimen.

Ilmu yang tadinya menjadi kunci pembuka pikiran berubah menjadi gembok pengunci akal. Pendidikan yang semula menguak kebodohan berubah menjadi perisai pelindung iman.

Di saat bersamaan, menurut pengamatan Ahmet Kuru dalam bukunya Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment, persekutuan antara negara dan ulama semakin mengental. Kekuasaan negara disokong oleh legitimasi agama, sementara institusi keulamaan mendapatkan perlindungan dan anggaran untuk mempertahankan dogma. Dalam struktur ekonomi kekuasaan, negara memperluas sistem iqṭāʿ—yakni pemberian lahan atau hak atas hasil bumi kepada loyalis politik dan keagamaan sebagai ganti gaji atau penghargaan. Sistem ini bukan hanya menjauhkan sumber daya dari riset pengetahuan, tetapi juga memperdalam ketergantungan antara ulama dan istana.

Dalam kekosongan ilmiah itu, muncul arus spiritualitas baru. Loji, zawiyah, khaniqah, dan tekke tumbuh di mana-mana. Bukan sebagai tempat riset dan percobaan, tapi sebagai ruang kontemplasi dan kesunyian. Memang para pendiri tarekat bukan berasal dari kalangan saintis. Namun arah yang mereka bawa—menjauh dari dunia, tenggelam dalam batin—secara tidak langsung mengalihkan perhatian umat dari antusiasme terhadap ilmu pengetahuan kepada penghayatan spiritual dan keselamatan jiwa.

Dan di situlah perjalanan ilmu dalam Islam menjadi cerita yang tidak tuntas. Ia belum benar-benar tersapih dari filsafat, tidak berkembang menjadi teknologi, belum siap untuk menghasilkan produk berskala manufaktur. Ia bagaikan bunga kembang tak jadi. Kuncup yang belum sempat mekar. Mumbang yang jatuh sebelum menjadi kelapa.

Ketika Barat memasuki fase transformasi dari filsafat ke ilmu, dari ilmu ke teknologi, dan dari teknologi ke revolusi industri, Islam sudah terhenti di satu simpang. Melalui Reconquista dan Renaissance, Barat mengadopsi warisan Yunani tanpa curiga, mengembangkan eksperimen ilmiah hingga sampai kepada Aufklärung. Dan ketika mesin uap menyalakan instalasi di pabrik-pabrik menjadi industri di Manchester dan Birmingham, dunia Islam hanya bisa terbelalak. Takjub sekaligus tersadar, mereka telah terlalu jauh tertinggal.

Saat itulah kita warisi Islam yang lain. Islam yang, menurut Nurcholish Madjid, telah kehilangan elan vital-nya. Islam yang dekaden. Abu dari api besar yang pernah menyala.

Dan mungkin, bila ingin menyulut ulang nyalanya, kita perlu kembali menempuh jalan yang dulu ditinggalkan: dari pikiran menuju produksi. Dari tauhid menuju teknologi. Dari iman menuju imajinasi yang menyalakan perubahan.

Sumber gambar : awazthevoice

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts