Gencatan senjata Iran -Israel memang telah diumumkan. Tapi bukan berarti perang telah selesai. Justru kini kita memasuki babak baru yang jauh lebih sunyi dari desingan peluru tapi tak kalah ganas. Itulah perang makna.
Setelah dentuman berhenti, dua pihak berebut narasi. Mereka ingin menjadi pemilik makna atas perang itu. Israel menyebut dirinya menang karena kerusakan di pihaknya lebih minim manakala Iran menyebut dirinya menang karena berhasil menggagalkan seluruh misi strategis Israel.
Lalu, siapa sebenarnya yang benar-benar menang? Mana informasi yang benar-benar benar?
Inilah wajah perang di era post-truth, ketika fakta tidak lagi menjadi acuan, ketika kebenaran informasi tidak lagi diukur olah sejauh mana ia mampu mewakili fakta. Informasi bukanlah representasi dari fakta melainkan menjadi sebuah fakta baru yang menyimpang dari realitas. Kebenaran tidak ditentukan oleh bukti, melainkan oleh persepsi. Bahkan lebih jauh, oleh emosi dan afiliasi identitas. Siapa yang tampak benar dan terasa dekat secara emosional, dialah yang dianggap benar.
Sebagai orang yang hanya mengandalkan informasi dari media, kita tidak sedang mengamati realitas. Kita sedang menatap sebuah layar yang menampilkan fragmen, bukan dari kenyataan, tapi dari konstruksi. Narasi-narasi yang dikurasi. Oleh siapa? Oleh media, oleh negara, oleh algoritma. Kita tak sedang melihat dunia, kita sedang melihat pilihan-pilihan konten yang disesuaikan dengan preferensi kita.
Di sinilah kita benar-benar hidup di era post-reality, seperti yang dikatakan Jean Baudrillard.
Kita tidak lagi hidup dalam realitas, tetapi dalam simulasi realitas. Inilah versi keempat dari simulacra, di mana citra tidak lagi merujuk pada kenyataan manapun. Ia hidup sendiri, berputar, beredar, dan dipercaya, meskipun tidak punya acuan. Kita mengonsumsi citra, bukan peristiwa. Kita mempercayai efek, bukan sebab. Kita tersedot ke dalam realitas buatan yang sudah memutus total dari sumbernya.
Maka, ketika kita membaca bahwa Iran atau Israel yang menang atau kalah, itu bukan lagi soal fakta. Tapi soal siapa yang berhasil meyakinkan kita dengan narasinya.
Dan ini tidak hanya terjadi antara Iran dan Israel.
Beberapa hari terakhir, saya juga menyaksikan gelombang rekayasa persepsi dari kelompok Sunni radikal yang ingin mendegradasi peran Iran. Polanya mirip. Membanjiri ruang media sosial dengan konten, membuat simulasi realitas baru, agar Iran tampak kecil dan tidak relevan. Ini adalah strategi klasik, melemahkan lawan bukan dengan senjata, tapi dengan engineering lanskap makna tempat ia berdiri.
Wajar saja mereka melakukannya. Sebab dampak dari perang ini, Iran justru mendapat simpati dari dunia Islam yang frustasi dengan realitas di Timur Tengah. Bahkan, saya menjumpai beberapa akun di Threads yang menyatakan telah hijrah dari mazhab Sunni ke Syiah gara-gara perang ini.
Namun di sinilah letak jebakannya. Jangan-jangan yang saya lihat itu pun bagian dari algoritma. Jangan-jangan simpati itu hanya representasi minor yang dibesarkan oleh bubble personalisasi. Dan jangan-jangan, tulisan ini pun -ya, termasuk tulisan ini- adalah bagian dari post-realitas itu sendiri.
Kita semua sedang berenang di laut ilusi. Dan kita hanya percaya pada pantai yang paling nyaman di mata kita.
Ternyata, ini bukan semata soal geopolitik. Bukan hanya pertarungan antar negara atau sekte. Ini adalah soal perebutan pengaruh, perebutan pengikut, perebutan jama'ah, yang kini tidak lagi direbut lewat mimbar dan kitab, tapi lewat konten dan impresi.
Jama’ah ooo jama’ah...
Alhamdu...
0 Comments