Haji : Mereka Yang Pernah Bertaruh Nyawa

Hajj, Pulang Haji
Kalau kita menonton film-film dokumenter tentang haji zaman dulu, perjalanan haji benar-benar pertarungan hidup-mati. Hidup mati dalam makna yang sebenarnya. Yang berangkat haji boleh jadi tidak dapat menjangkau Makkah dan tidak dapat pulang ke rumah.

Tantangan utama tentu di masalah transportasi. Pada masa itu belum ada pesawat yang dapat mengantarkan jamaah hanya dalam hitungan jam. Lebih parahnya, saat itu belum ada aparat negara yang menguasai teritorial seperti di zaman ini. Negara hanya ada di kawasan menetap. Sedangkan di hutan dan padang sahara, tidak ada otoritas yang efektif. Perjalanan itu benar-benar penuh risiko dan dilakukan dengan hanya perlindungan diri dan rahmat Tuhan.

Seseorang yang berangkat haji, misalnya dari Sumatera, akan memulai perjalanan menembus hutan di batas terluar desanya. Di sana ia harus memastikan arah yang benar agar tidak tersesat, sembari menjaga agar dirinya tidak kehabisan bekal. Di sini, manajemen logistik harus diterapkan dengan sungguh teliti.

Di sepanjang hutan, ancaman begal menghadang. di sampung ancaman binatang buas yang jumlahnya masih sangat banyak. Beruang dan harimau Sumatera mengintai dalam jumlah yang tidak langka. Lalu tiap pijakan pada rerumputan dan akar pohon menyimpan ancaman berupa ular dan binatang berbisa lainnya.

Begitu tiba di kawasan Arabia, mereka harus menembus panas gersangnya padang pasir, menghadapi binatang buas gurun, dan melintasi daerah-daerah yang rawan penyamun. Belum lagi ancaman penyakit karena sulitnya menjaga kebersihan di perjalanan panjang yang minim air.

Sejarah mencatat betapa nyata ancaman itu. Ibn Battutah, dalam Rihlah-nya, menulis tentang karavan besar yang menempuh perjalanan haji dari Damaskus ke Mekah selama hampir dua bulan. Di tengah jalan, banyak calon haji terkapar karena kelelahan, wabah penyakit, dan serangan kelompok bersenjata. Ibn Battutah sendiri nyaris tak sanggup menyelesaikan tawaf karena tubuhnya digerogoti penyakit.

Ibn Jubayr, pelancong dari abad ke-12, mencatat serangan brutal suku Banu Shu‘bah atas rombongan haji yang sedang menuju Arafah. Panah dan pedang menghantam jemaah yang hanya bersenjatakan niat dan doa. Tubuh-tubuh bergelimpangan, sementara suara talbiyah berubah menjadi lolongan minta tolong.

Dan pada tahun 1757 M, sejarah menyaksikan pembantaian karavan haji terbesar di era modern. Ketika rombongan besar jemaah hendak kembali dari Mekah menuju Damaskus, suku Badui bersenjata menyerbu mereka di tengah gurun. Diperkirakan dua puluh ribu jemaah tewas karena dibunuh, kelaparan, atau kehausan. Tak banyak yang bisa menolong, tak satu pun otoritas hadir di gurun yang tak berpemerintahan.

Oleh karena itu, ketika seorang muslim dari berbagai pelosok dunia berhasil pulang haji dengan selamat kembali ke kampung halamannya, ia telah menjadi manusia yang berbeda. Ia adalah manusia-manusia kuat yang telah menaklukkan berbagai tantangan. Ia bukan hanya sekadar "telah menjalani manasik haji". Ia adalah saksi hidup atas sebuah perjalanan lintas batas kekuatan. Ia adalah peziarah yang kembali membawa kemenangan atas ketakutan, atas cuaca, atas dirinya sendiri.

Sebagai penghormatan, gelar Haji layak disandangkan kepadanya. Ini bukan gelar biasa. Ini adalah gelar bagi manusia yang telah membuktikan kemampuannya mengorbankan harta, dan mempertaruhkan nyawa menerjang onak dan duri selama perjalanan.

Welcome home, Hajj...

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts