Masih saja terdengar suara yang menyangsikan keseriusan Iran dalam membela Palestina. Pertanyaannya terdengar sederhana, namun menyudutkan.
“Kalau Iran benar-benar mendukung Palestina, mengapa sampai sekarang Palestina belum merdeka? Dan mengapa Iran menerima gencatan senjata?”
Pertanyaan semacam ini tampaknya kritis, padahal menyederhanakan persoalan yang sangat kompleks. Bahkan lebih dari itu, ia salah arah. Faktanya, Iran bukan sekadar menyatakan solidaritas. Iran sudah terlibat langsung dalam perang terbuka dengan Israel, mengorbankan jenderalnya, ilmuwannya, dan infrastrukturnya sendiri demi Palestina.
Perang terbuka yang meletus pada Juni 2025 menjadi bukti paling nyata. Serangan udara Israel menewaskan para jenderal Iran, termasuk Komandan IRGC Hossein Salami dan Panglima Angkatan Bersenjata Mohammad Bagheri. Kepala Program Nuklir, Fereydoun Abbasi, juga terbunuh. Selain itu sejumlah pejabat strategis juga tewas. Ini adalah pukulan paling telak terhadap struktur pertahanan Iran dalam dua dekade terakhir.
Sekedar ilustrasi kalau hal ini terjadi di Indonesia kira-kira seperti Jakarta diserang, Panglima TNI, Pangkostrad, Kepala BIN, Kepala BATAN, tewas serentak. Kacau balau mestinya.
Iran membalas dengan serangan rudal dan drone ke Tel Aviv, Haifa, pusat riset dan nuklir Israel, hingga Bursa Efek. Perang berlangsung selama 12 hari. Amerika Serikat tidak tinggal diam, segera masuk gelanggang pada hari ke-10 menghantam tiga instalasi nuklir Iran di Isfahan, Natanz, dan Fordo. Iran merespons dengan meluncurkan rudal ke pangkalan militer AS di Qatar. Ketegangan hanya berhenti setelah Iran menerima gencatan senjata, dengan satu syarat utama yakni Israel menghentikan serangan terhadap wilayah Iran dan Palestina.
Setelah semua ini, masihkah bisa dikatakan bahwa Iran tidak serius membela Palestina?
Iran sudah bertindak hingga batas kalkulasi optimumnya. Ia tidak hanya menyumbangkan dana dan retorika, tetapi juga darah para jenderalnya, nyawa ilmuwannya, stabilitas ekonomi, dan keamanan dalam negeri. Semua dilakukan meski Gaza bukan wilayahnya, dan rakyatnya bukan satu mazhab dengannya.
Tetapi setiap negara memiliki ambang batas untuk bertahan hidup. Iran tidak bisa -dan memang tidak seharusnya- mengorbankan eksistensinya sendiri untuk sebuah perjuangan yang tidak ditanggung bersama.
Palestina adalah wilayah Arab Sunni, dikelilingi oleh negara-negara Arab Sunni. Secara geografis mereka lebih dekat, secara ekonomi lebih kuat, dan secara historis lebih terikat. Namun justru Iran, yang secara ideologis minoritas di dunia Islam, yang paling sering dituntut untuk berbuat lebih.
Padahal, Iran tengah berada dalam posisi geopolitik yang sangat genting. Dalam teori neorealisme seperti dijelaskan Kenneth Waltz dalam Theory of International Politics (1979), negara tidak bertindak semata karena idealisme, melainkan karena tuntutan untuk bertahan hidup dalam sistem internasional yang tanpa penjamin keamanan.
Apa maksudnya?
Bayangkan jika sebuah kejahatan terjadi dalam lingkungan domestik sebuah negara. Maka akan ada mekanisme hukum yang bekerja. Polisi menangkap pelaku, jaksa mengajukan tuntutan, dan hakim menjatuhkan vonis. Namun, dalam hubungan internasional, tidak ada institusi penegak hukum global yang benar-benar efektif. Jika sebuah negara dizalimi, ia tak bisa mengadu kepada “polisi dunia” yang netral. Dan negara yang kuat, meski terang-terangan melanggar hukum internasional, sering kali luput dari hukuman. Amerika Serikat, misalnya, telah beberapa kali menyerang negara lain tanpa mandat internasional, tanpa pernah diadili atau dihukum.
Hubungan antarnegara lebih menyerupai hukum rimba ; yang kuat bertindak sewenang-wenang, yang lemah hanya bisa bertahan dan mengurut dada. Dalam panggung seperti itulah Iran bertindak.
Iran Sendirian dalam Arena
Iran saat ini menghadapi tiga poros ancaman yang saling menekan.
Pertama, ancaman eksternal jauh dari Amerika Serikat dan Israel. Sejak 1979, Iran terus berada di bawah embargo, sanksi, dan sabotase. Menurut Brookings Institution, Iran kehilangan lebih dari 100 miliar dolar dari ekspor minyak sejak 2018 karena sanksi. Israel tak hanya menggagalkan program nuklir Iran lewat diplomasi, tapi juga membunuh ilmuwan dan menyerang instalasi penting Iran secara berkala. Eskalasi pada Juni 2025 hanyalah puncaknya.
Kedua, ancaman eksternal dekat dari rivalitas negara-negara Arab. Arab Saudi, UEA, dan Bahrain bukan sekutu Iran, bahkan menjadi rival ideologis dan strategis. Di Yaman, Iraq dan Suriah mereka terlibat konflik dengan Iran. Mereka saling berebut pengaruh di kawasan dalam konteks ideologi, hingga kepentingan politik monarki. Lebih parah lagi, negara-negara Arab itu membuka ruang udara dan daratnya bagi pangkalan militer Amerika Serikat serta mulai menormalisasi hubungan dengan Israel lewat Abraham Accords, mempersempit ruang gerak Iran di kawasan.
Ketiga, ancaman internal dari tekanan domestik. Demonstrasi besar pecah berkali-kali dan yang terbesar mungkin pada 2022 setelah kematian Mahsa Amini. Sanksi ekonomi memperparah situasi. Inflasi di atas 40 persen, pengangguran tinggi, nilai tukar jatuh. Menurut IMF (2023), sekitar 70 persen warga Iran hidup dalam kerentanan ekonomi. Pemerintah juga menghadapi serangan informasi dan operasi psikologis dari media oposisi yang disokong kekuatan asing yang bertujuan untuk mengganti rezim dari dalam.
Di luar itu, Iran hampir tidak memiliki aliansi militer strategis yang bisa diandalkan. Rusia tenggelam dalam konflik Ukraina. China menahan diri karena lebih mengutamakan stabilitas ekonomi ketimbang keterlibatan militer. Korea Utara tak punya rekam jejak ekspedisi militer di luar Asia Timur. Negara-negara Arab, yang secara retoris mendukung Palestina, justru menjadi tuan rumah pangkalan militer Amerika Serikat.
Maka klaim bahwa Iran belum berbuat cukup menjadi tidak hanya tidak adil, tapi juga terputus dari realitas. Iran bukan kekuatan bebas yang bisa bertindak sesukanya tanpa perhitungan risiko. Dalam The Tragedy of Great Power Politics, John Mearsheimer menegaskan bahwa negara tidak bertumpu pada niat baik, tetapi pada kalkulasi realistis agar tidak dijatuhkan. Survivalitas adalah harga yang harus dibayar jika aksi ofensif tidak dikalkulasi dengan benar.
Jika semua kekuatan besar dan regional hanya diam atau bermain aman, maka sangat tidak logis untuk menyalahkan Iran yang telah bertaruh segalanya. Iran tidak sempurna, tapi ia telah berdarah dan bertarung. Lebih dari sekadar “bersolidaritas”.
Ibaratnya, ketika seseorang butuh satu juta, lalu ada yang membantu lima ratus ribu, seharusnya kita berterima kasih. Bukan menyalahkan mengapa tidak membantu hingga satu juga. Yang patut ditagih justru mereka yang bahkan tak membantu sepeser pun. Dalam konteks Timur-Tengah, Iran sudah membantu sekuatnya dengan pengorbanan maksimal yang mereka mampu. Kalau tindakan itu belum berujung pada kemerdekaan Palestina, yang seharusnya ditagih adalah negara-negara lain di kawasan.
Bukankah seharusnya ketika Iran berhasil menghujamkan rudalnya ke Israel, pasukan Yordania, Mesir, Lebanon, dan negara-negara Arab lainnya yang lebih dekat ke Palestina masuk melalui jalur invasi darat? Lalu Turki datang dari arah laut, memblokade laut tengah?
Andai itu yang terjadi, tak diragukan lagi Palestina sudah merdeka.
Pekan depan kita Jum'atan di Baitul Maqdis.
0 Comments