Yang dipandang orang, Felix Siauw hanyalah seorang ustadz atau pengajar agama. Padahal bukan. Felix adalah politikus. Kok bisa?
**
Belakangan ini, Felix Siauw kembali muncul ke permukaan. Dalam sebuah ceramah agama, ia menyampaikan bahwa konflik militer antara Iran dan Israel bukanlah perjuangan tulus untuk Palestina. Menurutnya, Iran hanyalah sedang memainkan kepentingannya sendiri, bahkan menyebut Iran dan Israel sebagai “bestie” yang pura-pura bermusuhan. Ia merujuk pada kondisi ketika Persia masih di bawah dinasti Achaemenid ribuan tahun lalu dan mengabaikan perubahan lanskap politik dalam ribuan tahun itu termasuk peristiwa Revolusi Islam Iran 1979.
Ucapan ini viral. Banyak yang percaya karena yang bicara adalah seorang yang dianggap ustadz. Padahal, ini justru yang perlu kita pertanyakan. Benarkah Felix adalah ustadz? Atau jangan-jangan ia lebih tepat disebut sebagai politikus dari sebuah partai transnasional bernama Hizbut Tahrir sehingga ucapannya tidak dapat dipisahkan dari statusnya itu?
Tulisan ini mencoba mengajak kita untuk melihat Felix bukan sebagai pendakwah agama semata, melainkan sebagai aktivis politik dari Hizbut Tahrir (HT). Seperti halnya para politikus lain, ucapan Felix tentu tidak bisa diterima begitu saja tanpa kritik. Apalagi jika pernyataan-pernyataannya sejalan dengan agenda politik yang HT usung, yakni mendirikan sistem khilafah global yang sangat berseberangan dengan konsep Wilayatul Faqih yang diterapkan Iran. Maka, mari kita cermati siapa sebenarnya Felix, dan apa sesungguhnya yang diperjuangkannya.
Felix adalah aktivis dari sebuah partai politik bernama “Partai Pembebasan” atau Hizbut Tahrir (HT). Partai politik ini didirikan di Yerusalem, Palestina, pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang qadhi (hakim syariat) di pengadilan syariah Palestina. Tujuan utama partai ini adalah untuk mendirikan sebuah negara adidaya Islam yang mereka sebut sebagai Khilafah.
Sebagai sebuah partai politik, HT memperjuangkan tujuannya dengan mengikuti tiga tahapan dakwah. Pertama, pembinaan individu. Kedua, pembentukan kelompok. Dan ketiga, pengambilalihan kekuasaan secara nonkekerasan (Nabhani, The Method to Re-establish the Khilafah, HT Press).
HT kemudian membuka cabang di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Strategi yang mereka gunakan adalah dengan merekrut anak-anak muda yang merasa frustrasi terhadap model politik dunia modern melalui kelompok-kelompok pengajian. Materi utama pengajiannya lebih banyak membahas struktur politik dan bagaimana sistem tersebut harus diubah menjadi sistem khilafah.
Jika merupakan sebuah partai politik, mengapa HT tidak menjadi partai politik peserta pemilu? Di sinilah keunikannya. HT menolak demokrasi ala Barat yang di dalamnya terdapat sistem pemilu. Karena alasan itu, HT juga menolak menjadi peserta pemilu. Bahkan, kader-kadernya biasanya memilih untuk golput dalam pemilu di Indonesia (lihat: “HTI dan Pemilu: Politik Tanpa Demokrasi”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM, 2017).
Dalam kenyataan sejarah, HT belum pernah berhasil membentuk satu negara khilafah pun. Sebaliknya, HT justru ditolak di banyak negara Islam. Mesir, misalnya, melarang HT pada tahun 1974 dan menangkap ratusan anggotanya. Yordania pun melarang aktivitas politik HT sejak dekade 1990-an. Sementara itu, Arab Saudi dan Suriah menindak keras HT sejak awal 1980-an (Baran, Hizb ut-Tahrir: Islam’s Political Insurgency, 2004).
Selain mengalami penolakan, HT juga pernah terlibat dalam sejumlah pergolakan politik di negara-negara Islam. Di Mesir, HT dituduh terlibat dalam upaya kudeta, yang berujung pada penangkapan besar-besaran. Di Yordania, HT pernah menyerukan penggulingan rezim monarki, dan tindakan ini memicu represi dari aparat intelijen. Sementara di Suriah, HT beroperasi secara diam-diam dan banyak anggotanya dibunuh atau dipenjara oleh rezim Hafidz Assad.
HT juga sempat masuk ke wilayah pemikiran dunia Syiah. Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr, seorang tokoh penting Syiah Irak yang kelak dibunuh Saddam Husein, pernah berinteraksi dengan HT pada awal tahun 1950-an. Namun, ia kemudian menolak pendekatan politik HT. Ia menilai bahwa konsep HT terlalu sempit dalam memahami peran pemimpin. Sebagai respons, Baqir Sadr mendirikan gerakan ad-Da’wah al-Islamiyyah yang lebih sesuai dengan doktrin imamah dalam Syiah (Nakash, The Shi'is of Iraq, 1994).
Bahkan, di awal kemenangan Revolusi Islam Iran, sebagian kalangan berharap Ayatullah Khomeini akan menggunakan konsep Khilafah seperti yang dibayangkan Hizbut Tahrir. Namun harapan itu tidak bersambut. Ini bisa dimaklumi, sebab dalam konsep Syiah, khalifah tidak bisa diangkat melalui konsensus atau deklarasi politik, melainkan hanya melalui wasiat dari Nabi atau dari Imam sebelumnya. Pengangkatan khalifah di luar metode itu dianggap sebagai pembangkangan terhadap Nabi. Lagi pula, dalam keyakinan Syiah, khalifah yang sah saat ini adalah Imam Muhammad bin Hasan al-Askari yang sedang dalam keadaan ghaib. Tak satu pun penganut Syiah berani mengambil posisinya. Kualat, tahu.
Dari perbedaan ini dapat dipahami bahwa ideologi politik HT dan Syiah dalam hal khilafah sangat tidak sejalan, bahkan saling menafikan. Syiah tentu tidak mungkin menerima gagasan khilafah yang ditawarkan HT, karena konsep itu berakar dari tradisi politik Sunni.
Bagi kaum Sunni, khalifah hanyalah institusi politik. Artinya, siapa pun bisa menjadi khalifah selama ia mampu merebut tahta dan menjalankan kekuasaan secara efektif. Kompetensi keagamaan bukanlah perkara mutlak. Oleh sebab itu, dari sekian banyak khalifah Sunni, hanya lima yang diakui sebagai pemimpin yang benar-benar layak secara nilai agama. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz. Selebihnya dianggap memiliki masalah, baik dari sisi keilmuan, keadilan, maupun akhlak.
Sebaliknya, bagi Syiah, khilafah bukan sekadar jabatan politik, melainkan posisi spiritual sebagai penerus Nabi Muhammad dalam segala hal kecuali wahyu. Tugasnya adalah menjalankan peran kenabian sebagai basyiran wa nadziran: menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Karena peran ini sangat penting, maka khalifah haruslah seseorang yang suci dari kesalahan. Setiap ucapan, tindakan, bahkan diamnya harus mencerminkan keteladanan Nabi. Dengan kata lain, mena'ati khalifah adalah jaminan keselamatan karena segala tindak-tanduk khalifah pasti selalu sejalan dengan kehendak Nabi. Itulah mengapa mereka menyebutnya Imam, yakni sosok yang patut diikuti. Dalam pandangan Syiah, posisi Imam hanya bisa ditunjuk langsung oleh Nabi atau oleh Imam sebelumnya. Tidak bisa melalui musyawarah antara umat, pemilihan melalui formatur, atau perebutan kekuasaan.
Perbedaan ideologis ini menjadi latar belakang mengapa Felix Siauw sulit menerima kenyataan bahwa saat ini Syiah, khususnya dalam konsep Wilayatul Faqih, telah melangkah jauh meninggalkan partai HT yang ia bela. Saat ini, Syiah Iran menjadi tumpuan harapan sebagian umat Islam dalam menghadapi Israel secara langsung di garis depan. Tidak hanya itu, Iran juga menjadi pemasok utama bagi gerakan-gerakan perlawanan di Palestina.
Sementara itu, partai HT, yang menjadi kendaraan politik Felix, justru masih berkutat dalam aktivitas perekrutan dan penjualan buku, stiker, serta gantungan kunci berlogo khilafah.
Sebagai politikus, tentu saja Felix merasa gedeg.
I feel you, Koh.
0 Comments