Peliknya Perdamaian di Palestina


Hampir setiap tahun terjadi eskalasi konflik di Palestina. Ribuan orang meregang nyawa disertai kehancuran insfrastruktur akibat ledakan bom dimana-mana. Setiap kali hal itu terjadi, solidaritas internasional muncul untuk membantu rakyat sipil yang menjadi korban. Kemudian keadaan akan tenang kembali setelah gencatan senjata untuk kemudian meledak kembali satu dua tahun sesudahnya.

Apakah tidak ada jalan damai?

***
Negara Israel dideklarasikan pada 14 Mei 1948 di atas tanah yang saat itu bernama Mandat Palestina. Tanah ini awalnya berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Setelah Turki kalah dalam Perang Dunia I, Liga Bangsa - Bangsa memandatkan tanah itu ke bawah kekuasaan Inggris. Inggris angkat kaki pada 1948, dan Israel dideklarasikan sehari sesudahnya.

Israel didirikan di atas tanah yang diklaim sebagai milik nenek moyang kaum Yahudi ribuan tahun yang lalu. Di tanah itu mereka pernah punya perabadan selama sekitar 700 tahun. Belakangan, setelah konflik politik dengan orang Assyria, Babilonia, dan Romawi, orang-orang Yahudi terusir dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Eropa. Pada akhir abad ke 19, muncul gerakan Zionisme yang percaya bahwa bangsa Yahudi yang tercerai-berai di seluruh dunia harus kembali memiliki satu negara . Dan negara itu harus berada di Palestina, tanah yang diyakini diduduki oleh kerajaan Yahudi ribuan tahun yang lalu.

Maka terjadilah imigrasi besar-besaran orang Yahudi dari berbagai negara, terutama Eropa, ke tanah Palestina. Saat itu tanah Palestina bukanlah tanah kosong. Di sana telah ada penghuni yang sudah tinggal turun-temurun selama ribuan tahun. Mereka adalah keturunan orang Yahudi yang menganut agama Yahudi, orang Yahudi yang menganut agama Kristen, orang Yahudi yang menganut agama Islam, dan para pendatang dari berbagai daerah yang darahnya telah saling tercampur satu sama lain.

Studi yang dilakukan oleh Michael Hammer dari University of Arizona di Tucson menyimpulkan bahwa kromosom Y etnik Yahudi dan Arab Palestina nyaris tidak dapat dibedakan. Ariella Oppenheim dari Hebrew University melakukan studi pada 119 orang Yahudi Ashkenazi dan Shepardic serta 143 orang Arab Palestina dan Israel. Ia menemukan bahwa bahwa mereka mempunyai nenek moyang yang sama yaitu penduduk yang telah tinggal di area itu selama ribuan tahun. Nenek moyang mereka sama. Hanya sejarah dan keyakinan yang memisahkan mereka.

Pada tahun 1948, David Ben-Gurion, seorang kelahiran Polandia yang berimigrasi ke Palestina ketika berumur 20 tahun mendeklarasikan berdirinya negara Israel di atas tanah yang telah ada penduduknya itu. Penduduk yang menurut Ben-Gurion bukanlah penduduk asli karena telah terintegrasi ke dalam masyarakat Arab. Oleh karena itu mereka tidak berhak atas tanah itu, menurut Ben Gurion dan gerakan Zionis.

Tentu saja penduduk asli melawan. Mereka tidak menerima adanya negara yang dideklarasikan di atas tanah mereka oleh para pendatang dari Eropa. Perlawanan dimulai. Sejak 1948, perang demi perang terjadi tannpa henti bersamaan dengan penyerobotan lahan yang terus dilakukan oleh Israel. Pendukung Israel menganggap Palestina tidak berhak melawan sebab tanah itu adalah milik nenek moyang bangsa Israel ribuan tahun yang lalu. Tapi yang mereka lupakan, orang Palestina itu aslinya adalah bangsa Israel juga yang terbukti dalam studi genetik. Artinya, orang Palestina pada hakikatnya adalah keturunan Yahudi juga yang tidak ikut berdiaspora dan telahmenjadi penghuni tanah itu selama ribuan tahun. Mereka bukan Arab murni. Mereka adalah Arabized atau terarabkan.

Problemnya sekarang, karena pendudukan Israel, sebagian penduduk Palestina telah terusir dari tanah yang telah ribuan tahun mereka tempati. Mereka hidup di pengungsian, kehilangan tanah dan penghidupan yang layak. UNRWA merilis ada sekitar 5,9 juta pengungsi Palestina yang tersebar di seluruh dunia sejak 1948. Sepertiganya hidup di 58 titik penampungan yang berada di Gaza, Tepi Barat, Suriah, Lebanon, dan Yordania. Di sana mereka beranak-pinak dengan kondisi yang tidak layak sambil terus memupuk harapan untuk dapat kembali ke tanah mereka yang kini telah dijadikan wilayah pemukiman oleh Israel.

Orang Palestina mengenang hari terusirnya mereka dari tanah mereka sendiri pada 1948 sebagai Hari Nakba. Namun penyerobotan lahan tidak hanya terjadi pada hari Nakba itu saja. Hingga hari ini, Israel terus - menerus memperluas area pemukiman ke tanah-tanah yang dihuni oleh Palestina dan menciptakan pengungsian-pengungsian baru. Inilah yang membuat mengapa orang Palestina terus berperang untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka yang telah dihuni ribuan tahun lamanya sejak nenek moyang mereka.

Perdamaian

Perdamaian tentu menjadi harapan semua orang. Tapi pertanyaannya, perdamaian seperti apa? Apakah perdamaian itu berarti 5,9 juta pengungsi yang angkanya terus bertambah itu diizinkan kembali ke tanah mereka? 

Bila itu yang terjadi, lalu ke tanah mana mereka akan kembali? Sedangkan tanah-tanah mereka itu kini telah diduduki oleh Israel, menjadi pemukiman dan kota-kota yang dibangun untuk warga negara Israel yang baru satu abad terakhir datang dari Eropa? Di sisi lain, apabila pengungsi Palestina diberi hak untuk kembali ke tanah mereka, lalu hendak dikemanakan orang-orang Israel ini?

Ini baru soal tanah. Bagaimana tentang politik? 

Saat ini, ada sekitar 9,8 juta orang penduduk Israel, di dalamnya termasuk 2 juta orang Arab Palestina yang tidak turut mengungsi. Etnis Yahudi sejatinya hanya 7,8 juta orang. Jika 5.9 juta pengungsi Palestina diberi hak untuk kembali ke tanah yang sekarang dalam pendudukan Israel, bagaimana status kewarganegaraannya? Apakah ia menjadi warga negara Israel karena tanah mereka kini telah berada di dalam wilayah negara Israel? 

Jika 5,9 juta itu menjadi warga negara Israel maka secara politik akan berpengaruh besar pada negara itu. Komposisi bekas pengungsi dibandingkan warga negara Israel menjadi lebih dari 30 persen. Apalagi bila jumlah ini ditambahkan dengan sisa orang Palestina yang masih tidak ikut mengungsi sebanyak 2 juta orang. Itu artinya akan ada 7,9 juta orang Palestina dibandingkan dengan 7,8 juta orang Yahudi. Palestina menjadi mayoritas.

Apakah dengan kembalinya warga Palestina ke tanah mereka yang kini dikuasai Israel yang mengakibatkan proporsi demografis penduduk etnik Yahudi lebih kecil daripada proporsi penduduk etnik Palestina, negara Israel bisa tetap berdiri?

Ini soal politik yang pelik.

Israel tentu dengan mati-matian tidak ingin negeri yang telah mereka duduki ini lepas. Memberi hak pulang kepada para pengungsi yang telah terusir adalah jalan bunuh diri bagi Israel. Tanah mereka harus dilepaskan kembali kepada pengungsi, dan negara mereka mungkin juga akan diubah kembali menjadi Palestina karena secara demografis orang Palestina menjadi mayoritas. Mayoritas secara demografi tentu berkonsekuensi kepada mayoritas secara politik.

Atau, adakah perdamaian tanpa hak untuk pulang? Berdamai dengan membiarkan status quo? Lalu bagaimana dengan nasib 5,9 juta pengungsi Palestina yang tersebar di mana-mana itu? Yang telah kehilangan tanah dan penghidupan mereka itu? Apakah mereka dibiarkan terlunta-lunta tanpa tanah dan tanpa kewarganegaraan?

Nampaknya perdamaian itu terlalu pelik. Maka tak ada jalan lain, -menurut Hamas : Muqawwamah, Resistance, Perlawanan.[]

Sumber gambar : syaamilgroup.id

Post a Comment

2 Comments

Recent Posts