Mengetuk Mushala Syiah, Dikejar Air Berkah


Beberapa waktu lalu saya datang ke sebuah kota -nama kota tidak disebutkan demi keamanan komunitas itu- dan mewawancarai pengurus komunitas Syiah di sana.

Komunitas ini berada di tengah-tengah kawasan pemukiman padat. Lokasinya lumayan dekat dengan jalan utama, tetapi aksesnya hanya jalan perumahan yang muat untuk satu mobil. Kalau berselisih jalan, salah satu harus mundur.

"Biasanya kalau pakai Google Maps orang suka disasarkan ke sekolahan atau ke masjid di depan," kata pengurusnya.

Beruntung saya tidak mengalami itu meskipun di ujung Maps saya belum menemukan lokasinya. Setelah celingak-celinguk, barulah terlihat ada lambaian bendera Indonesia, Palestina, Iran, dan Hizbullah.

"Pasti ini dia," batin saya.

Gedung itu berupa mushala seukuran ruang kelas, sekitar 7x7 meter. Halamannya berukuran serupa. Di bagian belakang, ada tempat wudhu dan di halamannya instalasi toren yang di bawahnya juga dimanfaatkan menjadi lesehan gazebo. Yang menjadikannya nampak berbeda dari sekitar adalah ornamen dindingnya yang khas Asia Tengah. Mirip bangunan-bangunan klasik di Iran, Uzbekistan, Azerbaijan, dan negeri-negeri -stan. Tetapi itu bukan marmer, lebih ke stiker yang ditempel menutupi dinding.

Di sekeliling bangunan dipasang umbul-umbul khas Syiah. Ada merah dan hitam bertuliskan nama Nabi dan Imam.

"Ini dipasang dalam rangka Asyura. Belum dilepas," katanya.

Yang saya heran, mengapa ada pusat kegiatan mereka yang seterbuka ini? Saya pernah melihat pusat kegiatan mereka di kota-kota lain ketika ada tugas riset, tapi semuanya tanpa simbol apa-apa. Biasanya hanya berupa rumah kontrakan tanpa bendera, tanpa umbul-umbul. Plain. Sebab jika mereka menampakkan diri secara mencolok, keamanan mereka terancam.

Pengurus melanjutkan, "Tadinya kami di masjid, cuma kami nggak enak sendiri sama warga lain. Sungkan kalau mereka tidak nyaman. Syukurnya ada tanah ini, kita mulai bangun pelan-pelan. Awalnya bangunan bambu."

Biasanya kalau namanya mushala tentu ada kegiatan salat lima waktu. Tapi saya lihat di sini tak terlihat jemaah salat. Apakah mungkin karena saya datang tidak di jam salat?

"Tak jauh dari sini ada masjid. Kita tidak mau memecah belah. Jadi di sini tidak dibuat salat berjemaah. Mushala ini lebih berfungsi sebagai tempat majlis taklim dan peringatan hari besar Islam. Hanya ada salat berjemaah kalau lagi ada kegiatan."

Saya lalu bertanya lebih jauh tentang dinamika kegiatan mereka dan hubungan dengan masyarakat sekitar.

"Untuk majelis Maulid, warga sekitar kami undang. Tapi kalau majelis Syahadah, tidak. Takut mereka kurang cocok. Cuma kalau ada acara, sound system kami pasang ke luar. Speaker eksternal."

Saya makin penasaran. Bukankah kebisingan dari speaker eksternal bisa saja jadi alasan untuk menggangu mereka?

"Diganggu fisik, Alhamdulillah tidak," jawabnya. "Diomongin di belakang dan diboikot diam-diam, ya jelas. Misalnya, jemaah kami dulu dapat jatah sapi kurban. Sekarang sudah tidak."

Hebat juga rasanya bisa seterbuka itu di kawasan padat tanpa gangguan. Padahal di Indonesia, komunitas Syiah ini sering ditatap dengan curiga dan diganggu ketika berkegiatan.

"Saya orang asli sini. Tanah ini milik keluarga besar yang kami wakafkan. Yang tinggal di sekeliling ini keluarga semua."

Wah, wajar. Faktor Akamsi (Anak Kampung Sini) memang berpengaruh. Siapa yang akan nekat mengganggu Akamsi? Tapi apakah ada kendala struktural semisal dari aparat begitu? Ternyata ada jawaban unik.

"Dulu cukup banyak mahasiswa fakultas hukum mengikuti taklim di sini. Sekarang mereka sudah menjadi advokat. Mereka cukup membantu menjaga kita." Ooo, makin mantap.

Saya mengalihkan kepada kondisi sewaktu dia melihat saya celingak-celinguk mengetuk pintu mushalanya.

"Apakah Bapak tidak cemas bahwa saya adalah intel?" tanya saya. Wajar, kan, jika semestinya dia cemas sebab saya datang begitu saja mengetuk pintu mushala.

"Tiap bulan intel datang ke sini mengamati. Kami terbuka saja karena memang tak ada yang kami tutup-tutupi. Kami tidak taqiyah," lagi-lagi dia menjelaskan dengan pede.

Saya beranjak ke beberapa bagian ruangan. Lantai masih berpasir, belum disapu pasca acara Asyura. Di dekat posisi imam, saya temukan ada boks terbuka berisi beberapa benda berbentuk persegi.

"Ini yang namanya turbah Karbala?" tanya saya.

"Ini alas sujud. Tapi bukan dari tanah. Ini dari kayu. Alas sujud nggak mesti tanah. Yang penting bahan alami."

Unik juga. Berarti kalau musalanya berlantai papan, tidak perlu pakai alas sujud yang lain.

Menjelang pulang, pengurusnya meminta maaf karena tidak menyediakan hidangan sebab saya datang tanpa berkabar. Saya sengaja datang mendadak agar dapat melihat kondisi apa adanya.

"Silakan diminum, ini air berkah Asyura." Pengurusnya memberikan dua botol air mineral. Air mineral biasa. Tapi dianggap menjadi berkah karena ia adalah sisa kegiatan Asyura.

Saya tersenyum sopan seraya pamit undur diri. Airnya saya tinggalkan di teras. Namun rupanya dia mengira saya kelupaan. Dia kejar saya, menyodorkan air itu kembali. Dikejar "air berkah" adalah pengalaman spiritual tersendiri.

Sebagai warga Muhammadiyah, saya tak percaya air itu bisa membawa berkah. Semua air bagi saya sama saja. Namun di dunia yang makin panas oleh bising kebencian, air biasa yang diberikan dengan ketulusan, atau amalan yang ikhlas meski mengandung tachayul, bid'ah, dan churafat yang tidak didukung oleh buku Himpunan Putusan Tarjih boleh jadi membawa berkah. Berkah perdamaian dan harmoni, berkah mutual understanding atau kesalingpahaman, bukan karena airnya, melainkan karena niat tulusnya. 

Di perjalanan pulang, niat baik itu saya teguk sebagai pelepas dahaga saat menyetir.

Sumber gambar : architecturecourses.org

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts