Satu isu yang tak lekang-lekang tiap Ramadhan ialah tentang warung kelambu. Yakni warung makan yang buka di siang hari di bulan Ramadhan sambil menutup bagian depannya dengan kain supaya orang yang sedang makan di dalamnya tidak terlihat dari luar. Dahulu saya prihatin melihat kedai nasi tetap buka di bulan puasa. Sekarang, saya malah senang sebab itu memudahkan bagi yang membutuhkannya.
Perubahan sikap itu dimulai dari ketika saya berinteraksi dengan kawan non muslim di kampus. Itulah kali pertama saya berinteraksi secara langsung dengan liyan. Sebelumnya, di SD saya tak ada siswa non muslim. Kemudian saya sekolah di madrasah. Liyan terlalu jauh bagi saya.
Kenalan non muslim di kampus itu adalah anak rantau. Dia orang Jawa, kuliah di Unand Padang. Kalau Ramadhan, dia kesulitan sarapan dan makan siang sebab tidak ada yang berjualan. Di sanalah saya mulai membuka pikiran bahwa tak sepatutnya warung makan dilarang buka sebab sejatinya ada non muslim yang membutuhkannya.
Tidak hanya untuk non muslim, sebenarnya ada juga segmen muslim yang tidak perlu berpuasa. Misalnya perempuan yang berhadats besar, orang tua, orang sakit, anak-anak dan musafir. Mereka membutuhkan makanan di siang hari. Tentunya mereka turut membutuhkan penjual yang menyediakan makanan untuk mereka.
Kadang ada yang beralibi bahwa semestinya merekalah yang mengalah demi menghormati orang yang berpuasa. Semestinya wanita yang berhadats itu memasak saja di rumahnya, tak perlu membeli ke warung sehingga tidak ada keperluan membuka warung.
Namun bagaimana jika hal itu dikenakan kepada orang sakit?
Saya pernah sakit di kost-an di Depok. Saat itu saya belum menikah. Saya tidak bisa memasak karena memang tidak ada dapur di kost-an mahasiswa itu. Dari sana saya jadi tahu gunanya kedai nasi dibuka di siang hari. Karena saya jadi bisa memesan makanan dari warung saat saya sakit itu. Jangan suruh memasak, boro-boro memasak, untuk duduk saja berkunang-kunang.
Perjalanan bersentuhan dengan liyan makin sering terjadi kala mendapat tugas dinas keluar kota di saat Ramadhan. Kebetulan, sering dapat rekan tugas dari kalangan non muslim. Di situ, saya belajar menghargai mereka karena makan siang ketika Ramadhan. Pernah suatu kali dia ragu untuk makan siang karena sungkan kepada saya yang muslim. Tapi saya menyelesaikan keraguannya itu dengan turut makan siang bareng dengannya.
Tidak hanya perkara dengan non muslim, apabila berjumpa dengan muslim pun saya mulai menyadari bahwa ada perbedaan pandangan fiqh tentang status puasa dalam perjalanan. Ada yang mengatakan bahwa sebaiknya tetap berpuasa selagi kuat. Ada juga yang berpandangan sebaiknya tidak berpuasa meskipun masih kuat. Dan ada yang berpandangan bahwa secara otomatis puasa mereka terbatal dengan sendirinya walaupun merasa kuat.
Semua ragam itu berujung pada satu pemahaman, bahwa dibutuhkan kedai nasi yang buka di siang hari untuk memenuhi kebutuhan orang itu.
Sejak saat itu, saya selalu berhusnuzhan bila melihat orang yang membuka kedai nasinya di siang hari dan apabila melihat ada orang yang makan di situ di siang hari pula.
**
Suatu kali di Waikabubak, Pulau Sumba, saya masuk ke rumah makan padang selepas tengah hari. Saya lihat pelayan rumah makan itu tengah makan siang. Dia orang Padang asli. Kami berbincang dengan santai seputar pengalamannya di rantau.
Setelah dirasa agak akrab, berbekal ilmu kala di madrasah, saya pun menasihatinya agar berpuasa. Karena percuma jauh-jauh merantau tapi ibadah tertinggal. Dia mengangguk.
Esoknya di siang yang terik saya datang lagi. Ternyata dia sedang berpuasa mengikuti nasihat saya. Hari itu ia berpuasa sambil menahan godaan aroma rempah masakan padang. Saya senang karena dia mendengarkan nasihat saya.
Saking senangnya, saya langsung masuk ke dalam, duduk di meja nomor sekian, dan memesan nasi gulai tunjang. Cahaya matahari yang menyengat membuat hidangan itu akan terasa segar bila dinikmati dengan segelas es teh manis.
"Dibungkus, Pak?" Tanyanya.
"Makan di sini." Jawab saya.
0 Comments