Enam belas tahun lalu, saya ikut dipekerjakan untuk sebuah studi tentang dampak media online terhadap media konvensional. Saya turun ke lapangan, memandu FGD, melakukan rangkaian wawancara mendalam dengan para petinggi media cetak. Saya datangi mereka satu per satu ke kantornya. Saya masuk ke ruang kerja yang berlapis piagam, rak koran, dan aroma tinta yang masih menyengat. Mereka menyambut ramah, tapi mayoritas memberikan jawaban yang nyaris sama bahwa media daring tidak akan bisa menggantikan media cetak.
Alasannya, menurut mereka manusia membutuhkan pengalaman fisik. Ada sensasi yang tak tergantikan saat menyentuh halaman, mencium aroma kertas, atau membalik lembaran berita sembari menyeruput kopi pagi. Dunia digital, dalam pandangan mereka, terlalu datar, terlalu steril, terlalu tidak manusiawi sehingga tidak mampu menggantikan media konvensional. Bagi mereka, hadirnya media online tak ubahnya seperti hadirnya televisi di masa dahulu yang sama sekali tidak menggangu tiras media cetak.
Itulah bentuk dari penyangkalan. Mungkin di masa itu mereka belum membayangkan bahwa media online merasuk terlalu jauh ke dalam kehidupan manusia modern. Barangkali asumsi mereka media online hanya akan hadir di laptop yang tidak mudah dijinjing di stasiun, terminal, atau dibuka pada saat bertukar pikiran dalam kongkow santai. Dalam kondisi itu, membaca surat kabar atau majalah cetak jauh lebih mudah. Tapi nyatanya sejak saat itu hingga hari ini, media online telah hadir dalam bentuk yang paling dekat dengan perilaku manusia. Ia tampil dalam handphone yang ringan, mudah dibuka, dan yang lebih menyakitkan, ia juga dapat merekam jejak digital pengguna melalui cookies, cache, dan sistem pelacakan lainnya. Media online mampu hadir secara tepat kepada pembacanya pada waktu yang tepat pula berkat susunan kode algoritma.
Penyangkalan adalah sebuah mekanisme psikologis yang berakar jauh dalam diri manusia. Kita menyangkal sesuatu bukan karena kita bodoh, tapi karena kita takut. Seperti dikatakan Carol Tavris dan Elliot Aronson dalam Mistakes Were Made (But Not by Me), otak manusia cenderung mempertahankan citra diri yang konsisten. Informasi yang mengancam pandangan itu akan ditolak secara halus, dibelokkan, atau dikesampingkan. Penyangkalan, kata mereka, adalah bentuk self-preservation atau perlindungan diri dari kenyataan yang terlalu menyakitkan untuk diterima.
Begitu pula menurut Daniel Goleman, penulis Emotional Intelligence:
"Denial blinds us to the obvious and cripples our ability to adapt."
Penyangkalan memang menenangkan, tetapi ia membuat kita buta terhadap realitas. Dan buta terhadap kenyataan berarti kehilangan momentum untuk menyesuaikan diri.
Kini, lima belas tahun berselang, dampak dari media online kepada media konvensional semakin nyata. Kita melihat satu per satu media cetak yang dulu gagah mulai tumbang. Sebagian tumbang untuk tidak terbit lagi, sebagiannya tertatih-tatih mengkonversi diri menjadi media online. Ada juga yang mencoba bertahan dengan setia di jalur cetak, namun jumlahnya kian kecil. Mereka yang dulu berdiri di panggung kepercayaan kini berguguran, perlahan, senyap. Panggungnya masih ada, tapi penontonnya sudah berpindah ke layar gadget.
Dan hari ini, Artificial Intellegence (AI) hadir. Bersama hadirnya, kita mendengar gema denial yang serupa. Ketika kecerdasan buatan mulai menampakkan kekuatannya, banyak yang kembali bersandar pada penyangkalan. Bahwa AI tak akan bisa menggantikan guru, dosen, dokter, penulis, editor, atau jurnalis. Bahwa mesin tidak punya nurani. Bahwa manusia tetap istimewa.
Benar, secara moral, manusia tetap lebih kompleks. Tapi sejarah tak bergerak berdasarkan moralitas, melainkan efisiensi. Penyangkalan seperti ini adalah bentuk coping mechanism, seperti dijelaskan oleh Freud dan Melanie Klein, cara untuk menjaga stabilitas batin ketika kenyataan terasa mengguncang. Psikolog modern seperti Paul Ekman menyebutkan bahwa denial bisa berbentuk berbagai rupa. Dari rasionalisasi, minimisasi, hingga bentuk ekstrem seperti projection dan blame shifting. Di dunia kerja, bentuknya bisa halus: menertawakan teknologi baru, menyebutnya tren sesaat, atau meremehkannya sebagai permainan anak muda.
Namun kenyataan akhirnya datang. Apa yang disangkal terbukti benar. Para penyangkal pun mengalami shock eksistensial. Di fase itu, biasanya muncul keterlambatan adaptasi, rasa frustrasi, dan krisis identitas. Chris Argyris dari Harvard menulis bahwa organisasi yang terjebak dalam budaya penyangkalan akan mengalami stagnasi pembelajaran (organizational learning trap). Mereka tidak hanya tertinggal, tapi juga gagal memahami mengapa mereka tertinggal.
Dan jangan-jangan, sepuluh tahun dari sekarang, kita hanya akan jadi penonton lagi. Menyaksikan profesi-profesi yang kita bela dengan penuh emosi perlahan digantikan lewat inovasi yang tenang, sistematis, dan tak terbendung. Tanpa perlu menyapa manusia yang masih percaya bahwa "kerja manusia tidak dapat digantikan."
Seperti halaman koran yang tak lagi dicetak, profesi pun bisa kehilangan maknanya bukan karena kehilangan nilainya, tapi karena dunia sudah tak lagi membutuhkannya dalam bentuk lama.
Mungkin, yang harus kita lawan hari ini bukan AI, tapi kebiasaan kita berdiri di panggung denial yang menolak skenario baru dan bersikukuh memainkan peran yang sebenarnya sudah tak lagi ada di dalam cerita.
0 Comments