Jam menunjukkan pukul 10.11 pagi. Tinggal 9 menit lagi waktu sebelum saya harus antri mencetak bukti registrasi di Rumah Sakit. Ganjil pula peraturan di RS yang membatasi pencetakan bukti registrasi paling cepat hanya boleh 30 menit sebelum jadwal praktik dokter. Padahal saya sudah datang sejak pukul 8.30 pagi. Sembari membunuh waktu saya leyeh-leyeh di bangku yang ada. Niatnya, sambil membaca buku. Nyatanya, saya malah scrolling telepon genggam.
Di pukul 10.11 pagi itu kantuk menyerang. Pikiran ini memulai membayangkan makanan atau minuman pereda kantuk yang bisa diminum dengan segera dalam sembilan menit. Saya melangkah ke trotoar di depan RS. Beberapa orang berteriak menawarkan kopi. Kopi sepeda. Saya mengangguk mengiyakan. Lalu berdiri di sebelah orang itu.
Sembari menunggu kawannya menyeduh kopi, saya berbincang-bincang dengan lelaki itu. Sebut saja namanya Abdul.
Abdul datang dari Sampang, Madura. Para pegiat kopi sepeda yang mangkal di depan rumah sakit semuanya berasal dari Sampang, seperti dirinya. Ada delapan sepeda berjejer di sana dan sepeda Abdul salah satunya.
"Berarti persaingannya ketat dong, Lora ?" Tanya saya.
Ternyata, mereka sudah punya sistem untuk menghindari persaingan terbuka. Delapan pesepeda kopi itu sudah bersepakat membuat sistem antrian. Secara bergiliran mereka akan menjadi "sales" yang mencari konsumen di depan RS. Begitu ada yang tertarik membeli kopi, si sales akan memberi kode kepada salah satu pedagang kopi sepeda.
"Jatahnya lima orderan untuk satu sepeda lalu pindah ke sepeda lain. Kita bagi sama rata. Kalau semua sepeda sudah kebagian, kita putar lagi ke awal." Demikian Abdul mengisahkan.
Apakah Abdul sebagai sales mendapatkan fee?
"Ndak ada, saya kan juga punya sepeda. Kita gantian saja. Sekarang giliran saya jadi sales, nanti kawan yang lain pula," jelasnya, "begitulah Kak cara kita sesama orang Sampang bertahan di Jakarta ini."
Mereka punya sistem solidaritas sekaligus pertahanan. Solidaritasnya dalam bentuk pembagian jatah order. Untuk pertahanan, mereka mengamankan lapak dari orang baru.
"Kalau ada perantau Sampang yang baru mau masuk, kita buat kesepakatan dulu. Syaratnya harus ada dari kita yang delapan ini yang kenal dia."
"Bagaimana kalau dia bukan orang Sampang tapi ingin jual kopi sepeda juga di sini?"
"Tidak bisa. Dia mesti nyari lokasi lain yang jauh dari kita."
Nampaknya, untuk produk komoditi seperti yang dijual sepeda kopi ini, satu-satunya diferensiasi hanyalah lokasi. Membuat diferensiasi produk tidaklah mudah sebab produknya sama saja : kopi dan minuman instan dari pabrikan. Selain kopi mereka juga sedia teh, susu, teh tarik, sari buah, semuanya dalam kemasan instan siap seduh. Tiap seduhan pun rasanya tidak jauh berbeda. Yang berbeda hanya tiga poin saja : lokasi, lokasi, lokasi. Maka siapapun yang ingin berjualan di lokasi ini berarti dia sedang membangunkan macan eh sepeda kopi yang sedang tidur.
Solidaritas pesepeda kopi asal Sampang ini terwujud berkat adanya pemasok yang sekaligus menjadi "Induk semang" mereka. Induk semang adalah pengusaha grosir kopi dan minuman instan lainnya. Para pesepeda membeli sasetan instan kepadanya.
Antara induk semang dengan pesepeda kopi, terjalin simbiosis mutualisme. Induk semang terbantu karena pesepeda membantu meningkatkan omzetnya, sedangkan pesepeda kopi mendapatkan pekerjaan.
Untuk makin mengikat para pesepeda, induk semang menyediakan starter kit satu set sepeda yang sudah dilengkapi rak kopi. Pesepeda dapat memulai berjualan dengan starter kit ini sembari mencicil setiap hari untuk membeli sepeda itu seharga enam ratus ribu rupiah. Selain menyediakan sepeda, induk semang juga menyediakan tempat tinggal bersama - semacam bangsal besar - untuk tempat menginap para pedagang kopi. Syaratnya cuma satu : harus membeli bahan baku kepada induk semang.
Saling menjaga kepercayaan
"Bisa ga kita beli di tempat lain?" Tanya saya setelah dia jelaskan bahwa harga bahan baku di induk semang bisa lebih mahal 20-30%. Misalnya jika dia beli di supplier lain, harga serenceng kopi hanya Rp. 8.000, sedangkan di induk semang Rp. 10.000.
"Ada yang mencoba, tapi ketahuan." Jawabnya.
Dia bercerita bahwa induk semangnya adalah orang Sampang juga. Induk semang pun hanya merekrut pesepeda kopi asal Sampang saja. Hal yang ditanamkan sejak awal adalah bahwa hubungan dengan induk semang bukan hanya hubungan bisnis semata, melainkan layaknya hubungan Ayah dan Anak. Induk semang telah menyediakan mereka tempat tinggal gratis dan modal awal berupa sepeda, sungguh tidak sopan kalau ia mengkhianati Ayah mereka sendiri.
"Semuanya tiap pagi kita beli di Bapak (induk semang). Dia sediakan kopi saset dan kawannya. Dia juga sediakan dua termos air panas dan satu termos es. Dua termos air panas harganya 5000. Kalau mau isi ulang 1000. Tapi kalau untuk isi ulang sih bebas. Ga mungkin pulang ke induk semang. Kita beli air panas di warung makan terdekat saja." Ulasnya.
Okelah kalau mereka tidak mungkin menipu induk semang. Saya pun bertanya lebih lanjut apakah mungkin rencengan kopi mereka diembat teman?
Hal itu ternyata pernah terjadi. Ketika sepeda diparkir di mess, rencengan kopi tetap dibiarkan tergantung di setang sepeda. Dan ada juga kawan yang mengambil dan memindahkan rencengan itu ke sepedanya.
"Tapi ketahuan sama Bapak." Katanya.
Rupanya di malam hari, Induk semang memeriksa sepeda-sepeda yang parkir. Dia punya catatan pembelian tiap pesepeda sehingga dapat menemukan keanehan. Misalnya bila ada yang kopinya terlalu banyak, atau ada yang tidak membeli suatu jenis kopi dari Induk semang, tapi di sepedanya ada jenis kopi itu.
Kalau yang demikian terjadi, artinya dia tertangkap basah membeli kopi di luar.
***
Usaha kecil seperti ini berjalan dalam semangat kekeluargaan. Hubungan antar pesepeda dan antara pesepeda dengan induk semang dimisalkan seperti hubungan keluarga, bukan hubungan bisnis belaka. Dalam kondisi tertentu, misalnya ada yang sakit, induk semang benar-benar menjadi Ayah bagi mereka.
Oleh karena itu, bila anda bukan keluarga atau minimal dianggap bukan keluarga karena berbeda kampung, dengan mudahnya anda akan tertolak.[]
Sumber gambar : Exposiddik
0 Comments