Titian Berakuk Bernama Muhaimin ?


Muhaimin Iskandar bukanlah nama baru di perpolitikan Indonesia. Mantan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini telah memulai karir politiknya sejak menjadi Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pertama hingga akhirnya menjadi Ketua Umum terlama di partai besutan NU, organisasi Islam Tradisionalis itu. Karir di parlemen pun cukup moncer. Ia berkali-kali menjadi wakil ketua di dewan yang terhormat itu. Di cabang eksekutif, Muhaimin juga telah mencicipi menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Kabiner SBY - Budiono. Rasanya sudah cukup pengalamannya. Tinggal satu posisi yang belum yaitu presiden atau wakil presiden.

Terkait posisi presiden atau wakil presiden, target Muhaimin terbilang unik. Biasanya politisi berkampanye untuk dipilih menjadi yang nomor satu, dan pilihan menjadi nomor dua hanyalah alternatif terakhir. Muhaimin justru sebaliknya. Ia cukup menarget posisi kedua saja, menjadi calon wakil presiden. Telah bertahun-tahun Muhaimin bercita-cita menjadi calon wakil presiden. Sebelum Pemilu 2019, balihonya sudah menyebar dimana-mana. Isinya : Muhaimin Iskandar calon wapres. Namun sayang bagi Muhaimin, Jokowi tidak meminangnya. Jokowi memang membutuhkan tokoh NU sebagai vote getter, tapi tokoh itu bukan Muhaimin. Pilihan Jokowi akhirnya jatuh kepada KH. Ma'ruf Amin yang secara kultur NU mempunyai maqam lebih tinggi dari pada Muhaimin.

Meskipun PKB telah menjadi pendukung Jokowi sejak 2014, posisi Muhaimin secara pribadi tidak mengalami perbaikan karenanya. Jokowi tidak memasukkannya dalam line-up kabinet sama sekali. Bahkan pada 2019, kejadian yang sama terulang kembali, Muhaimin tidak masuk ke dalam kabinet. Sementara anggota-anggotanya diangkat menjadi menteri, Muhaimin sendiri hanya berputar-putar didaur ulang di kursi wakil ketua parlemen. Ada isu bahwa Muhaimin tidak lolos dalam saringan KPK karena terkait dengan kasus yang melibatkannya ketika menjadi menteri.

Menyambut Pemilu 2024, Muhaimin mencari peruntungan baru. Gerindra menjadi pilihan untuk membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya mengusung Prabowo Subianto menjadi calon wakil presiden. Gabungan kursi Gerindra dan PKB berjumlah 136 kursi, cukup memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden. Maka logikanya menjadi sangat mudah. Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra menjadi calon presiden, Muhaimin sebagai Ketua Umum PKB menjadi calon wakil presiden. Prabowo sebagai wakil aliran politik Nasionalis membutuhkan dukungan kaum Islam Tradisionalis melalui Muhaimin. Jika Prabowo menjadi capres, maka seharusnya Muhaimin menjadi wakilnya. Khalas. Deal. Semestinya.

Namun sayangnya, hal itu tidak menjadi kenyataan. Sama seperti tahun 2019, Muhaimin dilepeh. Pabowo tak memilihnya sebaga calon wakil presiden. Memang, Prabowo membutuhkan kaum Islam Tradisionalis, tapi jangan Muhaimin. Muhaimin dianggap tidak menjanjikan sebagai vote getter di kalangan Islam Tradisionalis. Apalagi namanya juga disebut-disebut tersangkut kasus seperti disebutkan di atas. Oleh karena itu meskipun Gerindra dan PKB telah berkoalisi sejak Juni 2022, bahkan yang paling awal, posisi Muhaimin terus digantung. Sekiranya Prabowo menginginkan Muhaimin, tentu duet ini sudah dideklarasikan. Ternyata bukan itu yang terjadi.

Menyadari bahwa harapannya digantung tidak bertali, Muhaimin mencari jalan lain, ia merapat ke Anies Baswedan.

Anies Baswedan adalah calon presiden dari partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat. Ia sendiri tidak mempunyai partai. Walaupun demikian, sebagai anggora HMI dan Al-Irsyad Al-Islamiyah, Anies terpetakan berada di kluster Masyumi. Kluster ini mewakili kaum Islam Modernis. Kluster ini -melalui Masyumi- sempat menjadi pemenang kedua pada Pemilu 1955. Sayangnya belakangan kluster ini tak lagi solid sejak bubarnya Masyumi pada 1960. Sejak saat itu, peran politik kelompok ini melemah. Sebagai calon presiden dari kluster ini, Anies membutuhkan basis massa yang lebih luas dan lebih solid. Di titik inilah Anies membutuhkan koalisi dengan kelompok aliran politik yang lain untuk memenangkan pertarungan. Dan kelompok itu adalah kaum Islam Tradisonalis.

Persoalannya, siapa wakil kaum Islam Tradisonalis yang layak digandeng?

Di sinilah peluang Muhaimin. Setelah digantung tak bertali oleh Prabowo, plus pengalaman dilepeh Jokowi pada 2019, kini ia menemukan seseorang yang haus akan suara kaum Tradisionalis yang tak lain tak bukan ialah Anies Baswedan. Gayung bersambut, pada 2 September 2023, Anies mendeklarasikan Muhaimin sebagai calon wakil presidennya. Tercapailah cita-cita Muhaimin.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Anies seperti terdesak untuk menerima Muhaimin? Bukankah Muhaimin sudah dilepeh dimana-mana? Apakah Anies sudah putus asa dalam mencari tokoh NU yang lebih kuat untuk menjadi calon wakilnya?

Dan yang menjadi pertanyaan lagi, mengapa Anies terlihat terburu-buru dan terdesak untuk mendeklarasikan cawapres Muhaimin? Saking terdesaknya sampai-sampai tidak sempat untuk berkomunikasi dengan partai-partai di Koalisi Perubahan dan Persatuan? Mengapa keputusan ini tampak hanya sebagai keputusan sepihak Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang dipaksakan kepada Anies? Mengapa Anies di-fait-accompli untuk menerima dan harus segera mendeklarasikannya?

Apakah Anies tertiti titian berakuk?

Kasihan juga kalau begitu. []

---

Titian berakuk :
1. Titian yang terancam patah bila diinjak dan membuat orang yang menitinya terjatuh.
2. Tipu muslihat untuk memperdaya orang.

Sumber gambar : Merdeka.com

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts