Mimpi Teosof Founding Fathers Kita?

Siang ini, selepas makan Nasi Padang, ada-ada saja yang melintas di pikiran saya. Biar tidak bikin sakit kepala, saya tuliskan saja di blog ini.

Kali ini saya menggalau tentang sila terpanjang dalam Pancasila kita yaitu sila keempat.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

**

Sila ke empat mempunyai 3 unsur. Pertama penyangkalan, kedua konsep alternatif, dan ketiga metode.

Yang disangkal adalah teori negara lama. Dalam teori ini, negara sesungguhnya hanya ekstensi dari suatu keluarga. Keluarga ini menjadi pemilik negara dan bangsa. Maka mereka disebut bangsawan. Kekuasaan selamanya berada di atas keluarga ini. Sedangkan rakyat adalah objek saja.

Maka kekuasaan lama yang berpusat pada satu keluarga ini disangkal. Ia dicampakkan. Negara bukan milik keluarga bangsawa, bukan monarki. Lalu siapa pemiliknya? Pemiliknya adalah semua rakyat. Sila keempat menegaskan itu dengan menyebutkan "kerakyatan". Simbolnya Banteng, simbol rakyat jelata yang tidak mau tunduk kepada kaum feodal. Mereka adalah rakyat jelata merdeka yang bekerja bukan di atas tanah milik kaum feodal melainkan di atas tanah milik mereka sendiri walapun kecil. Bung Karno menamai rakyat jelata yang seperti ini sebagai kaum Marhaen.

Lalu, apabila negara bukan lagi milik bangsawan, maka siapa yang memimpin?

Sila ke 4 mengajukan alternatif kepemimpinan bukan berada di atas individu-individu atau keluarga tertentu. Kepemimpinan justru berada di atas konsep yang lebih abstrak yang disebut dengan hikmah atau kebijaksanaan. Jadi apabila sebelumnya rakyat mesti tunduk kepada bangsawan, kini rakyat hanya tunduk pada hikmah.

Apakah hikmah itu? Nah ini panjang pula jadinya.

Kemudian, bila hikmah itu abstrak dan dipengaruhi oleh pendapat atau perspektif tiap-tiap kepala rakyat, maka bagaimana cara menemukan satu hikmah yang disepakati bersama dan hendak dijadikan pimpinan itu? Sila ke 4 mengajukan metodenya yakni melalui musyawarah para perwakilan. 

Kalau ini kajinya, maka ada dua hal yang terpikir oleh saya.

  1. Sila ke 4 nampaknya tidak mendukung konsep strong presidentialism dimana posisi presiden sangat kuat. Jika presiden sangat kuat, maka ia hanya akan menggantikan tempat raja saja. Justru dalam semangat sila ke 4 ini, presiden hanya menjadi pelaksana hasil musyawarah. Makanya ada MPR yang fungsinya memang untuk bermusyawarah dan presiden tunduk kepadanya. Sistem yang kini kita jalani pasca amandemen IV UUD 1945 malah berjalan sebaliknya. Presiden menjadi terlalu kuat manakala lembaga permusyawaratan yang bertugas menelurkan hikmah justru melemah. MPR diturunkan posisinya menjadi hanya sekedar joint session untuk menjalankan fungsi seremonial saja. Padahal menurut sila ke 4, pemimpin sejati bangsa kita adalah hikmah, bukan Presiden.
  2. Jika permusyawatan para perwakilan harus menghasilkan hikmah, maka apa kualifikasi seorang wakil itu? Apakah ia harus seorang ahli hikmah? Apakah mungkin persaingan politik akan menghasilkan seorang ahli hikmah? Atau sebaliknya, akankah ahli hikmah bersedia menceburkan diri dalam politik praktis yang sarat dengan tipu muslihat?

Nah, menyadari hal itu UUD 1945 memberikan jalan keluar yang cukup menarik. Ia memperkenalkan dua lembaga perwakilan. Pertama lembaga perwakilan politik yang namanya DPR, dan kedua lembaga permusyawaratan yang akan menghasilkan hikmah yang disebut dengan MPR. Lembaga DPR akan menghasilkan putusan-putusan "rendah" yang berkaitan dengan prosedur-prosedur yang bias kepentingan politk. Sedangkan lembaga MPR akan menghasilkan putusan-putusan "tinggi" yang menentukan arah bangsa. Putusan "tinggi" tidak lahir dari tarik-menarik low politics, tapi hadir dari pemikiran yang tinggi yang sarat dengan hikmah.

Guna menjamin keseimbangan antara kepentingan politik dengan kepentingan "hikmah", MPR didesain diisi oleh dua sayap ini. Sayap politik diisi oleh para politikus di DPR, dan sayap hikmah diisi oleh utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang orientasinya bukan melulu kepentingan politik. Melalui utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, MPR dapat menjadi saluran orang-orang yang bijak bestari ikut serta menentukan arah tujuan negara.

Sayang sekali, konsep ini sudah dihapuskan dalam amandemen UUD kita. Kini MPR kita diisi oleh DPR dan DPD. Keduanya adalah wakil politikus yang bertanding dalam pemilu yang ganas dan masuk ke lembaga itu setelah berdarah-darah. Bukan seperti para ahli hikmah yang lebih tenang lagi bijak bestari.

**

Dalam kazanah Islam, Ahli Hikmah atau disebut Hakim merujuk kepada para pemikir atau filosof. Hakim ini berbeda dengan hakim di pengadilan (judges) yang dalam khazanah Islam disebut Qadhi.

Para Hakim dalam konteks ahli hikmah ini biasanya melalui proses-proses riyadhah yang mendalam. Ia tidak hanya berpikir ala filosof tetapi juga berpikir ala ahli kalam dan bersalik ala para sufi. Makanya sebagian pakar tidak menggunakan kata "Filosof" sebagai padanan Hakim, tapi menggunakan diksi "Teosof".

**

Apakah dahulu founding fathers menginginkan agar negara kita dikemudikan oleh para teosof?

Kalau melihat Bung Karno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Supomo, Yamin, Natsir, apalagi para pendahulu mereka seperti Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto, kok berdetak hati saya, jangan-jangan iya ya? []

Sumber gambar : pikiran-rakyat.com

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts