Bahasa Indonesia vs Bahasa Melayu : Baku Hempas di Pentas Identitas

 


Sebuah keributan kecil-kecilan terjadi antara netizen Indonesia dan negeri jiran Malaysia. Pasalnya, Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri ketika berkunjung ke Jakarta menyampaikan usul untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi nomor dua di Asean. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo terlihat mengangguk setuju ketika Pak Ismail menyatakannya dalam jumpa pers bersama di Istana Merdeka, Jakarta. Masalahnya sesudah jumpa pers bersama itu anggukan Jokowi itu tidak disambut oleh Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia yang adalah anak buah Jokowi sendiri.

Nadiem Makarim mengajukan usul lain : bahasa Indonesia lebih layak menjadi bahasa Asean. Nadiem beralasan bahwa “Dengan semua keunggulan yang dimiliki bahasa Indonesia dari aspek historis, hukum, dan linguistik, serta bagaimana bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang diakui secara internasional, sudah selayaknya bahasa Indonesia duduk di posisi terdepan, dan jika memungkinkan menjadi bahasa pengantar untuk pertemuan-pertemuan resmi ASEAN,” kata Nadiem dalam keterangannya, Senin (4/4/2022) lalu sebagaimana diberitakan oleh Kompas.

Ucapan Nadiem itu kemudian dibumbui dengan klausa patriotik, "Saya imbau seluruh masyarakat bahu membahu dengan pemerintah untuk terus berdayakan dan bela bahasa Indonesia.” ujar Nadiem

Klausa patriotik bela-membela ini sudah membawa kita pada level yang lain sehingga perdebatan ini seolah bukan lagi sebagai perdebatan ilmiah melainkan sudah menjadi pergulatan identitas. Mirip dengan aksi bela-bela yang beberapa kali berhasil membuat Monas memutih seperti piring berhamburan nasi. Kesannya, usulan Ismail Sabri dilihat sebagai upaya untuk memarjinalkan bahasa Indonesia. Bagi mereka – dan mungkin juga bagi Nadiem – bahasa Melayu dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang tidak saja berbeda, tetapi juga berkompetisi. Kalau sudah dibawa ke isu identitas, emosi yang akan lebih berkuasa. Kalau tak dikawal, bisa berbakuhempas.

Pertanyaannya, apakah benar bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu sehingga usul Ismail Sabri itu perlu ditentang? Ataukah sebenarnya kedua bahasa tersebut adalah bahasa yang sama sehingga usul Ismail tidak perlu dianggap sebagai upaya menegasikan bahasa Indonesia?

Ada beberapa bahasa yang sesungguhnya sama atau hanya berbeda dialek tetapi karena kepentingan politik identitas dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Misalnya bahasa Dari yang menjadi bahasa resmi Afghanistan sesungguhnya adalah bahasa yang sama dengan bahasa Persia. Tetapi karena adanya perbedaan negara, kedua dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Padahal, kedua bahasa itu sama saja, hanya berbeda dialek. Kedua bahasa itu mutually intellegible atau saling dimengerti oleh penuturnya. Itu makanya pengungsi Afghan di Indonesia rata-rata dapat bergabung dalam kegiatan-kegiatan komunitas Iran. Sebab mereka menyambung secara bahasa.

Contoh lainnya, bahasa Hindi dan bahasa Urdu. Bahasa Hindi adalah bahasa India yang lazim digunakan di film-film Bollywood sedangkan bahasa Urdu adalah bahasa Pakistan. Bahasa Hindi menggunakan aksara Devanagari manakala bahasa Urdu menggunakan aksara Arab yang dimodifikasi, kira-kira mirip huruf Arab Melayu atau Pegon di Indonesia.

Apakah kedua bahasa itu benar-benar berbeda? Ternyata tidak. Keduanya adalah bahasa yang sama yang kemudian diperlakukan berbeda karena perbedaan identitas politik India dan Pakistan. Perbedaan itu mempengaruhi dalam hal pengambilan sumber kata-kata serapannya. Bahasa Hindi cenderung menyerap kosakata Sangsekerta manakala bahasa Urdu lebih suka menyerap kosakata Persia dan Arab. Namun sejatinya kedua penutur sama-sama saling paham. Orang Pakistan bisa menonton film Bollywood tanpa subtitle, dan begitu juga sebaliknya.

Namun ada juga kasus dimana banyak negara yang terpisah secara politik bahkan kadang berkonflik namun bisa bersatu dalam satu penamaan bahasa meskipun dialeknya berbeda. Contohnya bahasa Arab. Sejak dari Irak hingga Maroko, dari Suriah hingga Komoro, ada banyak sekali dialek Arab yang berkembang. Kosa kata mereka juga berbeda sesuai dengan serapan dari bahasa lokal mereka dan serapan dari bahasa penjajah yang berbeda-beda antar negara. Negara Arab ada yang pernah dijajah Inggeris, Italia, Spanyol, dan Perancis. Namun mereka tetap mengidentifikasi bahasa mereka sebagai bahasa yang sama, meskipun terpisah-pisah secara politik menjadi 22 negara.

Di Asia Tenggara juga ada satu bahasa yang digunakan di 4 negara plus beberapa kawasan di negara lainnya. Namanya bahasa Melayu. Bahasa ini sudah menjadi lingua franca di Nusantara selama ratusan tahun. Belakangan ia diadopsi secara resmi oleh 4 negara yakni Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura, serta dituturkan oleh beberapa komunitas di luar 4 negara itu seperti di Pattani (Thailand), Moro (Philipina), Christmas Island dan Cocos Island (Australia), dan Champa (Kamboja).

Namun bahasa Melayu ini tampaknya mengalami perkembangan seperti bahasa Persia dan Dari, atau seperti bahasa India dan Urdu. Meski berasal dari satu bahasa yang sama, identitas politik membuatnya seperti seolah terpisah satu sama lain. Seperti halnya tanggapan Nadiem terhadap usul Ismail Sabri.

Semula bahasa Melayu diadopsi oleh Belanda sebagai bahasa pengantar untuk pembelajaran kaum pribumi ketika diterapkannya politik etis. Selanjutnya bahasa ini benar-benar diadopsi sebagai bahasa persatuan Indonesia dan dinamakan ulang sebagai bahasa Indonesia. Bahasa Melayu yang dinamakan ulang sebagai bahasa Indonesia ini menyerap kosakata Belanda dan kosakata lokal suku-suku di Indonesia.

Sedangkan di tiga negara lainnya, meskipun bahasa Melayu diadopsi sebagai bahasa kebangsaan, tidak terjadi upaya rebranding nama bahasa itu mengikuti nama negara masing-masing. Maka tidak ada bahasa yang dinamakan bahasa Brunei, bahasa Singapura, atau bahasa Malaysia. Khusus untuk yang terakhir pernah ada upaya rebranding untuk mendorong asimilasi di Malaysia namun tampaknya tidak berlanjut. Berbeda dengan bahasa Melayu Indonesia yang menyerap kosakata Belanda, bahasa Melayu yang berkembang di Brunei, Malaysia, dan Singapura banyak menyerap kosakata penjajah mereka, Inggris.

Lalu bagaimana dengan bahasa Melayu di Pattani, Champa, dan Moro? Karena pengembangan bahasa mereka tidak difasilitasi oleh negara, bahasa Melayu mereka tetap bersifat lokal dan bahkan mengadopsi kosakata dari bahasa resmi negara mereka. Misalnya bahasa Melayu Pattani mengadopsi kosakata Thai, dan bahasa Melayu Moro mengadopsi kosakata dari bahasa Tagalog, Spanyol, serta bahasa-bahasa lokal Philipina lainnya. Oleh karena itu, bahasa Melayu di daerah-daerah tersebut terdengar asing dan sangat jauh dari bahasa Melayu yang distandardkan di ke-empat negara tadi.

Lalu apakah sejatinya bahasa-bahasa Melayu yang dikembangkan di ke-empat negara tersebut adalah bahasa yang berbeda? Tampaknya tidak. Penduduk di keempat negara masing-masing saling mengerti satu sama lain. Karya seni, sastra, dan perfilman mereka bisa dinikmati secara bersama tanpa perlu menggunakan subtitle. Kosakata yang berbeda masih dapat dikenali meskipun jarang digunakan. Misalnya ada kosakata yang jarang digunakan di Malaysia dan lazim digunakan di Indonesia namun bila dibuka kamus, ternyata kosakata itu juga ada di bahasa Melayu Malaysia. Sebaliknya kosa kata yang lazim digunakan di Malaysia dan jarang digunakan di Indonesia sebenarya masih dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Apabila sejatinya bahasa Melayu (Malaysia) dan bahasa (Melayu) Indonesia adalah bahasa yang sama, maka dimana sebenarnya letak persoalan apabila bahasa Melayu diadopsi sebagai bahasa resmi Asean? Jawabannya adalah pada standardisasi.

Sebelum era kemerdekaan, bahasa Melayu adalah bahasa percakapan yang dituturkan dalam interaksi antar suku di Nusantara. Sebagai bahasa percakapan, bahasa Melayu tumbuh dari bawah tanpa melalui proses pengembangan yang terpusat. Dampaknya, tiap kelompok masyarakat mengembangkan bahasa Melayu-nya masing-masing sesuai dengan dinamika lokalnya. Di sini kita temukan ada bahasa Melayu Johor-Riau, bahasa Melayu Deli, bahasa Melayu Jambi, bahasa Melayu Palembang, bahasa Melayu Betawi, bahasa Melayu Kupang, bahkan hingga bahasa Melayu Ambon dan bahasa Melayu Papua. Ragam bahasa Melayu ini makin banyak bila menyertakan sub-sub dialek yang lebih kecil lagi.

Sebagai bahasa yang tumbuh dari bahasa percakapan dengan keragamannya, bahasa Melayu membutuhkan suatu standardisasi agar dapat digunakan pada level yang lebih tinggi misalnya sebagai bahasa administrasi, hukum, dan ilmiah. Namun di sinilah masalahnya menurut Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam “Laguage Planning for Modernisation”. Bahasa Melayu ternyata sangat tidak teratur dan sangat miskin. Kalimat-kalimatnya panjang, serba mendadak, dan ambigu seperti pada naskah Hikayat Sri Rama. Penggunaan imbuhan tidak teratur dan sering diabaikan sama sekali. Bahkan pada naskah karya sastrawan besar Abdullah bin Abdul Kadir Al-Munsyi sang penulis Hikayat Abdullah, pendahulu literatur modern Melayu, sangat banyak ditemui ketidakteraturan dan ketidaktepatan.

Upaya standardisasi bahasa Melayu telah dilakukan pertama kali oleh penjajah Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia dalam rangka memperluas akses pendidikan bagi penduduk pribumi. Terutama dengan didirikannya Sekolah Guru di Bukitinggi. Alumni dari sekolah ini diproyeksikan untuk menjadi guru bahasa Melayu di berbagai daerah tidak hanya di Sumatera tetapi juga di pulau yang lain. Sedangkan di Malaysia, upaya standardisasi dilakukan agak terlambat 20 tahun melalui pendirian Sekolah Guru di Melaka di bawah kepemimpinan RJ. Wilkinson. Adanya dua otoritas penjajah dan setelah kemerdekaan dilanjutkan dengan dua otoritas negara, membuat bahasa Melayu berkembang menjadi dua standard : standar Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama bahasa Indonesia, dan standar Malaysia yang kemudian dikenal sebagai bahasa Melayu.

Sampai di sini, setidaknya kita bisa pahami, bahwa sejatinya bahasa Melayu dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang sama namun mempunyai dua standardisasi yang tumbuh sesuai lokalitasnya. Apakah bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu? Jawabnya “Iya”. Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu dengan standardisasi yang tumbuh melalui dinamika lokal Indonesia dan melalui intervensi pemerintah negara Indonesia.

Bahasa (Melayu) Indonesia dan bahasa Melayu (Malaysia) saat ini agaknya memilih jalan yang mirip dengan bahasa Dari dan bahasa Persia, atau bahasa Hindi dengan bahasa Urdu. Dua bahasa yang sama yang kemudian terpisah karena politik.

Hemat saya, dari pada memilih jalan seperti itu, bukankah lebih baik mencari jalan ala bahasa Arab saja? Mereka ada 22 negara dalam ragam dialek tetapi bersedia menamakan bahasa mereka sebagai satu bahasa saja dengan 420 ribu orang penutur sehingga menjadi bahasa yang kuat secara internasional. PBB menjadikan bahasa Arab sebagai salah satu dari bahasa resmi. Sedangkan bahwa Melayu hanya terpecah ke dalam 4 negara saja sehingga mestinya lebih mudah untuk disatukan dalam satu standar bersama. Dengan penutur lebih dari 300 ribu orang, bahasa Melayu seharusnya dapat menjadi salah satu bahasa resmi tidak hanya di Asean, tetapi juga di PBB. Syaratnya, berhenti bergaduh soal nama, dan upayakan pengembangan satu standar resmi yang sama.

Susanti saja bisa main sama Upin Ipin, masa’ Nadiem ga bisa main sama Mail (Sabri) ? [.]

Sumber gambar : Blog Ling-go

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts