Islam klasik tidak mengenal konsep negara bangsa. Bagi Islam klasik, negara itu tunggal. Yakni sebuah pemerintahan mondial yang diidealkan sebagai pemerintahan tunggal di dunia. Pemerintahan itu diimajinasikan sebagai kelanjutan dari Nabi terakhir yang tunggal juga yakni Nabi Muhammad. Karena pemerintahan tunggal itu diimajinasikan sebagai kelanjutan pemerintahan Nabi, ia dinamakan Khilafah. Orangnya disebut Khalifah yang maknanya pengganti (nabi).
Karena Nabi adalah nabi Islam, maka Khalifah adalah khalifah Islam. Oleh karena itu dalam prakteknya Islam menjadi bangunan superior yang menguasai pemerintahan. Bangunan pemerintahan adalah bagunan sepihak yang dibuat oleh Khalifah dan Islam. Warga lain mendapat ruang tetapi dengan batas yang ditentukan oleh sistem superior yang dibuat Khalifah dan Islam. Atau dengan kata lain, mereka menjadi warga kelas dua.
Realitas sejarah kemudian membawa Khilafah kepada perpecahan. Suku-suku yang ada mulai membentuk pemerintahannya sendiri yang independen dari Khalifah. Toh juga Khalifah -dengan segala keterbatasan teknologi informasi pada zaman itu- tidak mampu mengontrol seluruh dunia lama. Oleh karena itu Khalifah mengakui pemerintahan pecahan itu dan pemerintah di area pecahan itu secara nominal masih mengakui kepemimpinan tunggal Khalifah meskipun pada praktiknya mereka mandiri. Khalifah tidak mampu mengontrol mereka. Malahan, khalifah yang dikontrol oleh aristokrat militer masa itu.
Pasca kolonialisme, dunia Islam memasuki fase baru : fase negara bangsa. Pada fase ini negara bukanlah kelanjutan dari sistem yang dianggap sebagai sistem warisan nabi dan pemimpinnya tidak lagi diimajinasikan sebagai pengganti nabi. Negara bangsa berdiri sebagai entitas lokal yang dibentuk oleh masyarakat di suatu daerah tanpa memandang agama, dan tidak merupakan pelanjut nabi. Pemimpinnya tidak ada kaitan dengan Khalifah (yang memang sudah tidak ada).
Ikatan masyarakat pada negara bangsa tidak lagi didasarkan pada kesetiaan kepada pemimpin (yang disimbolkan dengan bai'at). Tetapi kesetiaan itu adalah kesetiaan kepada kontrak yang disebut konstitusi. Semua warga berkedudukan sama di hadapan konstitusi dengan tidak memandang agamanya.
Di sini masalahnya. Manakala bangunan Islam Klasik dibangun atas superioritas pemimpin (karena dianggap sebagai wakil nabi), pada bangunan negara bangsa pemimpin itu adalah wakil rakyat. Manakala dalam bangunan Islam klasik muslim berkedudukan lebih tinggi, dalam negara bangsa semua pemeluk agama adalah sama derajatnya serta semua agama adalah sama (kedudukannya). Bahkan di dalam negara modern, tidak hanya semua pemeluk agama berkedudukan sama, tetapi yang memilih untuk tidak beragama pun juga mendapatkan kedudukan yang sama.
Konsekuensi dari kesetaraan itu adalah bahwa tidak ada satu agamapun yang boleh mengatur orang lain. Negara bangsa modern memisahkan mana area personal yang boleh diatur menurut agama masing-masing, dan mana area bersama yang tidak boleh diatur oleh salah satu agama. Maka muncullah konsep ruang privat dan ruang publik. Agama silakan di ruang privat, ruang publik diatur dengan konsensus yang tidak mensuperiorkan satu agama di atas agama lain. Konsekuensinya, pemerintah hanya berkuasa di ruang publik, tidak di ruang privat. Saat bekerja di ruang publik, pemerintah tidak boleh beragama.
Ade Armando lahir dari corak masyarakat modern ini. Dimana tidak ada agama yang superior dan tidak boleh diperlakukan superior, pemimpin negara bukanlah wakil dari nabi agama tertentu, semua warga negara berkedudukan sama apapun agamanya sehingga harus ada pemisahan yang tegas antara ruang privat dan ruang publik. Yang privat tidak boleh mengganggu yang publik, yang publik tidak boleh mengagresi yang privat. Oleh karena itu hak dan kebebasan individu harus dijamin agar tidak diagresi baik oleh negara maupun oleh individu lainnya.
Sementara lawan Ade dari golongan Islamis masih terjebak ada corak pikir klasik. Bahwa negara adalah wakil dari nabi yang adalah representasi ajaran Tuhan. Maka negara harus menggunakan prinsip-prinsip Islam, muslim harus dominan atau superior di ruang publik, yang lain harus menepi jika muslim yang superior ini hendak menggunakan ruang publik. Bahkan karena pemerintah masih dianggap sebagai kelanjutan nabi maka pemerintah berhak menentukan mana yang salah dan mana yang benar menurut Islam dan berhak mengagresi ruang privat. Itu makanya di daerah-daerah Islamis, pemerintah mengatur ibadah privat. Mengatur cara berpakaian, jadwal ibadah, bahkan mewajibkan PNSnya menjalankan agama dengan membuat absen sembahyang berjamaah misalnya. Malahan, dalam corak klasik ini pemerintah berhak menentukan mana ajaran yang diterima Tuhan, mana yang tidak. Sehingga bagi mereka menjadi legal lah tindakan diskriminasi atau persekusi terhadap ajaran tertentu yang tidak direstui oleh agama superior cq pemerintahnya.
Dua warna ini saling bertolak belakang. Ade Armando adalah gambaran dari produk pemikiran ala negara negara bangsa sedangkan lawannya adalah pelanjut dari corak pandang klasik. Karena corak pandang klasik ini memandang bahwa dirinya dan pemikirannya adalah pelanjut atau representasi nabi dan eranya, pemikiran Ade yang menentang mereka dianggap sebagai menentang agama dan karenanya layak dihajar dengan kekerasan.
Padahal yang ditentang Ade Armando bukan agama. Yang ditentang Ade adalah corak pikir klasik yang dianut oleh sebagian orang beragama yang dianggap sudah tidak relevan dengan konsep negara bangsa modern yang berbilang agama.
Sumber gambar : wallpaperflare
0 Comments