Minang dan Bugis, Persimpangan Arah Rantau


Suku Bugis - Makassar adalah salah satu suku perantau terulung di dunia. Jejak perantauannya tidak hanya di sekitar wilayah Indonesia, tetapi menyebar ke wilayah-wilayah lain di Asia, Australia, bahkan hingga nun jauh di benua Afrika.

Selain Suku Bugis - Makassar, suku Minang juga merupakan suku perantau. Jejak perantauan mereka juga tersebar di banyak daerah di Nusantara. Bahkan hingga saat ini rumah makannya tersebar di merata tempat. Dimana ada persimpangan, di situ ada rumah makan Padang mengajak makan.

Namun, meskipun sama-sama perantau, terdapat perbedaan karakter perantauan Suku Bugis dan Suku Minang.

Perantau Minang umumnya berasal dari kalangan rakyat jelata. Mereka meninggalkan nagarinya demi mencari penghidupan. Kondisi alam di nagari tidak cukup memadai untuk menghidupi seluruh penduduk yang jumlahnya terus bertambah. Maka mereka pun pergi mencari tanah dan penghidupan baru di luar nagarinya.

Pada mulanya, rantau mereka adalah rantau koloni. Salah satu cabang dari kaum pergi meninggalkan nagari, mencari lahan kosong, menerokanya, membuat area perladangan (taratak), dan mencoba bercocok-tanam di lokasi yang baru itu. Apabila area itu tampak mempunyai prospek pertanian yang baik, anggota kaum yang lain akan berdatangan ke taratak itu untuk meneroka pula. Lama-kelamaan makin banyak anggota koloni di nagari yang lama merantau ke area itu dan membentuk koloni baru. Dari taratak menjadi dusun, dari dusun menjadi koto, lalu memisahkan diri menjadi suatu satuan koloni yang baru bernama nagari.

Koloni-koloni yang terbangun jauh dari pusat kebudayaan asal akan membuat semacam konfederasi dan secara simbolis mengikatkan diri kepada penguasa asal di Pagaruyung sana. Biasanya, untuk menguatkan ikatan simbolis ini mereka akan meminta raja Pagaruyung mengirimkan seorang putra untuk dirajakan di dalam konfederasi yang baru itu. Kedudukan raja ini simbolis belaka karena kekuasaan sesungguhnya tetap berada di tangan penghulu atau kepala-kepala kaum.

Praktik ini tidak hanya berlangsung di koloni-koloni yang dekat atau masih berada di area Sumatera Barat dan sekitarnya, tetapi juga berlaku di koloni yang terpisah oleh laut semisal koloni di Negeri Sembilan Malaysia. Satuan-satuan koloni kecil orang-orang Minang di sana membentuk sebuah konfederasi lalu mengundang seorang anak raja dari Pagaruyung untuk dijadikan raja seremonial. Hingga saat ini, raja di Negeri Sembilan masih tetap berasal dari keturunan raja yang diundang dari Pagaruyung ratusan tahun yang lalu dan masih tetap hanya bersifat seremonial belaka. Kekuasaan sejati berada di tangan penghulu-penghulu kaum atau Luak. Raja hanya berfungsi untuk meresmikan atau mengangkat sumpah para Penghulu Luak yang sudah dipilih oleh kaum di Luak yang bersangkutan.

Seiring datangnya era modern, perantauan koloni terhenti. Tanah-tanah dan hutan-hutan sudah berpunya. Baik punya koloni lain, maupun punya negara. Tidak mungkin lagi membabat hutan dan meneroka lahan-lahan baru untuk dijadikan milik kaum. Muncul era perantauan baru yakni era rantau kota.

Rantau kota ditandai oleh perantauan soliter. Seorang perantau berangkat secara bersendirian, tidak membawa serta anggota kaum dan tidak membuka koloni baru. Tujuannya adalah untuk mencari nafkah. Oleh karena itu mereka biasanya akan mencari pasar untuk berniaga. Ikatan dengan negeri asal tidak terputus, dan di negeri yang baru mereka tidak lagi membuat perkampungan untuk koloni. Sebab dengan karakter perantauan soliter, tidak mungkin satu orang membuat perkampungan koloni baru di rantau. Mereka menumpang saja di kampung-kampung orang yang sudah ada di daerah perantauannya itu.

Jadi pola perantauan orang Minang itu dilakukan oleh rakyat jelata dan motifnya mencari nafkah atau penghidupan. Bentuk awalnya adalah perantauan pertanian yang tujuannya adalah untuk mencari dan membuka lahan-lahan pertanian baru. Belakangan tujuannya berubah dari semula untuk mencari lahan-lahan baru menjadi mencari pasar-pasar yang baru.

Akan halnya masyarakat Bugis dan Makassar mempunyai sejarah perantauan yang berbeda. Para perantau Bugis Makassar awal adalah para bangsawan. Mereka merantau bukan karena motif hendak mencari nafkah melainkan karena sebab lain.

Arus perantauan awal orang Bugis - Makassar biasanya terjadi sebagai dampak dari peristiwa politik di dalam kerajaan. Para pangeran yang tersingkir atau tidak punya peluang untuk bertahan di struktur kerajaan yang sudah ada akan pergi ke daerah baru dan membentuk kerajaan-kerajaan baru. Biasanya apabila kakaknya menjadi raja di kerajaan induk, adiknya akan pergi ke daerah baru dan menjadi raja kecil di kerajaan baru itu. Oleh karena itu di setiap jengkal tanah Bugis - Makassar akan kita temukan kerajaan-kerajaan kecil atau kekaraengan yang merupakan pecahan dari kerajaan yang lebih besar.

Setelah negeri itu dikalahkan VOC dan ditandatanganinya perjanjian Bungayya, muncul kembali arus perantauan keluar dari Tanah Bugis - Makassar menuju daerah lain. Kembali yang merantau itu adalah para bangsawan yang sudah tidak nyaman dengan kondisi dinasti yang semakin lemah dan berada di bawah protektorat VOC lalu Belanda. Para bangsawan yang tersingkir ini pergi meninggalkan saudara-saudaranya yang masih melanjutkan dinasti meski tidak merdeka lagi.

Karena para perantau ini adalah bangsawan, tujuan perantauan mereka juga tidak jauh-jauh dari kebangsawanan pula. Biasanya mereka akan masuk ke dalam struktur pemerintahan lokal di daerah perantauan, membuat hubungan dengan penguasa, dan dalam kondisi tertentu dapat membentuk kekuasaan baru di daerah rantau.

Raja-raja di daerah Sulawesi hingga Nusa Tenggara misalnya masih dapat kita telusuri garis darahnya ke tanah asal di Bugis - Makassar. Begitu pun di daerah lain, masih banyak kerajaan-kerajaan yang para bangsawannya adalah anak cucu Bugis - Makassar. 

Sebagai konsekuensi dari perantauan politik, para bangsawan yang merantau ini kadang terlibat di dalam konflik-konflik di kerajaan tempat tujuan mereka. Misalnya jejak Bugis - Makassar dapat kita temui dalam sejarah perang di era Mataram Islam. Bahkan salah satu jejak perantauan politik mereka masih dapat kita temui misalnya dalam bentuk satuan tentara Brigade Bugis dan Brigade Daheng (Daeng) dalam Kesultanan Yogyakarta yang masih bertahan hingga hari ini.

Jika di Jawa peran politik perantau Bugis - Makassar masih sebatas di level pasukan militer, di Tanah Melayu peran mereka lebih besar lagi. Dinasti terakhir yang menguasai kerajaan Aceh sebelum ditaklukkan Belanda adalah dinasti Bugis. Bahkan jejak perantauan Bugis ini makin jelas terlihat di daerah bekas kerajaan Johor.

Adalah Bugis lima bersaudara dari Kerajaan Luwu yang merantau hingga Kamboja dan kemudian bertapak di Johor. Di sana, sebagai bangsawan, naluri politik mereka tidak mati. Mereka terlibat dalam konflik politik antara dinasti Malaka dengan dinasti Bendahara. Bugis lima bersaudara membantu dinasti Bendahara sehingga berhasil menyingkirkan dinasti Malaka. Sebagai imbalannya mereka diberikan konsesi kekuasaan di sebagian daerah Johor di Riau dengan gelar Yang Dipertuan Muda. Peran Yang Dipertuan Muda ini sangat sentral sehingga hampir bisa dikatakan sebagai penguasa de-facto karena Raja Johor sangat bergantung kepada mereka. Bahkan belakangan dinasti Yang Dipertuan Muda ini berhasil menjadi raja di Selangor dan di Riau Lingga. Sebelumnya, salah satu saudara mereka juga sukses menjadi Raja di Kerajaan Melayu di Mempawah, Kalimantan Barat, dan berlanjut hingga keturunannya sampai sekarang.

Jadi pola perantauan Bugis - Makassar pada masa lalu itu adalah perantauan politik yang dilakukan oleh para bangsawan karena situasi politik yang tidak kondusif dan tujuannya adalah pusat-pusat kekuasaan.

Sekarang, sama seperti yang dialami perantau Minang, setelah institusi negara terbentuk, para perantau Bugis - Makassar tidak lagi menjalankan pola perantauan lama mereka, melainkan sama-sama menjalankan perantauan ekonomi. Era ini adalah eranya perantauan para saudagar yang berasal dari kalangan rakyat jelata tetapi terampil secara ekonomi. Meski tak jarang -dengan kekuatan ekonomi itu- mereka juga mempunyai bargaining politik dan bisa menduduki jabatan-jabatan politik. Menjadi wakil presiden, misalnya.

Terakhir, kehandalan perantauan ekonomi dan politik para saudagar Bugis itu sudah terbukti di Tiongkok (China). Dalam beberapa tahun belakangan, Tiongkok telah berhasil menjadi raksasa ekonomi baru yang menggentarkan para penguasa ekonomi lama dari Barat. Dan prestasi hebat itu bermula dari reformasi ekonomi Tiongkok yang tadinya sangat kiri menjadi ramah pasar. Itu semua berkat jasa seorang arsitek ekonomi besar yang kemudian dikenal sebagai pemimpin besar Tiongkok.

Dengar-dengar kabar angin, dia adalah seorang perantau dari Bugis - Makassar juga. Namanya Daeng Xiaoping 🙂.[]


Sumber gambar : KemanaLagi.com

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts