Singapura Yang Terpaksa Merdeka


Singapura itu pada mulanya adalah tanah milik Imperium Johor. Namun ketika Sultan Mahmud III mangkat, para pangeran bertengkar urusan tahta. Satu pangeran yang bernama Abdur Rahman dirajakan sebagai Sultan Johor yang ketika itu beribukota di Daik, Lingga. Pangeran lain yang bernama Husain yang tak dinobatkan berkecil hati. Maklum, secara umur dia lebih tua. Di sinilah Inggris mengambil kesempatan. Husain dirajakan di Singapura sebagai Sultan-sultanan.

Tak lama ia menjadi Sultan, Inggris bekerja sama dengan Wangsa Temenggung menyingkirkannya. Melalui perjanjian Traktat London, Tanah besar Johor diserahkan kepada Temenggung, Kepulauan Riau diserahkan kepada Belanda, dan Singapura diserahkan kepada Inggris. Husain harus menerima kenyataan ketika Inggris berkata padanya, "You are no longer Sultan". Dengan hati yang hancur ia menyingkir ke Melaka.

Orang Melayu tak begitu tertarik dengan pulau Singapura itu. Dia seperti tak penting. Makanya diserahkan saja kepada Inggris. Oleh Inggris, pulau itu dimodernisasi. Orang-orang dari Tiongkok didatangkan sebagai pekerja. Ketika Inggris hendak angkat kaki dari Singapura, orang Tionghoa sudah menjadi mayoritas di sana.

Saat hendak merdeka dari Inggris, salah satu pemimpin muda mereka yang bernama Lee Kuan Yew berpendapat bahwa sumberdaya Singapura terlalu sedikit untuk menjadi sebuah negara. Negeri itu terlalu kecil bahkan untuk menampung air untuk minum. Singapura butuh tanah lain yang bersumberdaya alam untuk menjamin ketersediaan airnya.

Lee berpikir bahwa Singapura harus bersatu dengan Semenanjung Tanah Melayu supaya rakyat Singapura survive. Melalui perjanjian 1963, Singapura bersama Sabah dan Sarawak bergabung dengan Persekutuan Tanah Melayu membentuk sebuah negara baru bernama Malaysia. Masalah sumber daya alam pun terselesaikan. Dengan menjadi satu negara dengan Tanah Melayu, Singapura mendapatkan pasokan bahan mentah dari negeri-negeri lain di semenanjung.

Sayangnya bulan madu itu hanya berlangsung dua tahun saja. Ternyata situasinya tidak semanis yang dikira Lee. Tanah Melayu masih terkungkung oleh politik kesukuan. Ada tiga suku utama (Melayu, Cina, dan India). Orang Melayu mendapatkan posisi lebih dengan konsep ketuanan Melayu. Raja adalah Melayu, dan agama negara adalah agama orang Melayu (Islam).

Sementara itu Singapura berbeda. Orang Melayu minoritas saja di sana. Pun juga Islam. Lee menginginkan Malaysia menjadi negara kebangsaan untuk seluruh rakyat Malaysia, bukan negara Melayu. "Malaysian Malaysia", kata Lee, bukan "Malayan Malaysia".

Para pemimpin politik di eks Persekutuan Tanah Melayu merasa terancam dengan ulah Lee. Apalagi, Lee juga ingin agar Partai Tindakan Rakyat (PAP) - partainya Lee - turut dalam pemerintahan federal di Kuala Lumpur. Pada 1964, PAP turut bertanding dalam pemilu, meski hanya berhasil menang satu kursi saja. Satu kursi itu saja sudah dirasakan sebagai ancaman oleh politisi semenanjung.

Hubungan pemerintah -saat itu- negara bagian Singapura dengan pemerintah federal Malaysia memanas. Pemerintah Federal yang merasa terancam akhirnya secara sepihak memutuskan untuk menendang Singapura keluar dari Malaysia. Dengan demikian, Singapura menjadi sebuah negara merdeka secara tiba-tiba dalam satu malam, tanpa mereka minta.

Lee Kuan Yew bersedih hati karena diputus saat sedang sayang-sayangnya. Ia menjadi lelaki berhati tisu yang meneteskan air mata ketika konferensi pers. Ia menyesalkan dirinya yang telah "seumur hidup memperjuangkan merger kedua region itu", namun akhirnya dilempar begitu saja.

Tapi Lee tidak membiarkan dirinya larut dengan kesedihan. Ia bertekad dan bersesumbar bahwa meskipun ditendang oleh Malaysia sehingga kini tak lagi punya akses SDA, "Singapore will survive !!" Gertaknya.

Dan, Lee membuktikannya. Singapura tidak hanya survive, tetapi berhasil menjadi negara paling cemerlang di Asia Tenggara. Suatu kondisi yang mungkin tak terpikirkan oleh Malaysia ketika membuangnya. 

Lee amat tahu bahwa Singapura sangat rentan. Negara kecil tanpa sumberdaya alam tentu amat lemah dalam menjamin survivalitas rakyatnya. Pun dengan ukuran mini itu ia dapat dilahap oleh siapa saja yang ingin melahapnya. Maka Lee belajar untuk membangun sistem keamanan di negaranya. Negara kecil harus bersekutu dengan negara besar untuk menjamin keamananya. Siapa negara besar itu? Tentu saja blok barat, AS dan sekutunya.

Tidak hanya dari ancaman luar, Singapura juga menyimpan ancaman internal yakni konflik horizontal antar suku dan agama. Terjadi beberapa kali konflik kesukuan di Singapura. Bila dibiarkan, konflik ini akan menjadi ancaman bagi negara mini itu. Untuk mengantisipasi konflik itu, Lee mengambil pilihan yang cukup tegas bahwa Singapura bukan negara bebasis kesukuan dan keagamaan. Singapura adalah negara republik yang sekuler. Semua keyakinan diperlakukan sama. Dengan demikian peluang konflik diperkecil.

Bagi negara semini Singapura, sebuah konflik kecil saja akan dirasakan sangat besar. Bukan main-main. Singapura itu hanya seluas Jakarta ditambah sedikit. Di sanalah semuanya berada. Mulai dari industri, jasa, pelabuhan, bandara, komplek pemerintahan, komplek pendidikan, dan perumahan rakyat tumplek jadi satu. Sedikit saja konflik akan dirasakan sebagai ancaman satu negara karena akan berdampak kepada semua hal.

Bandingkan dengan Indonesia yang teramat luas. Konflik di satu daerah hanya akan dirasakan oleh masyarakat di daerah itu saja, tidak menjadi konflik nasional.

Dengan latar belakang itulah dapat dimengerti mengapa Singapura amat berhati-hati. Mereka tidak ingin membuka peluang sedikitpun kepada tokoh-tokoh atau pendakwah mana saja yang berpotensi mengobarkan api konflik. Tidak hanya kepada pendakwah Islam, pendakwah agama lain pun juga akan disekat bila dianggap mengancam harmoni antar ras dan agama di negeri yang dahulu bernama Pulau Temasek itu [.]

Sumber gambar : The Peak Magazine

Post a Comment

2 Comments

Recent Posts