Mengalami Madrasah Ramadhan

Sekiranya benar bahwasanya bulan Ramadhan adalah sebuah madrasah untuk kaum yang beriman, apakah pelajaran yang didapatkan dari madrasah itu?

Maka di surau-surau, langgar-langgar, dan masjid-masjid dimana sembahyang tarawih diselenggarakan diadakan pula majelis santapan rohani untuk menyuapi jiwa-jiwa jama’ah yang selama sebelas bulan mungkin tak terjamah tegukan kesejukan batiniyah. Mimbar-mimbar disiapkan, susunan jadwal diisi sejak jauh-jauh hari untuk diisi oleh para ustadz yang didatangkan dari tempat yang tak selalu dekat. Tak jarang permintaan akan ustadz sedemikian tingginya melebihi ketersediaan ustadz di tengah masyarakat. Sebagai jalan keluarnya individu-individu dengan kadar keustadzan tipis-tipis saja diupgrade menjadi ustadz dalam semalam. Dari merekalah melalui majelis-majelis di tempat-tempat penyelenggaraan sembahyang tarawih, umat memetik pelajaran selama Ramadhan.

Bertambah majunya teknologi informasi telah menciptakan fenomena baru. Majelis-majelis yang tadinya hanya ada di dunia fisik sekarang hadir di media yang baru. Jama’ahnya tidak perlu bertatap muka secara langsung, tidak perlu hadir secara fisik di surau, langgar, atau masjid. Teknologi informasi telah menambahkan suatu realitas baru dari yang sebelumnya tidak ada sekaligus telah melipat jarak dan waktu. Ditambah lagi momen wabah Covid19 yang memaksa insan menjadi pahlawan hanya dengan cara rebahan telah membuat realitas yang baru ini makin menemukan arti pentingnya.

Agaknya, melalui teknologi informasi inilah buku “Menggali Spiritualitas Ramadhan” ini hadir ke hadapan kita semua.

Adalah Prof. Maftukhin, Rektor IAIN Tulungagung, yang merefleksikan pelajaran di Madrasah Ramadhan melalui aforisma-aforisma singkat yang diposting di Instagram resmi IAIN Tulungagung. Aforisma itu dituliskan secara konsisten setiap hari selama bulan Ramadhan 1441 H yang lalu. Aforisma-aforisma yang tampil secara ringkas itu tentulah hadir dari kontemplasi individual beliau yang mempunyai latar belakang dan juga mempunya hikmah yang terkandung di dalamnya. Sayangnya jika tidak diuraikan, aforisma bisa berakhir menjadi kata-kata mutiara yang mungkin akan dipungut sebagai pemanis kartu ucapan saja. Di sinilah Guru Kami Abah Dr. Abad Badruzaman memainkan perannya.

Awalnya tanpa izin sang shahibul aforisma, Abah menulis syarah tanpa janji bahwa ia akan menuliskannya secara konsisten. Penulisan syarah itu baru ia mulai di hari ketiga yang artinya ada tiga aforisma yang mesti ia tulis sekaligus pada hari itu. Syarah itu lalu diposting di Facebook milik Abah yang sudah teramat beken itu lagi-lagi tanpa izin eksplisit dari Prof. Maftukhin. Berkah wabah, Abah yang sebelumnya tidak janji akan terus menulis syarah, akhirnya secara konsisten mensyarahi aforisma setiap hari hingga berakhirnya bulan Ramadhan 1441 H kemarin ini. Segera setelah Ramadhan berlalu, barulah Abah mengusulkan agar aforisma itu berikut syarahnya diterbitkan menjadi buku. Di situlah Prof. Maftukhin memberikan restu yang secara implisit juga berarti menyetujui matan syarah yang ditulis oleh guru kami ini.

Ada bebeberapa nama yang tidak bisa tidak terlintas di pikiran saya apabila membaca buku ini.

Pertama, tak lain dan tak bukan ialah Syaikh Ibn Athaillah As Sakandari. Kitabnya Al-Hikam yang kelewat terkenal itu berisi 200-an aforisma yang sarat akan makna. Untuk mengurai makna itu para penulis sepanjang sejarah terlah mencoba menulis syarahnya. Yang paling terkenal misalnya Ibn Ajibah dan di dalam negeri kitab itu ia juga disyarah oleh ulama kita seperti Kyai Sholeh Darat. Untaian aforisma di Al Hikam ini sedemikian indah sampai-sampai dalam makna yang hiperbolik ada yang berkata bahwa sekiranya di dalam sembahyang diizinkan membaca selain ayat Alqur’an, aforisma Al Hikam layak untuk itu.

Kedua, Nahjul Balaghah. Kitab Nahjul Balaghah ialah kumpulan khutbah, surat, dan aforisma yang disandarkan kepada Imam Ali Ibn Abi Thalib as dan dikumpulkan oleh Syarif Radhi. Naskah-naskah yang terkandung di dalamnya berisi pelajaran yang tinggi yang dibungkus oleh tata bahasa yang indah. Amat banyak tokoh dari beragam mazhab dan firqah yang menulis syarah atas kitab ini.

Ketiga, Nurcholish Madjid yang dikenal suka menulis artikel-artikel ringkas yang mensyarahkan Alqur’an atau hadits secara maudhu’i yang kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku.

Keempat, William James. Apakah buku ini seperti “The Varieties of Religious Experience” itu? Tentu tidak. Jika di “The Varieties” James mengumpulkan pengalaman berbagai individu, di buku ini yang dituliskan adalah refleksi satu orang individu saja yakni Prof. Maftukhin. Bukan di situ kaitannya. Yang saya kaitkan adalah orisinalitas kontemplasinya. Religous experience itu sangat personal dialami oleh individu-individu yang tidak dapat dibatasi oleh kaidah-kaidah dan teori-yeori yang telah baku dan oleh karenanya ia otentik. Dengan cara itu pula refleksi-refleksi yang lahir dari kontemplasi Prof. Maftukhin ini kita pandang otentik.

Otentitisitas renungan ini tercermin dari tidak adanyanya catatan kaki atau bingkai-bingkai teori dalam aforisma itu sebagai layaknya gaya menulis akademik. Aforisme ini hadir mirip bait – bait puisi yang tidak perlu dipertanyakan referensinya. Apakah itu buruk? Tentu tidak. Justru dengan otentisitas itu, Prof. Maftukhin berupaya menghadirkan dirinya sebagai insan yang sedang mengalami madrasah Ramadhan dan membiarkan apa yang dipersepsikannya dari madrasah itu terekspresi balik menjadi aforisma.

Di sinilah tugas pensyarah seperti Abah Dr. Abad Badruzaman. Abahlah yang kemudian menjelaskan sesuatu yang tampak tanpa referensi yang hadir secara eksplisit itu ke dalam bingkai konsep-konsep yang dapat dipahami semua. Dalam arti kata, Abah memoderasi subyektifitas kontemplasi Prof. Maftukhin menjadi sesuatu yang objektif sehingga layak menjadi konsumsi semua orang.

Namun di balik puja-puji yang tak perlu diklaim tulus ini, ada dua kritik yang patut kita ketengahkan. Pertama, di bagian pengantar Abah menjelaskan bahwa tema aforisma Prof. Maftukhin cukup lebar tidak hanya terkait puasa tetapi juga membicarakan tema-teman lainnya. Alangkah baiknya sekiranya keluasan tema itu dikelompokkan lagi menjadi bab-bab atau bagian-bagian dalam penulisan buku menurut kesamaan temanya. Walaupun, pilihan seperti itu mungkin akan mengganggu kronologi penulisan yang didasarkan kepada garis waktu.

Kedua, sekiranya memungkinkan, aforisma ini hendaklah ditulis kembali menjadi bait-bait yang lebih bernuansa sastrawi entah dengan rima atau syair yang membuat ia tak sekedar padat secara isi tetapi juga indah secara bunyi. Cuma saja saran kedua ini mungkin akan jadi project baru lagi bagi Abah manakala ia akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab yang kaya akan diksi. Abah tidak perlu cemas bahwa kami akan menjadikannya sebagai bacaan sembahyang seperti Al Hikam Ibn Athaillah. Benar ini, Abah tidak perlu cemas karena kami sudah konsisten di rakaat pertama membaca Qulhu, dan di rakat kedua membaca Wal-Ashri. Itu sudah refleks begitu Alfatihah selesai.🙂

Pada akhirnya, karena otentisitas ini pula, sesungguhnya siapa saja berkesempatan untuk menjadi orang yang berkontemplasi yang kemudian merefleksikan kontemplasinya itu ke dalam aforisma-aforisma. Jangan cemas, Facebook akan setia membantu anda mencatat aforisma itu karena tak henti-hentinya ia nyinyir bertanya setiap waktu “What’s on your mind?”[]

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts