Di Twitter, seorang yang baru pertama kali terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bertanya, "Apa yang anda harapkan dari saya ketika saya sudah dilantik nanti?"
Ia anak muda. Tidak berpolitik selama ini hingga direkrut sebuah partai politik. Banyak pembicaraan dia sebelum ini menampakkan ciri khas anak muda : bersemangat dan idealis.
Tentu banyak harapan yang ditompangkan ke pundaknya. Dia orang baru, semangat menyala, idealisme tinggi, tidak punya beban masa lalu. Sepertinya ia sangat menjanjikan ditengah terpuruknya wibawa lembaga legislatif kita hari ini. Temuan survei Indikator pada awal 2024 lalu mencatat tingkat kepercayaan pada MPR, DPD, DPR dan partai politik berada pada posisi empat terendah dari sebelas lembaga negara yang disurvei. Uniknya, kepercayaan paling tinggi justru ada pada lembaga komando yang bukan perwakilan demokratis yaitu TNI. Maka terpilihnya anggota yang baru ini dapat menjadi secercah harapan untuk perbaikan lembaga legislatif kita.
Akan tetapi, percayalah. Setumpuk harapan itu hanya akan terealisasi sedikit saja. Itu pun sudah untung. Sisanya akan tertinggal sebagai puisi di atas kertas, atau lagu di pentas kampanye.
Ada dua hal yang menyebabkan mengapa hal itu terjadi.
Pertama, sistem proporsional dalam pemilu kita tidak menghasilkan hubungan keterwakilan yang tegas antara pemilih dengan wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat. Satu daerah pemilihan diwakili oleh banyak orang dari banyak partai dengan sebaran suara acak bak beras dikekas ayam. Tidak jelas siapa mewakili daerah yang mana. Oleh karena itu, tidak ada kedekatan yang tegas antara wakil dengan konstituennya, tidak ada tanggungjawab yang kongkrit antara mereka dengan konstituen, sehingga tak jelas pula siapa yang akan beroleh reward dan punishment atas kinerja di Dewan. Kabur.
Kedua, para wakil rakyat dalam sistem kita sejatinya adalah perpanjangan tangan dari partai politik. Keberadaan mereka ditetapkan melalui keputusan pimpinan partai politik dan pimpinan partai politik berhak mengganti mereka di tengah jalan apabila mereka tidak mampu menjalankan kepentingan partainya.
Makin parahnya, partai politik kita hari ini telah berubah menjadi layaknya sebuah perusahaan yang modalnya dikuasai oleh segelintir orang. Jika dahulu suara di partai politik ditentukan oleh anggota, kini ditentukan oleh pemegang saham.
Tak perlu malu-malu untuk mengakui hal ini. PDIP mengikut telunjuk Ibu Mega, Gerindra bak kata Pak Prabowo, PAN bak kata Pak Zulhas, Nasdem bak kata Pak Paloh, PKB bak kata Pak Muhaimin, PSI bak kata Pak Jeffrey, Golkar bak kata, entahlah. Yang jelas, kita menyaksikan betapa dinamika internal partai menjadi amat terbatas. Indikasinya jelas, calon tunggal di pemilihan ketua umum lalu aklamasi kilat tanpa riak. Seng ada lawan.
Dengan demikian, aspirasi anggota legislatif sejatinya adalah aspirasi pemegang saham utama di partai politik. Tidak ada pilihan mereka selain mengikuti kehendak segelintir orang itu. Bila nekat berbeda, surat recall siap ditanda-tangani.
Uniknya, para pembesar yang ada di belakang parpol itu tidak menjadi anggota Dewan. Mereka tidak mengikuti pembahasan, tidak berdebat di persidangan, tidak berpartisipasi dalam voting. Dimana mereka bersidang? Di tempat lain, di luar dewan, hanya beberapa orang saja. Dan anggota Dewan tinggal menghilirkannya secara formal di palu Ketua DPR yang juga bukan ketua partai.
Kembali ke pertanyaan awal, "Apa yang anda harapkan dari saya?" Tanya anggota muda itu.
"Tak banyak, usahakan ndak korupsi. Tapi kalau sulit menghindarinya, jangan banyak-banyak."
Sumber gambar : detiknews
0 Comments