Ticker

6/recent/ticker-posts

Membela Kelas Proletar Tanpa Perjuangan Kelas: Jalan Sunyi Muhammadiyah

Muhammadiyah dan gerakan kiri

Ketimpangan Sosial dan Jalan Revolusi

Bagaimana caranya menangani ketimpangan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat? Itu pertanyaan mendasar yang menjadi akar dari hampir seluruh gerakan protes di dunia. Kenyataannya, sistem ekonomi dan politik arus utama telah menciptakan celah menganga berupa ketimpangan. Kelas pemilik modal memiliki kapasitas untuk mengakumulasi modal secara terus-menerus. Akumulasi itu menciptakan keuntungan demi keuntungan yang kembali berputar dan bertambah. Di sisi lain, ada kelas yang tidak memiliki modal, yaitu kelas proletar, yang tidak punya peluang untuk mengumpulkan modal bagi pertumbuhan ekonominya. Maka, jarak antara keduanya makin lama makin menjauh.

Gerakan perlawanan ala Marxian mengajukan solusi yang bersifat radikal. Mereka percaya bahwa kelas proletar harus bersatu untuk menggulingkan dominasi kelas pemilik modal dan mengambil alih kendali atas alat produksi. Modal kemudian akan dikelola oleh kekuasaan kolektif yang berada di tangan kaum pekerja sendiri. Inilah yang dalam teori disebut sebagai diktator proletariat, yaitu bentuk kekuasaan sementara yang dijalankan oleh kelas pekerja untuk mencegah kebangkitan kembali borjuasi.

Kritik atas Jalan Revolusi Kelas

Namun dalam realitas sejarah, harapan ini sering kali tidak menjadi kenyataan. Alih-alih melahirkan kekuasaan transformatif yang berpihak pada rakyat, diktator proletariat kerap menjelma menjadi kelas penguasa baru yang menggantikan posisi borjuasi, tetapi dengan wajah yang lebih keras. Mereka hidup dalam paranoia, kecurigaan, dan fobia terhadap siapa saja yang dianggap bisa mengembalikan kejayaan kapitalisme, termasuk dari kalangan proletar sendiri. Sejarah memperlihatkan bahwa kekuasaan revolusioner tidak jarang justru menindas atas nama rakyat yang katanya hendak dibebaskan.

Di tengah lanskap seperti itu, Muhammadiyah memilih jalan yang berbeda. Muhammadiyah mengakui adanya ketimpangan dan keberadaan kaum lemah dalam masyarakat, namun tidak membacanya sebagai konflik kelas yang harus diselesaikan dengan revolusi struktural. Muhammadiyah tidak menyerukan perlawanan, tidak meneriakkan penggulingan, dan tidak berambisi menggantikan posisi borjuasi.

Sejak awal, Muhammadiyah berpihak kepada mereka yang tersisih dari akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Tetapi keberpihakan ini tidak dilandasi semangat konfrontatif. Muhammadiyah tidak menggunakan pendekatan perjuangan kelas. Ia tidak memandang masyarakat sebagai arena perang antara yang kaya dan yang miskin, antara penguasa dan yang tertindas. Sebaliknya, Muhammadiyah mengajak semua pihak, termasuk kelas atas dan para profesional, untuk bergabung dalam amal kolektif demi melayani mereka yang tak mampu.

Membela Tanpa Memusuhi

Dengan cara ini, Muhammadiyah menciptakan jalan keberpihakan yang unik. Ia membela tanpa menyerang. Ia memperjuangkan tanpa memusuhi. Ia tidak menggugat sistem secara frontal, melainkan membangun ekosistem alternatif yang membuat sistem tersebut menjadi lebih manusiawi dari dalam. Ribuan sekolah, rumah sakit, BMT, panti asuhan, dan layanan sosial dikerjakan dengan cara yang sistematis, tenang, dan berkelanjutan.

Inilah bentuk keberpihakan tanpa permusuhan. Muhammadiyah mengakui adanya ketimpangan, tetapi tidak merasa perlu menggugat sistem dengan cara yang beringas. Ia lebih memilih langsung menjangkau mereka yang dilukai oleh sistem. Muhammadiyah tidak melakukan kekerasan simbolik untuk mengguncang struktur yang ada. Ia tidak menunggu perubahan dari atas, tidak pula berharap sistem akan berubah dengan sendirinya. Muhammadiyah bekerja dari bawah. Ini bukan semata gerakan retoris demi utopia yang jauh di depan, melainkan tindakan praksis dan etis yang konkret. Bukan tentang ide besar yang melangit, melainkan tentang berbuat di sini, hari ini, dengan cara yang paling realistis.

Muhammadiyah bukan satu-satunya yang memilih jalan ini. Beberapa organisasi lain juga menunjukkan kecenderungan serupa, meskipun berasal dari latar keagamaan dan sejarah yang berbeda. Gerakan Buddha Tzu Chi, misalnya, bergerak dalam bidang kemanusiaan dengan logika serupa. Mereka berpihak kepada yang rentan tanpa mengambil sikap politik yang konfrontatif. Rumah sakit gratis, bantuan bencana, dan pendidikan bagi kaum miskin dibangun dengan kesenyapan yang rapi dan terencana, bukan melalui agitasi atau demonstrasi.

Proyek Pendidikan Rural AKDN
Kegiatan pendidikan di pedesaan Afghanistan oleh AKDN

Demikian pula halnya dengan Aga Khan Development Network (AKDN) dari komunitas Syiah Ismailiyah. Dulu, mereka merupakan kelanjutan politik dari Dinasti Fatimiyah, namun kini telah bertransformasi menjadi gerakan sosial yang tidak lagi memiliki ambisi kekuasaan. Mereka membangun universitas, rumah sakit, lembaga keuangan mikro, dan perumahan rakyat, bukan sebagai bentuk perlawanan terhadap negara, tetapi sebagai pelengkap yang mengisi ruang-ruang kosong yang tidak dijangkau negara. Mereka tidak lagi menyulut konflik kelas. Sebaliknya, mereka mendorong kerja lintas kelas demi kesejahteraan bersama. Bahkan, mereka telah melampaui ambisi politik mereka sendiri.

Kritik atas Jalan Moderat

Tentu saja pendekatan ini tidak bebas dari kritik. Ada yang menilai bahwa pendekatan seperti ini terlalu lunak terhadap ketimpangan struktural. Tanpa tekanan politik, perubahan bisa dianggap lambat dan kompromistis. Bahkan, jalan seperti ini bisa saja tampak seolah melanggengkan dominasi kelas pemilik modal, selama mereka bersedia berbagi. Namun sejarah membuktikan bahwa jalan keras pun belum tentu berhasil. Banyak revolusi sosial berakhir dengan kemunculan kekuasaan baru yang lebih menindas. Sementara itu, Muhammadiyah tetap melayani. Tidak dengan keramaian, tidak dengan letupan agitasi, tetapi dengan perubahan nyata yang bisa disentuh dan dirasakan. Dalam logika Muhammadiyah, kelas pemilik modal bukan musuh bagi kaum tertindas, melainkan mitra dalam mengangkat martabat mereka.

Dalam konteks seperti ini, Muhammadiyah, Tzu Chi, dan AKDN dapat dilihat sebagai contoh gerakan sosial yang menolak logika permusuhan, tetapi tetap radikal dalam kesetiaannya kepada kaum lemah. Radikal bukan karena volume suara yang keras, melainkan karena daya tahan yang panjang. Mereka tidak membentuk oposisi frontal, melainkan membangun ekosistem yang bisa bertahan lebih lama daripada agitasi mana pun. Muhammadiyah seakan sedang menciptakan semesta alternatif yang tumbuh perlahan dan tenang di luar sistem dominan. Ia merawat luka-luka yang dihasilkan oleh sistem, tanpa menuntut agar sistem itu diruntuhkan.

Muhammadiyah Menyalakan Harapan, Bukan Api

Maka, ketika dunia kelelahan dengan dikotomi, kemarahan, dan konflik, Muhammadiyah justru menawarkan jalan sunyi. Jalan yang tidak terlihat gagah dengan tangan terkepal, tetapi terasa nyata di pelosok desa, di bawah jembatan, di gubuk-gubuk beratap jerami, di lorong-lorong kota, dan di dalam rumah kardus. Jalan yang tidak menyulut api, tetapi justru menyalakan harapan.

Barangkali inilah gerakan berkemajuan ala Muhammadiyah. Sebuah jalan di mana masyarakat bergerak maju ke depan tanpa perlu membalik atau menyusun ulang sistem secara utuh. Maju ke depan bersama sistem yang ada, dengan mengobati luka-lukanya terlebih dahulu, agar seluruh kelas sosial bisa tumbuh bersama menuju kehidupan yang lebih adil dan bermartabat.

Dan karena itulah, Muhammadiyah perlu untuk terus hidup.

Posting Komentar

0 Komentar