Ticker

6/recent/ticker-posts

Kibasan Mudawarah Rahmah di Bekas Istana Soeharto

Rahmah El Yunusiyah, Jilbab, Lilit Mudawarah

Di sebuah foto upacara penganugerahan Pahlawan Nasional 10 November 2025 ini, tampak seorang ibu mengenakan kerudung hijau tosca. Kerudung itu dinamakan lilit, atau secara formal disebut Mudawarah. Mudawarah dibuat dari selendang yang lebar dan panjang. Ia dililitkan di kepala menjadi semacam jilbab, tapi bukan jilbab segi empat. Versi modernnya mungkin pashmina, hanya saja pashmina biasanya tak selebar Mudawarah.

Pemakaian Mudawarah dipopulerkan oleh Encik Rahmah El-Yunusiyah, pendiri Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang. Di Diniyyah, Mudawarah menjadi pakaian formal guru dan santri. Setelahnya, Mudawarah menyebar ke berbagai sekolah agama dan madrasah di Sumatera Barat. Hingga kini, Mudawarah menjadi standar pakaian siswi di banyak Tsanawiyah dan Aliyah di Sumatera Barat. Bahkan di beberapa pesantren di luar Sumatera seperti Maros, Sulawesi Selatan, Mudawarah juga menjadi bagian dari seragam santri.

Rahmah Elyunusiyah. Sumber : Wikipedia

Pada 10 November 2025, Encik Rahmah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional karena jasanya di bidang pendidikan. Karena itulah Mudawarah nampak hadir di Istana Merdeka. Dan uniknya, penetapan ini dilakukan bersamaan dengan penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

**

Di zaman Soeharto, kerudung dicurigai sebagai simbol revolusi. Pada tahun 1980-an, anak-anak muda Indonesia mendapatkan inspirasi memakai jilbab dari gerakan Revolusi Islam di Iran. Tepat pada saat itu pula, Soeharto sedang dalam fase paling tinggi kewaspadaannya terhadap gerakan Islam yang berpotensi meniru revolusi tersebut.

Pada era itu, Soeharto tengah melakukan konsolidasi ideologi negara sekaligus konsolidasi kekuasaan. Pancasila diinstruksikan menjadi Eka Prasetya Panca Karsa. Asas ciri organisasi dihilangkan, diganti dengan asas tunggal Pancasila. Simbol-simbol Sanskerta dihidupkan kembali sehingga muncul istilah-istilah seperti Grahasabha Paripurna, Ganagraha, Sasanagraha, Lokawirasabha, dan lainnya. Indonesia yang dibayangkan Soeharto adalah Indonesia sebagai manifestasi kembali Majapahit lama, mirip dengan Shah Iran yang memimpikan Iran ala Imperium Achaemenid.

Dalam proyek konsolidasi itulah, Soeharto mencurigai setiap oposisi, baik yang formal maupun jalanan. Ia membangun benteng kekuasaan dengan menciptakan mitos kesakralan simbol negara sehingga tak boleh disentuh. Bahkan dalam buku "Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya", Soeharto mengatakan, "Lebih baik bagi saya menghilangkan satu orang anggota MPR daripada mereka mengubah UUD."

Padahal, mengubah UUD adalah hak konstitusional MPR. Dan apa yang sebenarnya perlu dicurigai? Dari 1.000 anggota MPR, hanya 350 orang yang dipilih dalam pemilu. Sebanyak 150 berasal dari ABRI yang diangkat Soeharto, dan 500 dari Utusan Daerah dan Golongan yang juga direstui Soeharto. Dari 350 yang terpilih lewat pemilu pun, sebagian besar berasal dari Golkar yang dipimpin Soeharto. Praktis, 80-85 persen anggota MPR adalah orang-orang Soeharto.

Meski telah berhasil menguasai parlemen, Soeharto kemudian menghadapi oposisi luar parlemen. Pada masa itu, sebagian intelektual mulai menilai bahwa Soeharto telah melampaui batas kewajaran. Masa jabatannya sudah melampaui dua periode, meskipun saat itu belum ada aturan pembatasan. Namun sebagian tokoh mulai mempertanyakan legitimasi kekuasaannya. Salah satu gerakan yang muncul adalah Petisi 50, yang direspons Soeharto dengan pencekalan terhadap para penandatangannya.

Selain itu, ada dua gerakan perlawanan yang dianggap mengancam. Pertama, gerakan Islam yang terinspirasi perlawanan terhadap Shah di Iran. Kedua, gerakan kiri yang telah dibabat pada 1965-1966 namun disebut-sebut bangkit dalam bentuk Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Soeharto melabeli kedua ancaman ini dengan istilah EKA dan EKI (Ekstrem Kanan dan Ekstrem Kiri). Keduanya direpresi secara sistematis hingga kehilangan ruang gerak.

**

Rangkaian kecurigaan terhadap EKA berujung pada kecurigaan terhadap jilbab. Ketika gelombang jilbab di Iran berhasil menumbangkan Shah yang terpesona pada simbol kuno Achaemenid, Soeharto menjadi waspada terhadap potensi serupa di Indonesia. Itulah jilbab yang mungkin akan menjadi simbol perlawanan terhadap rezimnya yang juga terpesona pada citra Majapahit.

Kewaspadaan itu diwujudkan dalam bentuk regulasi. Pada 1982, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan SK Nomor 052/C/Kep/D/1982 yang mengatur seragam sekolah. Dalam aturan itu, jilbab tidak termasuk dalam daftar pakaian yang diperbolehkan. Siswi berjilbab dibatasi aksesnya ke sekolah negeri. Mereka yang bersikeras memakai jilbab diminta pindah ke sekolah swasta.

Puncak ketegangan terjadi pada 1988, ketika sejumlah siswi SMA Negeri 6 Jakarta dikeluarkan karena tetap bersikeras memakai jilbab. Peristiwa ini memicu respons luas dari kalangan Muslim. Organisasi seperti Muhammadiyah dan NU, tokoh ulama, intelektual Muslim, hingga mahasiswa menyuarakan keberatan. Mereka menganggap larangan ini sebagai pelanggaran kebebasan beragama. Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara, turun tangan untuk menjembatani dan menekan agar kebijakan dilonggarkan. Bahkan kemudian Siti Hardiyanti Indra Rukmana, putri Soeharto sendiri, secara simbolis menggunakan kerudung, meski bukan jilbab.

Kerudung Mba Tutut. Sumber : Kompas

Tekanan terus berlanjut hingga akhirnya pada awal 1990-an, pemerintah mulai melonggarkan aturan. Namun pada periode 1982-1991, jilbab benar-benar menjadi medan pertarungan simbolik antara negara dan masyarakat Muslim.

Kebijakan serupa juga berlaku di Istana. Jilbab tidak diperkenankan memasuki area Istana. Pada masa itu, mereka yang berjilbab harus menggantinya dengan selendang tipis agar dapat memasuki Istana. Banyak testimoni dari mereka yang diundang ke Istana. Mereka yang berjilbab harus melepasnya dan menggantinya dengan selendang kecil sebagai syarat memasuki Istana.

**

Kini, setelah rezim Soeharto runtuh, Mudawarah masuk ke Istana. Ibu bermudawarah hijau itu—rupanya Ibu Fauziyah Fauzan El-Muhammady, perwakilan keluarga Encik Rahmah—berdiri di dalam Istana pada barisan yang sama dengan keluarga Soeharto, orang yang dulu mencurigai perempuan berpenutup kepala.

Selamat kepada Encik Rahmah atas gelar Pahlawan Nasionalnya.

Selamat karena kini Mudawarah leluasa masuk Istana.

Sumber gambar head : KSP

Posting Komentar

0 Komentar