Ticker

6/recent/ticker-posts

Kenapa Soeharto Bisa Menjadi Pahlawan Nasional?

Soeharto, Pahlawan Nasional

Kok bisa Soeharto menjadi Pahlawan Nasional? Artikel ini mencoba melihat gejalanya dari politik deparpolisasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.

Pertanyaan itu sederhana, tetapi memerlukan refleksi ke belakang, “Bagaimana mungkin seorang presiden yang memerintah dengan represi politik, pelanggaran HAM, dan korupsi sistemik yang berujung pada krisis ekonomi dan politik justru kini mendapatkan gelar Pahlawan Nasional?”

Jawabannya tidak terletak pada ingatan publik yang memutih atau penilaian sejarah yang netral. Jawabannya ada pada struktur politik yang masih bekerja hingga hari ini. Struktur itu adalah warisan langsung dari Soeharto sendiri.

Kita mulai dari gejalanya. Hari ini, parlemen tidak memiliki oposisi yang berwibawa. Fungsi pengawasan atau check and balance nyaris tidak berjalan. Parlemen bukan arena pertarungan gagasan substansial, melainkan ruang untuk mengamankan rencana pemerintah. Jika pemerintah mengusulkan penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, siapa otoritas politik yang akan menolaknya? Tidak ada. Parlemen tidak benar-benar menjadi lawan tanding pemerintah. Yang berdebat justru rakyat biasa di media sosial. Demokrasi kita hidup dalam kolom komentar, bukan dalam gedung parlemen.

Mengapa parlemen sedemikian lemah? Salah satu sebab yang paling mendasar adalah karena partai politik tidak memiliki kemandirian pendanaan. Undang-Undang Partai Politik (UU No. 2/2008 dan revisinya, UU No. 2/2011) memang memberi kerangka legal pembiayaan partai, termasuk bantuan keuangan negara, iuran anggota, dan sumbangan pihak lain. Namun dalam praktiknya, iuran anggota nyaris tidak ada. Basis konstituen pun tak terbentuk. Akhirnya, sumber pendanaan terbesar partai berasal dari kedekatannya dengan kekuasaan. Yang tidak berkuasa tidak punya uang. Yang tidak punya uang tidak bisa menjalankan organisasi.

Karena itu, hampir semua partai berlomba memasuki pemerintahan atau minimal berdamai di belakang layar. Mereka harus mendapatkan kursi menteri atau akses proyek negara agar mesin kepartaiannya hidup. Oleh karenanya, kesetiaan partai bukan kepada pemilih yang tidak dapat mendatangkan uang untuk mengongkosi partai, tetapi kepada lingkar kekuasaan. Parlemen pun kehilangan watak pengawasnya, berubah menjadi Pak Turut yang sopan kepada presiden. Kadang diperhalus dengan istilah Oposisi Loyal.

Lalu, mengapa partai tidak punya basis konstituen yang kuat untuk menopangnya? Mengapa tidak ada anggota yang merasa memiliki partai sehingga bersedia berjuang dalam garis perjuangan partai? Jawabannya terletak pada sebuah kebijakan historis Orde Baru yang mengubah struktur politik Indonesia secara mendalam, yakni deparpolisasi, salah satunya melalui politik massa mengambang (floating mass policy).

Orde Baru muncul ketika Indonesia berada pada krisis politik berkepanjangan akibat kompetisi politik antarpartai. Kompetisi ini menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan karena jatuh bangunnya kabinet. Dampaknya, negara tidak benar-benar punya kesempatan untuk melakukan pembangunan ekonomi. Soekarno sendiri pada 1956 telah menyatakan kekesalannya terhadap dinamika partai politik yang ada, sehingga kemudian pada 1959 ia membubarkan pemerintahan, menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet, dan menjadi perdana menteri.

Soeharto, ketika mengambil alih kekuasaan, membalik situasi lebih jauh dengan menjadikan ekonomi sebagai panglima. Oleh karenanya, peran partai politik harus dibatasi. Muncullah politik deparpolisasi yang dimulai dari penyederhanaan partai politik pada 1973. Kebijakan ini dipertegas melalui Instruksi Dirjen Politik Depdagri Nomor 35 Tahun 1975, yang melarang partai politik membuka cabang atau melakukan kegiatan politik di tingkat desa. Partai hanya dapat beroperasi sampai kabupaten atau kota. Tujuannya jelas untuk memutus hubungan antara rakyat dan partai. Rakyat boleh memilih, tetapi tidak boleh terorganisasi. Mereka hanya menjadi massa pasif, bukan warga politik yang sadar.

Tetapi ada satu pengecualian penting. Sementara PPP dan PDI dipaksa berhenti di level kabupaten, Golkar, dengan alasan bahwa ia bukan partai politik, melainkan organisasi sosial politik peserta pemilu, justru diperbolehkan (bahkan diwajibkan) menjangkau hingga desa. Caranya melalui birokrasi. Pegawai negeri sipil diwajibkan menjadi anggota KORPRI, dan KORPRI adalah bagian dari Jalur B Golkar. Dengan begitu, lurah, camat, pegawai dinas, hingga kepala sekolah adalah agen politik Golkar. Monoloyalitas birokrasi kepada Golkar diformalkan. Negara adalah mesin politik kekuasaan partai yang tak boleh disebut partai itu.

Sistem itulah yang pada gilirannya membuat Golkar menjadi satu-satunya entitas politik yang benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Partai lain tidak punya kesempatan membangun basis. Hubungan rakyat dan partai terputus. Dan yang terputus itu bukan hanya struktur, tetapi budaya politik.

Reformasi 1998 memang mengubah aturan. Birokrasi dipisahkan dari Golkar. Partai boleh kembali ke desa. Namun budaya politik yang dibentuk selama 30 tahun tidak hilang begitu saja. Rakyat tetap merasa partai adalah sesuatu yang jauh, elitis, dan tidak relevan. Tingkat party-ID atau keterikatan emosional pemilih pada partai dalam berbagai survei nasional stabil rendah, rata-rata hanya 10 sampai 15 persen. Artinya, 85 persen rakyat tetap menjadi massa mengambang. Mereka memilih bukan karena identitas politik, tetapi karena faktor lain yang lebih pragmatis seperti agenda sesaat, kedekatan, patronase, atau imbalan.

Dalam kondisi seperti ini, partai tidak punya basis. Tanpa basis, partai tidak punya sumber pendanaan. Tanpa pendanaan, partai tidak punya keberanian untuk menjadi oposisi.

Dan hari ini, kita menyaksikan hasil akhirnya.

Soeharto menjadi Pahlawan Nasional karena struktur yang ia bangun sendiri, yang membentuk kultur parlemen sebagai koor yang, kata Iwan Fals, “hanya tahu nyanyian lagu setuju.” Parlemen tidak mengoreksi. Partai tidak menolak. Rakyat tidak terorganisasi untuk melawan.

Struktur itulah pahlawan yang sebenarnya. Soeharto hanya memetik hasil dari pekerjaannya.

Hehe.

Posting Komentar

0 Komentar