Pada 21 Mei 2025, publik kita dibuat takjub oleh pengunduran diri Menteri Pertanian Jepang, Taku Eto. Ia mundur setelah ucapannya - mengaku tak pernah membeli beras karena selalu diberi pendukung, menuai kemarahan luas. Pujian segera mengalir. Di media sosial, banyak yang menyebut Eto sebagai teladan keluhuran budi. Perbandingan pun merebak: di Jepang, pejabat mundur karena satu kesalahan; di Indonesia, pejabat tetap bertahan meski berkasus.
Namun, di balik euforia moralistik itu, nyaris tak ada yang menyoroti struktur politik yang melatari peristiwa tersebut. Pengunduran diri Eto bukan semata soal keluhuran budi. Ia terjadi karena dua tekanan sistemik yang sangat kuat.
Pertama, ancaman nyata dari lima partai oposisi yang siap mengajukan mosi tidak percaya kepada Perdana Menteri Shigeru Ishiba. Kedua, tekanan elektoral pasca pemilu sela yang membuat koalisi pemerintah kehilangan mayoritas di majelis rendah. Dalam konteks itu, Eto adalah bidak catur yang dikorbankan untuk menyelamatkan posisi raja.
Hiroshi Shiratori, profesor politik dari Universitas Hosei di Tokyo, menegaskan:
“Pengunduran diri Menteri Eto sudah tak terhindarkan sejak kesalahan itu terjadi.”
Ia bahkan menyebut Ishiba terlambat mengambil keputusan, sehingga terlihat lemah sebagai pemimpin.
Namun alih-alih membaca ini sebagai kalkulasi politik, publik Indonesia lebih memilih mengaguminya sebagai kisah kesatria. Di situlah letak kekeliruannya: kita terlalu sering menilai tindakan politik semata-mata dari niat pribadi, bukan dari konteks struktural yang membentuknya.
Perbedaan sistem politik antara Jepang dan Indonesia sangat menentukan. Jepang menganut sistem parlementer, di mana pemerintahan bisa jatuh jika kehilangan kepercayaan parlemen. Vote of no confidence menjadi alat efektif untuk menjatuhkan pejabat. Tekanan ini menciptakan budaya politik yang ringan tangan dalam urusan mundur.
Sebaliknya, Indonesia menganut sistem presidensial. Menteri tidak bertanggung jawab kepada parlemen, melainkan kepada presiden. Tidak ada mekanisme mosi tidak percaya. Presiden tidak perlu mundur walau tidak populer. Maka, tidak ada tekanan struktural yang mengharuskan pejabat mundur kecuali dalam kasus luar biasa. Bahkan kritik keras dari publik atau DPR sekalipun bisa diabaikan selama presiden tetap mendukung.
Meski begitu, Indonesia juga punya preseden pengunduran diri menteri. Bedanya, itu bukan karena tekanan politik, tapi karena menjadi tersangka hukum. Kita ingat Idrus Marham, Imam Nahrawi, atau Juliari Batubara - semuanya mundur setelah dijerat KPK. Bukan karena keluhuran budi, tapi karena konsekuensi hukum yang tak bisa dihindari.
Kesalahan terbesar kita sebagai publik adalah terlalu mudah mengira semua tindakan politik lahir dari niat baik atau buruk. Kita menonton politik seperti sinetron moral: yang mundur dianggap mulia, yang bertahan dicaci. Ini adalah cara pandang yang mengabaikan struktur dan sistem yang membentuk tindakan.
Anthony Giddens, lewat teori structuration, mengingatkan bahwa setiap tindakan individu selalu dibingkai dan dibatasi oleh struktur sosial. Pierre Bourdieu, dengan konsep field dan habitus, menunjukkan bahwa tak ada tindakan yang lahir di ruang hampa. Dalam medan politik Jepang, pengunduran diri adalah konsekuensi logis dari tekanan sistem. Dalam medan Indonesia, logikanya berbeda.
March dan Olsen membedakan dua logika tindakan: logic of appropriateness (bertindak sesuai norma peran) dan logic of consequence (bertindak berdasarkan untung rugi). Publik Indonesia kerap melihat politik hanya lewat norma: apakah ini pantas atau tidak. Padahal, kebanyakan elite bertindak dengan logika konsekuensi.
Max Weber bahkan telah membedakan antara ethics of conviction (etika niat baik) dan ethics of responsibility (etika tanggung jawab). Politik modern menuntut aktor bertindak bukan hanya berdasarkan moral pribadi, tapi juga akibat dari tindakan itu.
Eto tidak mundur karena ilham moral semata. Ia mundur karena struktur politik Jepang menuntutnya begitu. Bahkan, sejumlah laporan menyebut ia berupaya keras mempertahankan jabatan sampai tekanan tidak lagi tertahankan. Maka, cerita kemunduran Eto ini bukan dongeng ksatria yang meletakkan pedang, melainkan kalkulasi rasional demi menyelamatkan wajah pemerintahan dan partai menjelang pemilu.
Jika publik terus gagal memahami peran struktur dalam membentuk perilaku politik, kita akan terus terjebak dalam drama yang mengharu biru dan gagal membaca realitas yang sebenarnya jauh lebih kompleks.
0 Comments