Kali ini saya ingin bercerita tentang paradoks dalam program Keluarga Berencana—sebuah kebijakan yang secara nasional berhasil, namun secara personal bisa menimbulkan pertanyaan mendalam. Terutama saat keluarga kami mengalami ujian berat.
Sebagai program global, Keluarga Berencana (KB) lahir dari kekhawatiran terhadap ledakan penduduk dunia pasca Perang Dunia II. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, lembaga-lembaga seperti Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dan The Population Council di Amerika Serikat mulai menyuarakan pentingnya pengendalian kelahiran. Tujuan mereka bukan hanya membatasi jumlah anak, tetapi juga memperbaiki kualitas hidup: menekan angka kemiskinan, meningkatkan kesehatan ibu, serta memberi hak kepada individu untuk menentukan masa depan keluarganya.
Indonesia pun menyambut gagasan ini. Pada akhir 1960-an, pemerintah mulai mendorong program KB yang kemudian dilembagakan melalui BKKBN. Kampanye nasional “Dua Anak Cukup” menjadi jargon yang melekat di kepala generasi orang tua kita. Dampaknya signifikan: menurut data UNFPA dan BKKBN pada 2012, laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurun dari 5,6% di era 1960-an menjadi hanya 2,3%. Indonesia bahkan diakui sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan KB.
Keberhasilan itu tidak datang tiba-tiba. Ada tiga kunci yang diakui oleh UNFPA. Pertama, dukungan total dari pemerintah pusat dan daerah melalui kampanye besar-besaran yang mengubah persepsi rakyat soal ukuran keluarga ideal. Kedua, peran aktif masyarakat, baik petugas lapangan maupun sukarelawan, yang terus mengedukasi dan mendorong penggunaan kontrasepsi. Ketiga, adanya dukungan dana yang kuat dari donor dalam dan luar negeri.
Namun, program seideal apapun tetap bisa menyimpan paradoks ketika dihadapkan pada realitas hidup yang tak terduga.
Di keluarga kami, paradoks itu muncul tepat pada slogan “dua anak cukup”. Sejak setahun terakhir, kedua orang tua kami mengalami penurunan kesehatan secara drastis. Ayah harus menjalani operasi usus besar dan kini hidup dengan stoma; beliau juga harus menjalani kemoterapi, sekaligus mengelola komplikasi dari penyakit diabetes dan jantung. Di sisi lain, Ibu pun memerlukan perhatian tak kalah intensif karena gangguan pada jantung, tulang belakang, mata, serta fungsi saraf yang kian melemah.
Setiap minggu kami bisa mendampingi mereka ke tiga sampai empat rumah sakit berbeda. Waktu habis di perjalanan, antrean, dan urusan administrasi. Di rumah, mereka tetap butuh perawatan harian dan dukungan emosional, karena rasa sakit dan keterbatasan fisik kerap membuat mereka lelah secara mental. Hidup mereka kini sepenuhnya bergantung pada kami, anak-anaknya.
Saat itulah saya membayangkan bagaimana jika orang tua kami hanya memiliki satu atau dua anak.
Seorang anak yang bekerja kantoran, dengan jadwal padat, lalu harus mendampingi orang tua berobat hampir setiap hari. Harus mengurus obat, mengurus jadwal dokter, menemani rawat inap, dan pada saat yang sama juga menjaga emosi agar tidak runtuh. Tentu sangat melelahkan. Di kantor, mungkin dia akan ditegur karena terlalu sering cuti; di rumah, mungkin dia akan kehilangan kesabaran karena tubuh dan pikirannya sudah benar-benar terkuras.
Untunglah orang tua kami tidak membatasi diri pada slogan itu. Kini, ketika mereka membutuhkan bantuan, kami bisa bergiliran merawat dan mendampingi mereka. Jika hari ini anak A mengantar ke rumah sakit, besok anak B bisa menggantikan. Lusa, anak C. Bahkan cucu dan menantu pun ikut membantu. Beban yang berat itu terbagi, bukan hanya secara logistik tapi juga secara emosional. Tidak ada satu orang yang menanggung segalanya sendirian.
Bukan berarti kami menolak KB. Kami menghormati tujuannya, dan mengakui keberhasilannya dalam skala makro. Tapi pengalaman ini mengajarkan satu hal penting: hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Sakit bisa datang tiba-tiba, usia tua bisa membawa banyak komplikasi. Dan pada saat-saat seperti itu, keluarga besar bisa menjadi sistem pendukung yang tak tergantikan.
“Dua anak cukup” adalah panduan yang masuk akal, jika semua anggota keluarga selalu sehat hingga masa tua. Namun, hidup bukan formula pasti. Dalam kasus kami, lebih dari dua anak bukan beban—melainkan berkah yang sungguh kami syukuri.
0 Comments