Izinkan Kami Merayu dari Sudut Rumah Gadang nan Hampir Rubuh


Setelah heboh tentang toko online BabiAmbo yang menjual menu rendang babi, izinkanlah kami merayu meskipun mungkin akan dianggap bersenda belaka. Tapi percayalah, Tuan dan Puan yang budiman, kami menuliskannya dengan kepedihan yang dalam, sepedih hati kami melihat rumah-rumah gadang yang sudah oleng dan mungkin rubuh tak tergantikan. Bahkan dibiarkan lapuk untuk ditukar dengan rumah-rumah batu nan jauh dari filosofi rumah gadang yang diwasiatkan ninik moyang kami.

Sekali lagi, mungkin ini akan dianggap bercanda. Namun setelah membaca tulisan Tuan Cati Bilang Pandai, ada juga nan masuk ke dalam kira-kira kami. Tulisan ini mungkin ada kesamaan sana-sini dengan apa yang beliau tuliskan.

Inilah rayuan kami.

Kalau kita lihat psikologi sebuah masyarakat, memang sulit menjalani takdir sejarah seperti yang dijalani oleh masyarakat kami ini. Kami dahulu pernah besar membumbung tinggi. Sekarang kami mengirai-ngirai tanah untuk mencari-cari kalau-kalau masih ada sisa-sisa kebanggaan kami. Bahkan pernah ada satu masa, setiap kali ada pesohor nan tampil, kami menelisik nasabnya dengan harapan kalau-kalau ada sambungan dengan ranji kami.

Padahal, Minangkabau itu dahulu jangkar kebudayaan Melayu. Raja-rajanya sakti, lidahnya tajam, kutuknya ditakuti, kata-katanya adalah tuah.

Orang Melayu lama percaya akan kesaktian Dinasti Bukit Siguntang Mahameru. Dinasti itu bercabang dua, satu ke Melaka, satu ke Dharmasraya hingga Pagaruyung. Melaka menjadi cap segel mitologis keabsahan raja-raja Melayu semenanjung. Pagaruyung pun demikian pula di Sumatera bagian tengah. Ia dimohonkan untuk mengirim anak-anak raja guna dirajakan di berbagai tempat sejak dari Sumatera hingga Manila sana. Ia adalah mitos dan legenda tentang sumber kedaulatan para bangsawan Melayu.

Masuk ke era pergerakan kemerdekaan Indonesia, anak-anak Minang masih melanjutkan tuah menjadi pemuka negeri. Tak perlu lagi kami ulang menyebut nama mereka karena akan terlalu panjang daftarnya. Kami yakin Tuan dan Puan sudah ma'lum adanya.

Namun hari ini kami menemui kenyataan bahwa kami kalah hampir di semua lini. Kami menjadi kaum yang tidak berdaya di bawah hegemoni orang lain.

Kami ini sudah kalah. Secara politik kami minoritas, hampir tak ada lagi mimpi untuk bisa menjadi presiden. Jumlah orang kami terlalu sedikit dibandingkan orang Jawa. Bahkan untuk menjadi wakil presiden pun -posisi yang dahulu diisi datuk kami Mohammad Hatta-, tak ada lagi daya kami.

Menjadi menteri agama? Itu sudah hampir tidak mungkin karena kursi itu adalah kursi NU. Sedangkan kami ini banyak Muhammadiyah.

Memberontak pun kami sudah kalah ketika PRRI. Bangkit takut kami karenanya. Bak negeri dikalahkan garuda, kata orang-orang. Jatuh dagu kami ke dada menyurukkan nama-nama asli kami lalu meminjam nama-nama orang yang mengalahkan kami untuk dilekatkan kepada anak-anak kami. Sesudah itu, tokoh-tokoh kebanggaan kami masuk hotel prodeo menjadi narapidana politik.

Di era reformasi, untuk mendukung calon presiden pun kami kalah sejak Amien Rais 2004 hingga Prabowo 2014 dan 2019.

BUMN kebanggaan kami Semen Padang sudah diakuisi pula oleh Semen Gresik.

Uda kami yang kami banggakan Irman Gusman dan Patrialis Akbar di-OTT KPK pula. Sempat Uda kami yang lain yaitu Archandra Tahar dipuji-puji karena prestasinya di rantau jauh Amerika sana. Tapi tak sampai sebulan dia menjadi menteri, sudah tagarajai pula.

Tinggal Rumah Makan Padang itu saja lagi kebanggaan kami. Menyebar ia di seantero negeri bahkan dunia. Dipuji orang akan kelezatan rasanya. Dipakai di segala kenduri sebagai menu universal Indonesia. Ada pula yang berkata, sekiranya ada manusia membuat rumah makan di bulan, rumah makan kami-lah itu.

Tuan dan Puan, dalam kemurungan kami yang timpa-bertimpa itu ada secercah cahaya cerah menerpa muka kami ketika CNN menobatkan rendang menjadi makanan terenak di dunia. Tuan dan Puan, rendang adalah kepala lauk kami. Ia raja dari segala raja hidangan kami. Apa yang dilakukan CNN itu telah mampu menegakkan dagu kami kembali sedikit demi sedikit.

Dan kini RM Padang -kebanggaan kami yang tersisa itu-, diisi pula dengan menu yang bukan kebanggaan kami. Bagaimana tak akan menggelegak hati kami.

Lihatlah kondisi kami hari ini, Duhai Tuan dan Puan yang budiman. Dari kaum yang dianjung setinggi kata di Alam Melayu, kini merudum ke lapis yang tak terbayangkan oleh para pendahulu kami.

Mungkin karena nasib serupa itulah mengapa akhir-akhir ini kami menjadi mudah tersinggung, mudah marah dan terburansang.

Tolonglah, jangan renggut pula setetes air penyejuk dahaga hati kami yang masih tersisa itu. Tolonglah pahami kami. Mohon mengerti akan apa yang kami alami dan kami rasakan.

Membenar kami dengan sepuluh jari, sebelas dengan kepala.

Tolong. Dengan berurai air mata kami memohon kemurahan hati Tuan dan Puan. Dengarkanlah rayuan kami. []

Sumber gambar : Antara Sumbar

Post a Comment

2 Comments

Recent Posts