Ticker

6/recent/ticker-posts

Demonisasi HAMAS, Manipulasi Israel

Palestina, Hamas, Gaza

Palestina, HAMAS, Gaza, dan demonisasi menjadi kata-kata kunci dalam memahami narasi global hari ini. Kecaman internasional diarahkan pada satu aktor tunggal, HAMAS, yang dicap sebagai biang segala kejahatan sejak 7 Oktober 2023 dan karena itu dianggap harus dibasmi dari muka bumi. Bahkan ketika sejumlah negara mulai mengakui Palestina, HAMAS tetap dikecam sebagai teroris yang tak berharga. Inggris dan negara-negara Eropa menyisipkan penolakan terhadap HAMAS dalam setiap pengakuan mereka. Rencana perdamaian ala Trump secara eksplisit mengeliminasi HAMAS dari peta politik. Presiden Indonesia Prabowo menekankan pentingnya menjaga keamanan Israel, Bahkan Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina sekaligus saingan politiknya, terang-terangan menolak keberadaan HAMAS dalam masa depan pemerintahan Palestina. Israel nampaknya berhasil memonopoli bingkai wacana sehingga dunia melupakan akar masalah yang sesungguhnya, yakni pendudukan dan blokade yang menjerat rakyat Palestina di Gaza.

Dalam kajian komunikasi politik, fenomena ini disebut demonisasi. Demonisasi ialah proses memberi label buruk secara total pada lawan sehingga ia dianggap sepenuhnya jahat dan kehilangan legitimasi untuk melawan. Akibatnya, siapa pun yang bersentuhan dengannya ikut dicurigai bahkan dipaksa tunduk pada narasi dominan tersebut

Erving Goffman, melalui teori framing, menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa dapat dibingkai secara konsisten dari sudut pandang tertentu hingga publik menerimanya sebagai kenyataan. Dalam konflik, teknik ini adalah propaganda klasik ketika lawan digambarkan sebagai iblis atau musuh mutlak. Tujuannya, sebagaimana disebutkan oleh Wolfsfeld, adalah untuk melegitimasi kekerasan. Sementara Herman dan Chomsky dalam Manufacturing Consent menunjukkan bagaimana media arus utama melegitimasinya melalui pelanggengan bingkai itu. Dengan kata lain, demonisasi bukan sekadar perang citra, melainkan cara sistematis untuk meniadakan hak pihak yang didemonisasi untuk melawan.

Demonisasi HAMAS adalah bagian dari strategi hegemoni, sebagaimana dijelaskan Antonio Gramsci, di mana kekuatan dominan membentuk “akal sehat” global yang menormalisasi ketidakadilan. Dengan menggambarkan HAMAS sebagai entitas jahat mutlak, Israel dan sekutunya tidak hanya membenarkan serangan militer skala besar, tetapi juga menghapus legitimasi seluruh bentuk perlawanan Palestina, termasuk yang damai. Ini menciptakan jebakan naratif. Jika Palestina menolak kekerasan, mereka dianggap pasif atau kolaborator sebaliknya jika mereka melawan, mereka langsung dicap teroris. Dalam kerangka ini, kekerasan struktural Israel—pendudukan, blokade, perampasan tanah—dihilangkan dari diskursus, sementara kekerasan reaktif dijadikan satu-satunya fokus moral dunia.

Narasi ini sengaja mengaburkan sejarah. Pada 2006, HAMAS memenangkan pemilu legislatif Palestina secara demokratis, di bawah pengawasan internasional. Namun respons Barat bukan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, melainkan boikot politik dan ekonomi total. Ini membuktikan bahwa prinsip demokrasi hanya dijunjung selama hasilnya sesuai kepentingan geopolitik Barat. Sejak itu, Gaza dikucilkan, diblokade, dan dihukum kolektif karena keberaniannya memilih jalan yang tidak disetujui kekuatan asing. Dalam kebuntuan politik dan kemanusiaan inilah perlawanan bersenjata tumbuh sebagai jeritan sebuah bangsa yang nyawanya telah tiba di kerongkongan.

Ketimpangan ini diperparah oleh asimetri hukum internasional. Palestina hingga kini bukanlah negara berdaulat penuh. Ia tidak memiliki angkatan bersenjata resmi, tidak menguasai perbatasan, udara, atau sumber daya alam. Palestina tidak memiliki tank, kapal perang, apalagi pesawat tempur. Akibatnya, kelompok seperti HAMAS tidak diakui sebagai kekuatan militer sah dalam sistem hukum global sehingga setiap anggotanya, bahkan yang bertindak melawan pendudukan, dapat dikriminalisasi sebagai “teroris”. Padahal, rakyat berhak melawan pendudukan asing. Namun dalam praktik, hak ini hanya berlaku secara teoretis. Israel, sebagai negara berdaulat dengan militer canggih dan dukungan penuh Barat, bebas menggunakan kekerasan “defensif” tanpa batas, sementara perlawanan Palestina, sekecil apa pun, langsung dikategorikan sebagai kejahatan.

Tindakan manipulatif Israel ini dapat kita pahami dengan ilustrasi sederhana. Bayangkan seorang suami yang menindas istrinya selama bertahun-tahun. Ia kerap memukul, membatasi ruang gerak, dan merampas kebebasan sang istri. Suatu hari, karena tak tahan lagi, sang istri menampar suaminya. Ketika itulah si suami memutarbalikkan narasi. Ia menampilkan diri sebagai korban dan menjadikan tamparan itu sebagai bukti bahwa istrinya kejam. Publik pun digiring untuk fokus pada satu perlawanan kecil sang istri, sementara kezaliman harian suami dibiarkan terlupakan.

Persis seperti itulah yang dilakukan Israel. Selama puluhan tahun, rakyat Palestina hidup dalam cengkeraman pendudukan. Tanah dirampas menjadi illegal settlement dan outpost, gerak dibatasi oleh checkpoint di tiap kampung, masa depan dikurung lewat tembok-tembok pembatas, Gaza diubah menjadi penjara terbuka. Mereka kehilangan tangan, kehilangan nyawa, kehilangan harta, kehilangan masa depan, dan kini kehilangan hak untuk bernarasi. Dalam kondisi seperti itu, rakyat Palestina melawan. Dari lemparan batu intifadah, serangan bersenjata hingga misil, sampai akhirnya meledak pada 7 Oktober 2023 itu. Lalu, bak suami manipulatif tadi, Israel pun memainkan aksi manipulatif mereka. Israel tampil seolah seorang manusia tanpa dosa yang menjadi korban kezaliman 7 Oktober sambil memanipulasi memori dunia dari kejahatan terstruktur mereka ke atas bangsa Palestina.

HAMAS, Fatah, Jihad Islam, semua lahir dari rahim rakyat yang tertindas. Mereka adalah rakyat Palestina menghadapi pendudukan yang tak berkesudahan, resolusi yang selalu diveto, perjanjian yang diingkari, dan kehidupan dalam penjara terbuka bernama Gaza. Mereka bukan tentara negara, seperti disebutkan di atas, Palestina tidak mempunya tentara, melainkan warga sipil yang terpaksa mempersenjatai diri karena negaranya tak diizinkan eksis. Mereka mirip dengan lasykar-lasykar sipil yang terbentuk di masa revolusi Indonesia dahulu. Di Gaza, seorang pemuda bisa berjualan di siang hari dan mengangkat senjata di malam hari, begitulah gaya hidup sebuah bangsa setiap aspek hidupnya telah dijajah. Di sini, pemisahan sipil dan militer tidak relevan sama sekali. Narasi yang menuduh HAMAS “bersembunyi di balik sipil” sengaja mengaburkan kenyataan ini: rakyat Palestina sendiri adalah medan pertempuran sekaligus pejuangnya.

Demonisasi HAMAS pada hakikatnya adalah strategi manipulatif Israel untuk mengalihkan perhatian dunia. Dengan menjadikan HAMAS sebagai iblis global, Israel memperoleh dalih untuk melanggengkan kekerasan sekaligus menghapus raison d’être perlawanan Palestina dari percakapan internasional. Dunia pun terseret masuk ke dalam narasi sempit bahwa HAMAS sepenuhnya salah, sementara pendudukan yang menjadi akar masalah justru dilupakan.

Media internasional semisal Piers Morgan seolah bernyanyi dalam satu koor, selalu melontarkan pertanyaan yang sama, “Do you condemn HAMAS?”, sambil melupakan pertanyaan yang jauh lebih mendasar dan menentukan, “Mengapa HAMAS harus (tetap) ada?

sumber gambar : cfr.org

Posting Komentar

0 Komentar