Ticker

6/recent/ticker-posts

Arab Capai Titik Jenuh, Menuju Normalisasi?

KTT Arab Islam, KTT Doha. KTT Qatar, Hamas, Palestina, Israel

Seperti telah diduga, tidak ada rencana aksi yang tegas dari KTT Dunia Arab dan Islam kepada Israel. Tidak ada pembalasan, tidak ada tindakan keras. Yang ada hanya dua puluh lima komunike yang isinya hanya kecaman, himbauan, dan harapan.

Arab tampaknya sudah tiba di titik jenuh. Puluhan tahun menjadi ajang perang hanya melahirkan puing. Infrastruktur hancur, ekonomi porak-poranda, masyarakat tercerai-berai. Karena itu, wacana “damai dengan Israel” kini bukan lagi sekadar idealisme, melainkan kebutuhan pragmatis agar negeri-negara Arab bisa bernapas kembali.

Di sisi Palestina, PLO pun sudah lama bergeser ke nada serupa. Faksi yang dulu dikenal sebagai simbol resistensi itu sejak perjanjian Oslo justru mencari jalan kompromi, bernegosiasi, bahkan bersedia menerima Israel sebagai mitra. Dengan begitu, pada level strategis, Israel, Amerika Serikat, Eropa, dunia Arab, hingga PLO kini sekubu. Semuanya ingin damai, menganggap Israel sebagai realitas yang tak dapat lagi ditolak.

Namun, masih ada satu kerikil yang mengganjal yakni poros resistensi yang menolak kompromi yang terdiri dari Hamas, Hizbullah, Houthi, dan Iran. Bedanya, kekuatan mereka tidak lagi solid. Hizbullah kehilangan gigi sejak Sayyid Hassan Nasrallah tewas dan Pemerintahan Lebanon bergeser ke faksi anti-Hizbullah. Houthi terlalu jauh di Yaman sehingga dipandang periferal. Iran dapat dilokalisasi melalui sentimen kebencian kaum Sunni kepada kaum Syiah. Posisi Iran dalam sebagai pemasok senjata juga melemah dengan runtuhnya rezim Assad. Maka, tinggal Hamas yang masih tegak tertatih di Gaza. Komando lapangan banyak yang syahid, jalur logistik persenjataan macet, hanya tersisa fragmen di Gaza dan pemerintahan eksil di Doha.

Serangan Israel ke wilayah yang terkait dengan eksil Hamas adalah pesan keras bahwa tidak ada lagi tempat aman bagi Hamas, bahkan di tanah Qatar yang menjadi sekutu Washington. Bila ada yang berharap Qatar akan membalas, ya itu mimpi. Justru patut diduga, Qatar sendiri sejalan dengan kepentingan untuk mengucilkan Hamas. Sebab dengan menjadi host bagi petinggi Hamas, Qatar kini rentan menjadi sasaran dalam konflik yang sesungguhnya tidak ingin mereka tanggung.

Di sinilah peran Israel menjadi instrumental bagi tujuan itu. Israel seakan-akan melakukan “dirty work” untuk memperlemah pengaruh Hamas - sebuah pekerjaan yang sulit dikerjakan langsung oleh Arab, atau PLO sendiri tanpa merusak citra. Dengan kata lain, Arab terkesan memakai Israel untuk “nabok nyilih tangan” agar tujuan pragmatis mereka untuk berdamai dengan Israel tercapai tanpa harus menanggung backlash domestik yang masih ada sentimen pro strategi non-kompromistik Hamas.

Secara teori, situasi ini bisa dibaca dari beberapa lensa yang saling menguatkan.

Pertama, ini adalah peace by exclusion: bentuk perdamaian yang dicapai bukan lewat inklusi dan rekonstruksi struktural (yang membentuk positive peace menurut Johan Galtung), melainkan lewat penghapusan atau marginalisasi aktor yang menghalangi konsensus. Jalan ini menghasilkan negative peace—hentinya permusuhan formal tanpa penyelesaian akar masalah seperti keadilan, pengungsi, atau status wilayah yang dipersengketakan.

Kedua, dari perspektif liberal peacebuilding (Paris, Doyle), yang menekankan inklusi politik dan pembangunan institusi pascakonflik, yang terjadi justru kebalikan: stabilitas dipaksakan dengan mengecualikan pihak tertentu dari proses politik.

Ketiga, penting menambahkan teori spoiler (Stephen Stedman). Stedman menunjukkan bahwa dalam setiap proses perdamaian ada aktor yang berperan sebagai spoiler—yaitu pihak yang menolak kompromi karena merasa akan kehilangan kepentingan atau identitasnya. Spoiler harus dihadapi — melalui ko-optasi, mitigasi kapasitas, atau, dalam kasus ekstrem, pengucilan. Dalam konteks sekarang, Hamas diposisikan dan diperlakukan sebagai spoiler utama yang harus dinetralisir agar proses normalisasi bisa berjalan. Strategi yang dipilih campuran antara pengurangan kapasitas (militer/keuangan), delegitimasi politik, dan tekanan pada negara-tujuan eksil agar menghentikan dukungan.

Keempat, ada dimensi post-truth peace: narasi perdamaian yang dijual ke publik seringkali menonjolkan citra stabilitas dan perbaikan ekonomi—sementara klaim keadilan substantif (misalnya hak pengungsi, blokade Gaza, status Yerusalem) disisihkan. Ini adalah perdamaian yang lebih berorientasi pada citra dan manajemen persepsi daripada perbaikan struktural yang adil.

Singkatnya, geopolitik Arab hari ini mengonvergensi pada kebutuhan pragmatis untuk “normalisasi” meski malu-malu dan maju mundur. Tetapi normalisasi itu dibangun di atas pembuangan atau netralisasi satu aktor yang masih bersikukuh menolak kompromi. Karena itu, ketika Arab menggelar KTT Darurat di Doha, jangan berharap ada keputusan strategis. Dua puluh lima komunike itu hanyalah auman macan kertas dan singa sirkus yang tak berdaya menghadapi kegarangan serigala liar bernama Israel. KTT itu lebih mirip lomba pidato antar-elite, ajang mengucapkan jargon solidaritas tanpa konsekuensi kebijakan nyata. Bahasa keras boleh keluar, tapi garis akhirnya tetap sama berupa normalisasi permanen dengan Israel, minus aspirasi non kompromistik ala Hamas.

Sumber gambar : sabili.id

Posting Komentar

0 Komentar