Ticker

6/recent/ticker-posts

Anggota DPR: Antara Representasi dan Expertise

DPR, Komisi, Tenaga Ahli, Representasi, Wakil Rakyat

Dalam dinamika politik Indonesia yang saat ini sedang tajam mengarah ke Parlemen, salah satu kritik terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ialah mereka dianggap tidak memiliki keahlian spesifik sesuai dengan bidang kerja di komisi yang mereka duduki. Ada yang ijazahnya tidak relevan dengan bidang kerja di komisi yang dia anggotai, atau jenjang pendidikannya yang hanya sekolah menengah atau paket C. Kritik tersebut kerap berujung pada usulan untuk menerapkan sistem rekrutmen berdasarkan keahlian, layaknya perusahaan yang merekrut karyawan sesuai kebutuhan teknis. 

Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah pendekatan ini tepat untuk diterapkan dalam sebuah lembaga legislatif?

Esensi Representasi vs Teknokrasi

Anggota DPR pada dasarnya menjalankan fungsi representasi, bukan pekerjaan yang sepenuhnya mengandalkan keahlian teknis. Apa yang direpresentasikan bukanlah fakta objektif, melainkan preferensi dari konstituennya. Inilah perbedaan mendasar antara lembaga legislatif dengan institusi teknokratis.

Untuk memahami konsep ini, bayangkan contoh ekstrem. Secara matematis 1+1 memang sama dengan 2. Namun, jika mayoritas konstituen memiliki preferensi bahwa 1+1 sama dengan “plus minus 2”, maka tugas anggota DPR adalah mewakili preferensi tersebut dalam proses legislasi. Meskipun terdengar kontroversial, inilah hakikat demokrasi representatif.

Mengapa Model "Expertise" Tidak Tepat untuk DPR?

Sebagian orang mengusulkan agar rekrutmen anggota DPR mengikuti model seleksi keahlian korporasi. Logikanya sederhana, jika perusahaan membutuhkan staf pertambangan, maka yang direkrut adalah ahli pertambangan; jika perusahaan membutuhkan staf keuangan, maka yang dicari adalah ahli keuangan. Dengan logika serupa, mereka berargumen bahwa Komisi I DPR sebaiknya diisi ahli pertahanan, Komisi II oleh pakar pemerintahan dalam negeri, Komisi VIII oleh ahli agama, dan seterusnya.

Namun, pendekatan ini mengandung beberapa kelemahan fundamental:

1. Keterbatasan Sistem Pemilu

Ketika pemilih mencoblos, apakah mereka memilih wakil untuk setiap komisi? Tentu tidak. Pemilih hanya mencoblos satu nama, padahal di DPR terdapat 13 komisi. Artinya satu nama itu harus mampu merepresentasikan pemilihnya untuk semua bidang. Jika kita konsisten dengan logika expertise, seharusnya pemilih mencoblos 13 nama dengan 13 bidang keahlian yang berbeda untuk mengisi keanggotaan setiap komisi.

2. Realitas Elektoral

Bayangkan skenario ini: sebuah fraksi partai Islam mencalonkan caleg dari berbagai latar belakang keahlian. Namun yang terpilih dalam pemilu hanya caleg berlatar belakang ustadz. Apa yang harus dilakukan? Apakah semua anggota DPR dari fraksi tersebut harus ditumpuk di Komisi VIII (komisi agama) saja? Atau haruskah mereka memecat anggota yang telah dipilih rakyat untuk diganti dengan orang lain yang tidak terpilih namun mempunya keahlian untuk ditempatkan di selain komisi VIII?

3. Skenario Ekstrem

Bagaimana jika dalam suatu pemilu, tidak ada satupun pakar intelijen yang menang dari semua partai yang ada, padahal Komisi I menangani bidang intelijen? Apakah bidang tugas ini harus dihapuskan karena tidak ada anggota yang ahli?

Memahami Peran Sejati Anggota DPR

Dari sini jelas bahwa anggota DPR adalah representasi, bukan teknokrat dengan keahlian teknis tertentu. Keahlian utama yang diharapkan hanya satu yakni keahlian dalam mewakili publik. Yang diwakili adalah preferensi konsituen, bukan kebenaran teknis absolut.

Itulah mengapa aksi mempublikasikan ijazah anggota DPR untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara jurusan pendidikan dengan komisi yang mereka duduki sesungguhnya tidak relevan. Fokus seharusnya bukan pada latar belakang akademis, melainkan pada kemampuan mereka merepresentasikan aspirasi konstituen.

Perdebatan tentang keahlian ini sering dipicu oleh perbedaan paradigma berpikir. Mereka yang berlatar belakang teknik atau sains eksak atau bekerja di dunia korporasi terbiasa dengan kebenaran objektif: 1+1 pasti sama dengan 2 tanpa kompromi. Namun, dalam ilmu sosial, kebenaran adalah persoalan perspektif. Sulit mengatakan bahwa sebuah kebijakan benar atau salah secara absolut, sebab ketika perspektif berubah, penilaian ikut berubah. Dengan demikian, perbedaan preferensi akan melahirkan perbedaan pilihan kebijakan.

Peran Tenaga Ahli dalam Sistem Legislatif

Lalu, bagaimana anggota DPR yang tidak memiliki keahlian teknis dapat mengambil keputusan yang tepat? Jawabannya terletak pada peran tenaga ahli. Mereka bertugas mengumpulkan data dan informasi, menyusun analisis yang komprehensif, dan mengajukan berbagai alternatif kebijakan berdasarkan pertimbangan teknis. Setelah itu, anggota DPR memilih salah satu alternatif kebijakan tersebut. Pilihan yang diambil tidak hanya berdasar pada pertimbangan teknis atau saintifik, tetapi juga pada preferensi konstituen yang mereka representasikan.

Tantangan Utama: Representasi yang Representatif

Kalau sudah sampai pada tahap ini, persoalan berikutnya adalah bagaimana memastikan bahwa preferensi anggota DPR itu koheren dengan preferensi konstituen yang ia representasikan? Pertanyaan fundamental ini telah diperdebatkan oleh para teoretikus demokrasi selama berabad-abad. Giovanni Sartori, misalnya, melalui karya-karyanya tentang teori demokrasi, mengeksplorasi kompleksitas hubungan antara wakil dan yang diwakili. Masalah ini melibatkan dimensi sistem pemilu, akuntabilitas politik, hingga mekanisme umpan balik antara anggota DPR dengan konstituen.

Refleksi dan Jalan ke Depan

Kritik terhadap anggota DPR yang “tidak ahli” sering kali mencerminkan kesalahpahaman tentang fungsi representasi dalam demokrasi. Yang dibutuhkan bukanlah anggota DPR yang ahli di semua bidang, melainkan sistem yang mampu memastikan bahwa preferensi rakyat tersalurkan dengan baik melalui wakilnya, bahwa tenaga ahli dapat memberikan masukan teknis yang berkualitas, bahwa semestinya terdapat mekanisme akuntabilitas yang efektif antara wakil dan yang diwakili, serta bahwa proses demokratis di DPR dapat berlangsung secara bermutu.

Memahami perbedaan antara representasi dan keahlian teknis adalah langkah penting untuk memperbaiki kualitas demokrasi kita. Bukan dengan menjadikan anggota DPR sebagai teknokrat, melainkan dengan memperkuat sistem yang memungkinkan representasi berjalan efektif, sembari tetap mendapat dukungan keahlian teknis yang memadai.

Posting Komentar

0 Komentar