Jika di Sunnisme ada kelompok puritan Salafi-Wahabi yang bersemboyan untuk kembali kepada Qur'an dan Hadits, di Shiaisme juga ada kelompok serupa. Hassan Allahyari boleh jadi salah satu yang cukup terkemuka di Youtube untuk mewakili gejala itu.
Hasan Allahyari adalah seorang sarjana Syiah yang dikenal lewat kanal YouTube dan media sosialnya sebagai pengkritik kuat corak Ushuli dalam tradisi hawzah Syiah. Ia berasal dari Afghanistan dan menempuh studi di beberapa hawzah di Iran dan Irak. Dalam dakwahnya, Allahyari menekankan pentingnya kembali kepada riwayat (akhbar) para Imam dan menolak dominasi metode rasional serta struktur keulamaan modern yang menurutnya menjauhkan umat dari teks asli. Pengikutnya di media sosial menempatkannya sebagai figur yang provokatif namun intelektual. Ia sering dibandingkan dengan corak puritanisme seperti Salafi-Wahabi dalam Sunnisme karena sikap anti-rasionalisme dan literalismenya terhadap teks
Allahyari dalam video-videonya mengkritik teori dan struktur fiqh Syiah yang melembaga dalam tradisi hawzah. Ia menyoroti bagaimana fiqh dipelajari secara sistematis hingga menciptakan strata keulamaan, mulai dari santri (talabeh) hingga puncaknya mujtahid mutlak (Ayatullah Uzhma). Struktur ini menjauhkan umat dari hadits karena mereka lebih mengikuti fatwa ulama daripada teks asli. Kedudukan ulama yang demikian sentral juga membuat mereka kerap melabelisasi siapa saja yang tak sejalan dengan mereka sebagai ghulat.
Menurut Allahyari, corak fiqh yang terstruktur sistematis itu sebenarnya bukanlah asli Syiah. Corak ini diperkenalkan oleh At-Thusi, yang pernah belajar kepada para pemuka Syafi'iyah (salah satu madzhab fiqh dalam Sunnism). Tujuan At-Thusi, kata Allahyari, awalnya hanya untuk menunjukkan bahwa Syiah juga bisa memproduksi hukum dengan logika sekte lain, bukan ditujukan sebagai pedoman bagi umat Syiah sendiri. Oleh karena itu, para Syii seharusnya merujuk kembali kepada hadits.
Dalam pembahasan perihal skisma Islam Syiah, corak Allahyari ini sering disebut sebagai Akhbari. Kaum Akhbari berangkat dari premis bahwa apa yang ada di kitab hadits telah mencukupi untuk menjadi pedoman umat. Oleh karenanya tidak diperlukan lagi interpretasi dari para faqih. Sejarahnya, corak Akhbari dipelopori oleh Muhammad Amin al-Astarabadi (w. 1627), yang menolak keras penggunaan akal, ijtihad, dan prinsip ushul fiqh dalam Syiah. Munculnya corak ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konteks Iran di masa Dinasti Safawi, ketika filsafat dan metode rasional (terutama dari tradisi peripatetik dan Syafi‘iyah) mulai memengaruhi fiqh Syiah. Al-Astarabadi menilai kecenderungan itu berbahaya, karena membuat Syiah semakin jauh dari khazanah riwayat. Ia menekankan bahwa seluruh hukum sudah tersedia dalam hadis, tinggal dirujuk saja tanpa perlu metodologi tambahan.
Di sisi lain, ada kaum Ushuli dengan premis yang berbeda: kitab hadits memang mencukupi sebagai pedoman, tetapi hanya bagi para faqih, bukan bagi umat secara langsung. Kitab hadits hanyalah bahan baku yang tidak akan dapat dipahami tanpa dibekali metode. Di sinilah faqih berperan menjembatani antara kitab dengan umat menggunakan instrumen ushul fiqh. Corak Ushuli ini mulai dirumuskan oleh ulama besar seperti Muhammad Baqir al-Bihbahani (w. 1791), yang dikenal sebagai tokoh kebangkitan Ushuliyah. Dalam pertarungan intelektual abad ke-18, al-Bihbahani berhasil menundukkan ulama-ulama Akhbari terutama di Najaf dan Karbala. Kemenangan ini juga didukung oleh kebutuhan sosial-politik ketika itu. Syiah saat itu membutuhkan struktur keulamaan yang mapan untuk menopang identitas komunitas pasca-Safawi. Ushuli menyediakan kerangka itu melalui konsep marja‘ taqlid, yakni otoritas faqih sebagai rujukan umat. Sejak saat itu, Ushuli menjadi arus utama fiqh Syiah, sementara Akhbari hanya bertahan sebagai kelompok kecil di beberapa komunitas, misalnya di Bahrain.
Kalau kita sedikit bandingkan dengan gejala di Sunnisme di Indonesia, Akhbari ini mempunyai kemiripan dengan Salafi/Wahabi sedangkan Ushuli mirip Aswaja. Salafi/Wahabi menyerukan umat untuk kembali ke Qur'an dan Sunnah secara literal, bukan kepada ulama. Sedangkan Aswaja menyerukan untuk mengikuti ulama sehingga umat tidak punya akses langsung kepada makna literal Qur'an dan Sunnah.
Corak Akhbariyah dalam Shiaisme dan Salafi/Wahabi dalam Sunnisme sama-sama lahir sebagai bentuk penolakan terhadap filsafat dan metode rasional yang dianggap merusak kemurnian agama. Akhbari menghendaki kembali total kepada akhbar atau riwayat para Imam, sementara Salafi-Wahabi menuntut kembali kepada al-Qur’an dan Hadis Nabi secara literal. Bedanya, di dalam Syiah akhirnya corak Ushuli yang mengedepankan akal dan metodologi ushul fiqh berhasil mendominasi hingga Akhbari hanya tersisa dalam komunitas kecil atau dalam bentuk jejak-jejak tendensi pemikiran dan sikap yang terserak di mana-mana. Sedangkan dalam tradisi Sunni, corak Salafi-Wahabi mampu bertahan dan bahkan menguasai pusat otoritas keagamaan di Semenanjung Arab dan terus menyebar ke kawasan-kawasan Sunni, terutama di kawasan urban. Pola paralel ini memperlihatkan dinamika internal umat Islam. Ia memperlihatkan bahwa setiap kali tradisi Islam -dari sekte manapun- berhadapan dengan arus filsafat dan rasionalisme, akan selalu muncul kubu penolak yang ingin kembali pada teks secara literal.
Tapi kalau menurut saya, ada hal yang perlu dicatat. Allahyari bisa berpendapat demikian justru karena dia sendiri adalah produk hawzah -meskipun menurut informan saya, studinya tidak selesai. Fenomena ini menarik yakni seseorang yang dibentuk oleh sebuah sistem kemudian mengkritik sistem itu, tapi tetap membawa jejaknya. Struktur keulamaan tetap muncul, hanya dengan figur berbeda. Misalnya Allahyari sendiri -disadari atau tidak- menjadi ulama rujukan pengikut awamnya. Hal ini menunjukkan keterbatasan alami manusia, bahkan seorang kritikus pun tidak lepas dari pengaruh sistem yang membentuknya.
Sama halnya dengan fenomena di kalangan Salafi-Wahabi. Meskipun mereka menyerukan agar umat kembali pada Qur'an dan Hadits tanpa perantara ulama, pada praktiknya umat -termasuk pengikut Salafi-Wahabi itu sendiri, tetap akan merujuk kepada ulama. Hanya saja, rujukan mereka berpindah dari semula merujuk ke ulama Aswaja, kini merujuk kepada ulama Salafi-Wahabi. Pada akhirnya, fenomena ini menunjukkan bahwa akal dan metodologi tetap diperlukan dalam rangka menjaga keberlangsungan pengetahuan serta untuk menerapkan ajaran pada konteks ruang dan waktu yang variatif dan dinamis.
Ujungnya, manakah yang benar? Apakah Ushuli, Akhbari, Aswaja, atau Salafi-Wahabi?
Ya terserah. Asalkan ndak menggeruduk, mangga ajah..
0 Komentar