Ticker

6/recent/ticker-posts

Syarat Pendidikan Presiden: Demokrasi atau Elitisme?

Calon Presiden, Ijazah

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait syarat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) minimal berpendidikan sarjana atau S-1 dengan nomor perkara 154/PUU-XXIII/2025. Putusan ini telah tepat sebab bukan tugas MK menentukan syarat capres. Syarat capres itu adalah domain undang-undang. Selagi undang-undang tidak melanggar UUD, MK tidak dapat memutuskan lain.

Jabatan politik bukanlah jabatan akademik, bukan pula kerja profesional. Dia adalah posisi yang ukurannya lain. Ukuran utamanya adalah kecerdasan X. Kecerdasan X itu apa? Kecerdasan yang tak diketahui. Ia mirip seperti faktor X dalam keberuntungan. Ia bisa datang dari kelas-kelas formal, ia bisa diperoleh dari pengalaman hidup, ia bisa datang secara tiba-tiba dalam ilham yang tak terpahami. Ia bisa diperoleh oleh seseorang yang bersekolah rendah sekalipun. Ia betul-betul tak terukur.

Karena kecerdasan X itu tak ada ukurannya, maka satu-satunya indikatornya adalah akseptabilitas publik kepada kecerdasan X seorang tokoh. Akseptabilitas itu dibuktikan dalam pemilu. Bila rakyat mengakui bahwa dia cerdas maka cerdaslah ia meskipun ijazahnya rendah, sebaliknya bila publik tidak mengakuinya maka ia tertolak meskipun ijazahnya tinggi. Maka saya setuju, tak perlu standar kuliahan untuk menjadi presiden. Cukup mempunyai ijazah pendidikan dasar saja, sesuai program wajib belajar. Kalau sekarang, pendidikan dasar itu adalah kelas 1 sampai kelas 9, alias SMP.

Sisanya biar faktor X yang bekerja melalui pemilu.

Menariknya, Amerika Serikat—yang sering disebut kampiun demokrasi—sama sekali tidak mensyaratkan pendidikan formal untuk menjadi presiden. Konstitusi AS hanya mensyaratkan tiga hal yaitu warga negara lahir AS, berusia minimal 35 tahun, dan tinggal di AS minimal 14 tahun. Inggris pun demikian. Untuk menjadi anggota parlemen (dan dengan demikian berpotensi menjadi Perdana Menteri), seseorang hanya perlu berusia minimal 18 tahun dan menjadi warga negara Inggris, negara Commonwealth, atau Irlandia—tanpa ada persyaratan pendidikan formal sama sekali.

India, negara demokrasi terbesar di dunia, juga tidak mensyaratkan kualifikasi pendidikan khusus untuk menjadi Perdana Menteri. Syaratnya hanya warga negara India, berusia minimal 25 tahun jika menjadi anggota Majlis Rendah / Lok Sabha (atau 30 tahun untuk Majlis Tinggi / Rajya Sabha), dan mendapat dukungan mayoritas parlemen. Malaysia pun serupa—tidak ada persyaratan pendidikan formal untuk menjadi Perdana Menteri, cukup menjadi anggota Dewan Rakyat dan berusia minimal 21 tahun.

Yang menarik, bahkan di China yang bukan negara demokrasi sekalipun, konstitusinya tidak secara eksplisit mensyaratkan jenjang pendidikan tertentu untuk menjadi presiden. Meski dalam praktiknya seleksi dilakukan oleh Partai Komunis China berdasarkan pengalaman dan track record politik.

Faktanya, negara-negara ini membuktikan bahwa kepemimpinan politik yang efektif tidak memerlukan syarat pendidikan tinggi formal. Yang mereka andalkan adalah sistem checks and balances (semak dan imbang) yang kuat, pemilu yang kredibel (dalam konteks negara demokratis), dan transparansi publik.

Mengapa syarat pendidikan tinggi tidak menjamin apa-apa? Kenyataannya, bahkan lulusan S3 pun banyak yang bodoh soal ketatanegaraan, menjadi korban politik identitas, menjadi penyebar hoaks, dan tidak rasional dalam berpolitik. Otak reptil kalangan terdidik pun tak jauh berbeda dengan otak reptil mereka yang tak berijazah tinggi. Ijazah tidak berkorelasi dengan kecerdasan politik atau kemampuan memimpin negara.

Makanya yang paling urgen adalah bagaimana merancang dan membuat sistem yang baik. Sistem pemilu perlu berlangsung dengan kualitas yang baik. LUBER dan JURDIL harus berjalan, debat capres harus substansial (bukan simbolis), track record harus dibuka. Tujuannya bukan mencari yang terbaik dari sisi pendidikannya, tapi untuk mencari yang paling acceptable dalam kepemimpinannya.

Lalu bagaimana jika nanti dia ngawur dalam membuat kebijakan publik? Itulah peran checks and balances antar lembaga negara. Kita harus desain struktur DPR yang sehat, yang dapat mengawasi dan mengontrol eksekutif, bukan DPR yang tunduk kepada eksekutif seperti sekarang. Sekarang ini, Anggota DPR kita dipiting oleh Ketua Partainya, dan Ketua Partainya bersekutu dengan eksekutif. Presiden bergelar profesor sekalipun, jika tidak ada checks and balances yang kuat, tetap bisa membuat kebijakan ngawur. Dan Anggota DPR bergelar profesor sekalipun tak akan mampu memainkan peran semak dan imbang itu selama masih dipiting oleh ketua partainya.

Kelayakan seorang Presiden bukan tentang akseptabilitas di kalangan kelas menengah atau kalangan akademik, tapi akseptabilitas di kalangan keseluruhan rakyat. Kekuasaan yang hanya diukur dan bergilir di kalangan terdidik formal bukanlah demokrasi. Ia adalah elitisme yang mesti kita lawan sebab ia memanipulasi demokrasi. Kalau diibaratkan dalam kurva normal, elitisme itu membuat kemencengan kurva (skewness) aspirasi menceng ke sisi kanan.

Apalagi Rocky Gerung sudah bilang, ijazah itu cuma bukti bahwa dia pernah sekolah, bukan bukti bahwa dia berpikir.

Posting Komentar

0 Komentar