Ticker

6/recent/ticker-posts

Ragu dan Meriang : Biketouring Depok – Banten Lama - Bagian II

Biketouring, Federal

Malam itu saya memantapkan hati untuk memulai perjalanan Biketouring Depok – Banten Lama bermodal nekat ini. Jika tak jadi sekarang, bisa jadi akhirnya tak jadi-jadi. Istri saya juga sudah setuju untuk membiarkan saya melakukannya. Mungkin dia capek melihat saya bertahun-tahun menonton video para peturing asing di youtube.

Saya sempat iseng menanyakan ke anak apakah dia ingin ikut dengan harapan dia tidak akan tertarik. Ndilalahnya, ternyata dia serius ingin ikut. Saya jadi menyesal menawarkan ini karena selama ini, rekor bersepedanya hanya di seputaran komplek. Saya tidak yakin anak SMP itu akan siap menghadapi keganasan jalanan di luar sana. Apalagi, ia tidak punya persiapan. Sepedanya tidak ada rack, kita tidak punya dua sleeping bag, dan lainnya.

Tentunya dia berkecil hati dengan penolakan saya. Tetapi saya pikir ini adalah keputusan yang rasional. Anak saya harus berlatih bertahap dulu dari bersepeda keliling komplek, keliling kecamatan, keliling kota, baru siap untuk touring jarak jauh. Dengan demikian dia akan dapat beradaptasi baik dari segi stamina maupun dari sisi risiko perjalanan.

**

Malam itu saya tidur lumayan nyenyak. Sesuai rencana, saya baru akan packing-packing di pagi hari. Sebelum memuat barang-barang ke sepeda, saya terlebih dahulu membersihkan sepeda yang berdebu dengan kain lembab. Barulah saya mandi. 

Anak saya masih tidur. Saya menatap wajahnya sambil meragu, “Apakah keputusan untuk tidak mengajaknya itu tidak akan melukai batinnya?” Sebab semalam setelah saya menolak mengajaknya ikut serta, dia sempat berujar, “Ayah dan Ibu tidak percaya kepada saya.”

Tapi apa boleh buat, saya tidak mau mengambil risiko terlalu jauh. Saya tidak ingin perjalanan ini berakhir dengan penyesalan seumur hidup. Dalam hati saya berjanji, suatu saat kita akan touring bareng. Seperti petouring Ayah dan anak di youtube yang berkeliling di dunia. Mereka berasal dari Inggris. Ayahnya mungkin sudah 60 tahunan. Sebelum memulai perjalanan keliling dunia, mereka sebenarnya sudah pernah juga touring di berbagai negara.

Pukul 08.30, saya cium kening tidurnya yang beraroma asam itu. Sembari berharap dia nanti tak terluka ketika terbangun demi mengetahui bahwa Ayahnya sudah berangkat tanpa dirinya. Kemudian topi saya raih, sepeda mulai saya kayuh, beriringan dengan istri berangkat ke kantor. 

**

Sekitar 500 meter meninggalkan rumah, saya mampir ke kedai Madura Mart. Di sana saya membeli obat-obatan, lotion anti nyamuk, shampo sachet, serta sebotol Le Minerale. Saya baru sadar ternyata di sana tidak ada sabun cair dan paket pasta gigi travel. Terpaksa juga saya ke Minimarket.

Saya tidak anti Minimarket. Tapi saya lebih suka ke warung Madura sebab saya menghindari membayar parkir. Meskipun bersepeda, biasanya saya juga membayar parkir. Kadang seribu, kadang lima ratus, kadang cukup dengan angkat tangan saja, khas anak kampung sini. Tapi kalau mau sedikit lebih serius, kita perlu juga memang berbelanja di kedai-kedai kecil. Hitung-hitung untuk menciptakan pemerataan. Cie, gaya bener saya yah, padahal saya belanja cuma beberapa ribu rupiah saja.

Di depan Minimarket, ada ketupat sayur Padang langganan. Saya pikir, daripada kelaparan di jalan, ada baiknya saya sarapan dulu di sini. Si Uni kaget melihat saya membawa bawaan di sepeda. Kepadanya saya bilang saja mau ke Banten Lama. Kalau ke yang lain, saya ga berani menyebutkan tujuan. Takut kalau seandainya saya patah arang dan balik kanan, kan malu. Kalau ada yang bertanya ketika berpapasan saya cuma bilang mau ke daerah Sawangan saja. Ini membuat saya teringat dengan Pak Rudi Kismo yang juga tidak berani menyebutkan bahwa dia ingin melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bali sebelum sampai di Jogja. Jaga-jaga kalau tak sampai.

**

Sepeda saya gowes menuju Dipo KRL Depok Lama. Sejujurnya saya tidak suka lewat di sini karena saya harus menaiki fly over untuk kemudian turun ke underpass. Kekuatan kaki serasa diuji bersama perut yang mengeras dan nafas yang ngos-ngosan. Saya harus berhati-hari sekali melalui medan yang terlalu ekstrim karena saya tidak yakin dengan kondisi kesehatan saya. Tapi sejak jalan Dewi Sartika berubah menjadi jalur searah, saya tidak punya pilihan lain kalau tidak mau memutar terlalu jauh.

Pagi itu badan merasa panas dingin. Tubuh mulai protes di langkah-langkah awal. Rasanya antara melayang dan menapak di bumi. Sesekali telinga mendenging bersama nafas yang menghempas dan dada yang menderu. Deru di dada ini bagi saya terasa ambigu : apakah menderu karena seru, atau menderu karena apa-apa di jantung? Sebagai pasien yang telah dua kali menjalani kateterisasi jantung, perkara ini harus saya kenali dengan baik.

Dari Dipo KRL saya tembus ke jalan Cagar Alam, terus menuju ke jalan Sawangan Raya. Tujuan jangka pendek saya adalah Gang Manggis di jalan Raya Parung Bingung daerah Meruyung. Gang Manggis ini memotong jalur lumayan signifikan. Tapi di sana saya harus banyak menuntun sepeda, karena konturnya yang curam sambil berpapasan dengan motor yang lalu lalang. Setelah agak datar, saya kembali menggowes.

Tiap kali melalui tanjakan yang memaksa saya menuntun sepeda, saya kadang berpikir, "Saya ini sedang ngapain sih?" Kayak buang waktu saja bercapai-capai begini. Padahal Banten Lama akan bisa dijangkau beberapa jam saja dengan mobil. Ga akan secapek ini. Tetapi di sisi lain saya terus membulatkan tekad bahwa saya sedang mencari pengalaman baru, menembus batas kelemahan fisik saya.

Namun Gang Manggis ini juga menyimpan ancaman. Saya sempat hampir bertabrakan dengan mobil di tikungan. Salah saya sendiri karena tangan kiri saya membuat video dengan HP, hanya tangan kanan yang memegang kemudi. Tiba-tiba ada mobil datang dari arah yang berlawanan sedangkan di sisi kiri ada gerobak sayur. Detik itu membeku. Mobil menghujam mendekat, gerobak sayur mengunci jalur kiri. Di kepala hanya ada satu pikiran: ‘Inikah akhir cerita? Saya bertabrakan di tikungan biasa karena rekaman video receh?’ Untung sang sopir lebih sigap daripada otakku yang lag. Saya selamat. Saya berjanji tak akan lagi merekam di tikungan, apalagi hanya dengan satu tangan menggenggam setang. Jangan ditiru ya. Jangan ya dek.. Jangan ya..

Salah satu kelemahan saya di navigasi. Ini semacam kecerdasan spasial yang rendah. Saya mudah tersasar dalam perjalanan, lain dengan seorang kawan kost saya dahulu. Hanya berbekal pengetahuan tentang jalan utama, dia bisa dengan mudah mengenali jalan-jalan alternatifnya. Sedangkan saya? Saya terpaksa berhenti hampir di semua tikungan atau persimpangan demi melihat peta di Google maps. Ini sebenarnya menyita waktu dan tenaga.

Meski setiap sebentar berhenti memeriksa peta, kayuhan terus saya pacu. Kali ini saya tiba di jalan Bogor – Jakarta mengarah ke Pamulang. Terik matahari dan kontur yang turun naik bersama dengan ketidakpahaman akan rute membuat saya tegang. FYI, kawasan ini bukanlah daerah yang sering saya lalui sehingga saya amat mengandalkan diri kepada peta.

Tapi yang lebih membuat saya galau adalah kondisi kesehatan saya. Terik matahari di kepala, terasa dingin di badan. Peluh mengucur tetapi serasa es. Saya nampaknya sedang kurang sehat, meriang. Apakah saya harus membatalkan perjalanan ini? Padahal saya sudah menggowes sekitar 20-an km dari rumah? Kemana muka ini akan saya sembunyikan kalau saya gagal?

Di sekitar Pamulang, saya mulai merasakan ada masalah di sepeda. Handle remnya terasa terlalu jauh. Mungkin bantalannya yang aus atau bisa jadi cuma setelan kabel rem yang kendor. Ini sebenarnya sudah saya rasakan di Gang Manggis ketika hampir berciuman dengan mobil di tikungan itu. Ada beberapa bengkel yang saya lewati di sekitar Pamulang, tapi selalu baru terlihat setelah terlewat. Untuk berbalik demi menyervice rem rasanya berat. Ntar aja lah, paling nanti di depan ada lagi bengkelnya. 

Kayuhan saya lanjutkan hingga tiba di BSD. Di sini saya juga merasakan selain masalah rem, retakan di ban makin jelas terlihat seperti peta sungai kering. Saya tahu ini bom waktu yang tinggal menunggu km berapa yang akan jadi titik ledaknya. Yang saya cemas, apabila ban pecah di sini sebab di BSD ini jalannya panjang, lengang tapi tidak nampak bengkel sepeda. Apakah saya harus mendorong sepeda berkilo-kilo meter sampai bertemu bengkel?

Azan Zhuhur mulai terdengar pertanda waktu sudah di pertengahan hari. Rute yang saya tempuh baru 30 km. Banten Lama di km ke 115 terasa jauh sekali dibandingkan waktu yang tersisa hanya 6 jam untuk hari ini. Karena saya sudah berkomitmen dengan diri sendiri saya akan mengakhiri perjalanan harian apabila Azan Maghrib sudah berkumandang. Jika kecepatan saya konsisten, mungkin saya hanya akan mampu mencapai km ke 90.

Rumah Makan Padang "Amanah Mande" di BSD

Selepas melewati BSD Junction, perut saya sudah mulai melilit, bersama dengan kondisi badan yang masih meriang panas dingin. Untung tak jauh dari sana, ada Pemadam Kelaparan : RM Padang kecil di pinggir pagar. Sepeda saya tinggalkan di trotoar, saya makan siang itu dengan telur dadar. Tak begitu berselera karena lidah tak berasa, tapi harus dimakan demi stamina. Satu lagi, saya pesan teh tarik demi menghangatkan badan. Saya pernah beberapa kali mengalami meriang dan selesai oleh teh tarik panas. Ia adalah kesatria yang datang sebelum kesatria tersembunyi menghunus tablet paracetamol.

Bersambung...

Sebelumnnya : Biketouring Indonesia: Depok ke Banten Lama (Persiapan Minim) - Bagian I

Posting Komentar

2 Komentar