Niat Ikhlas, Basis Kehidupan

Salah satu problem bangsa ini pada saat ini adalah problem niat dan keikhlasan. Begitu mudah orang menyatakan niat dalam setiap ucapan. Para calon penguasa mencoba mengutarakan apa yang diniatkannya kepada konstituennya namun kemudian banyak yang terdistorsi bila kekuasaan itu telah diraih. Lebih banyak lagi yang menyimbolkan kelurusan niat dan keikhlasan kerja dengan kata-kata dan motto, namun miskin implementasi dalam kenyataannya. Sehingga bangsa ini tidak pernah bisa keluar dari krisis karena tidak ada usaha yang benar-benar tulus.

Kisah Imam Ali mungkin bisa menginspirasi kita. Pada suatu perang, Imam Ali berbalik meninggalkan lawannya yang tergeletak tak berdaya. Pedang Zul-Faqar yang terkenal itu urung bersarung di tubuh musuh padahal hanya tinggal selangkah lagi, riwayat sang musuh akan segera tamat.

Tindakan itu dilakukan Imam Ali hanya karena satu hal. Musuh yang telah rubuh itu memprovokasi dengan cara meludahi wajah sang Imam sehingga Imam Ali terpancing emosi. Namun Allah menyelamatkannya dan Imam segera menyadari bahwa ia telah dikuasai oleh nafsunya sehingga mengurungkan kemenangan yang telah didepan mata.

Imam Ali telah menunjukkan kepada kita tentang bagaimana membangun niat yang benar. Kalau saja ia melanjutkan membunuh musuhnya itu, Ia telah membunuh bukan karena niat membela agama Allah tapi karena membela emosinya sendiri. Untunglah ia segera menyadarinya dan tidak terjerumus kepada jalan syetan.

Niat yang benar mampu membuat manusia tegas di jalanNya sehingga tidak ada ketakutan padanya. Niat memberikan tujuan sekaligus jalan bagi mereka yang telah mengazamkannya. Syaikh Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa niat adalah dorongan yang pasti atau dorongan yang kuat bukan lintasan pikiran atau hanya sesuatu yang terbetik di dalam hati. Dengan demikian, niat sebenarnya menggambarkan proses di dalam.

Niat adalah amalan hati yang hanya si empunya hati dan Allah saja yang tahu kelurusan niat seseorang. Orang lain tidak akan mampu mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya menjadi niat seseorang. Oleh karenanya Allah memberikan pahala yang berbeda pada malan yang sama tergantung tingkat niatnya. Seperti memelihara anjing bisa berpahala besar jika niatnya lurus dan dapat pula menjadi dosa apabila niatnya berbeda.

Niat berkait erat dengan keikhlasan. Di dalam Al-Quran dikatakan oleh Allah bahwasannya sebuah amalan akan hilang pahalanya jika tidak dilakukan dengan niat ikhlas. “Perumpamaannya (orang yang menginfakkan hartanya karena pamer) adalah seumpama batu licin yang diatasnya ada debu kemudian datanglah hujan dan bersihlah batu itu. (QS 2:264)” Demikian ayat ini mengumpamakan dengan perumpamaan yang telak.

Keikhlasan hanya akan muncul dari niat yang lurus. Banyak orang yang berusaha untuk ikhlas namun seringkali keikhlasan itu tersamun di tengah jalan karena goncangan dan perebutan kepentingan. Keikhlasan akhirnya mengalah, inilah ikhlas yang tidak berasal dari niat yang kuat.

Umar bin Abdul Aziz, ra (Umar II), Khalifah Rasyidin kelima mencontohkan bahwa kuatnya niat akan menjaga seseorang dari hilangnya keikhlasan. Khalifah Umar II dikenal sebagai Khalifah pertama yang menganjurkan warga Negara melakukan konversi ke Islam. Padahal, salah satu sumber pendapatan Negara pada waktu itu adalah jizyah yang dipungut dari non-muslim. Keputusan ini sama saja dengan mengurangi secara drastis sumber pendapatan Negara sehingga Khalifah dinasehati oleh stafnya, “Amirul Mukminin, jika kebijakan ini terus dilanjutkan, Negara kita akan bangkrut dan kita dapat gaji dari mana?” Dengan tegas Khalifah yang shalih ini menjawab,”Aku lebih suka hal itu terjadi sehingga kita akan makan dari hasil mengelola lahan pertanian dengan kedua tangan kita sendiri.”

Hanyalah orang yang ikhlas seperti Umar II lah yang mampu melakukan itu. Membuat kebijakan yang baik yang akan meyejahterakan banyak orang namun juga siap dengan resikonya berupa terkorbankannya kesenangan pribadi. Sejarah mencatat, tak berapa lama kemudian Khalifah diracuni melalui persekongkolan dinasti Bani Umayyah yang takut akan keikhlasannya.

Dialog kosmik antara Allah dan Iblis menjelaskan kepada kita begitu besarnya kekuatan niat ikhlas. Manakala Iblis telah melanggar perintah sujud kepada Nabi Adam as, Allah segera mengusir dan menyatakannya sebagai kafir. Iblis meminta kepada Allah agar dirinya dan anak turunannya diberi tangguh sampai akhir zaman agar dapat semaksimal mungkin merayu Bani Adam. Allah yang maha bijaksana memenuhi permintaannya. Iblis lalu memberi catatan bahwa ia akan menguasai Bani Adam “Kecuali hambamu yang ikhlas (QS 15:40)”.

Sementara orang lalu menghubungkan dialog kosmis itu dengan skenario Allah mengutus Iblis kepada manusia. Dengan kata lain, Iblis adalah hamba Allah yang paling patuh dengan menyediakan diri untuk dikutuk dalam rangka menjalankan tugas merayu manusia, Oleh karenanya, -menurut mereka- Iblis mesti dihormati. Namun menurut penulis, apapun penafsirannya, marilah kita mencoba ikhlas menerima perintah Allah untuk menjadikan Iblis sebagai musuh. Wallahu a’lam.

Post a Comment

1 Comments

Recent Posts