Iya-kan atau Tidak-kan : Pelajaran Bisnis dari Amrizal Zain



Semalam saya didatangi Amrizal –sahabat lama saya sejak di Sumatera Barat, mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir- hampir tengah malam. Sebelumnya, Amrizal sudah memberitahukan rencana kedatangannya terlebih dahulu melalui SMS yang kemudian saya mempersilakan beliau datang. Pembicaraannya sederhana; tawaran bisnis untuk memasok buku sejumlah tertentu kepada distributor. Sebenarnya, pihak distributor telah sering bertransaksi dengan penerbit buku tersebut untuk order yang sama. Namun untuk saat ini mereka butuh orang ketiga yang dapat memasok dengan volume lebih besar.

Pembicaraan tentang ini telah dibuka oleh Amrizal kepada saya sejak beberapa hari yang lalu. Saat itu saya sempat menanyakan apakah ada order-order sederhana yang dapat kita tindak lanjuti dan Amrizal langsung menawarkannya. Pada awalnya saya cukup tertarik. Betapa tidak, bisnis ini nyaris beresiko rendah. Pembeli sudah jelas, supplier sudah ada, investasi tidak terlalu besar dan tidak punya pengalaman melakukan wanprestasi –setidaknya dengan Amrizal. Saya langsung minta Amrizal siapkan order list dengan coretan-coretan kasar tentang cashflows dan margin yang bisa kita peroleh.

Untuk menyerahkan list dan hitungan margin itulah Amrizal bela-belain datang semalam. Dengan roman yang sedikit terkantuk saya menyambut Amrizal dengan gembira. Pun Amrizal mengaku juga cukup lelah. Katanya barusan ia bertemu dengan rekanan yang akan membeli buku tersebut dan melakukan pembicaraan-pembicaraan tentang project ini di samping ada project lainnya. Saya terus memperhatikan pembicaraan Amrizal, maklum, dari segi operasional bisnis, saya masih terlalu hijau ketimbang Amrizal. Lama saya tatap lembaran yang diajukannya dan memelototi satu persatu item yang dibutuhkan.

Angka-angka yang dibubuhkan di sana ternyata tidak semengiurkan seperti saya pikirkan sebelumnya. Nilai marginnya sangat kecil dibandingkan risk yang ditanggung. Saya berpikir, jika dana sebanyak ini adalah dana nganggur, bisa saja project ini dilaksanakan. Namun dengan mengingat jatuh tempo faktur dan pertimbangan cashflows, sepertinya project ini terlalu berat. Apalagi saya pun hanya memanfaatkan dana dari pihak ketiga yang butuh dirayu pula agar siap berinvestasi. Kesimpulannya, yang disepakati oleh Amrizal, kita belum berjodoh untuk project ini.

Pelajaran

Sungguhpun bisnis ini gagal running, saya mendapatkan beberapa pembelajaran penting. Datangnya Amrizal tengah malam, bela-belain memakai motor dari Bekasi ke Menteng mengajarkan saya tentang kerja keras, komitmen dan tanggung jawab. Amrizal tetap memenuhi sesuatu yang sebenarnya ia pun sudah berpikir bahwa kecil kemungkinan saya akan menyepakati project ini. Tapi, karena komitmen bahwa everything must be clear, Amrizal tetap datang. Saya dapat membayangkan betapa ia pun sangat lelah semalam itu. Bahkan saya pun ngobrol dangannya juga dalam kondisi melawan godaan kantuk. Sebelum pulang –dari Menteng ke Klender- Amrizal sempat nyeletuk kalau nanti sampai di rumah, ia tidak akan berpikir banyak selain kasur.

Pelajaran kedua adalah dari kalimat verbal seorang Amrizal. Katanya, karena ia telah membuka pembicaraan ini dengan saya sebelumnya, maka ia harus menyelesaikan dengan tegas walau kesimpulan akhirnya adalah tidak berjodoh, yang penting ada kejelasan. Jadi, sesuatu yang telah dimulai harus diakhiri dengan jelas. Ibarat membuka account di warung internet, jika sudah login, mesti logout, tidak boleh main close aja, apalagi langsung disconnecting. Ini penting karena beberapa orang bahkan melupakan saja pembicaraan yang telah dibuka dan menganggapnya hanya angin lalu.

Semoga berjodoh di lain kali.

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts