Saksi


Dua pasang tangan kekar menyeret jasad tuaku ke ruang pengap di sudut bangunan. Tangan itu begitu kasar sekasar tarikannya seolah tidak pernah menganggap kemanusiaanku. Ruang yang tidak saja pengap namun juga lembab. Dua lelaki tegap telah berdiri ditemani seorang lainnya yang tampak lebih muda. Ruang begitu hening. Tiba-tiba aku ditarik dan dihempas paksa pada sebuah kursi kayu.

"Brak!!"

Tubuhku menghentak kursi memecah keheningan. Kurasa kursi itu sudah sangat tua dan mungkin ribuan pantat makhluk malang sepertiku telah menghentaknya di kali yang lain.

Hentakkan yang begitu menyakitkan. Aku tak pernah berpikir di usia setua ini akan menghadapi hari yang begitu menyulitkan. Bukankah sudah seharusnya aku tenang dengan apa yang terjadi dalam diriku sendiri sembari menikmati jalan menuju Tuhan yang gerbangnya mulai mendekatiku? Mengumpulkan bekal demi bekal yang selalu kucecerkan semasa muda lalu menyimpannya dalam keranjang perjalanan panjang di lebuh yang makin dekat itu? Haruskan aku berhenti di sini hanya untuk suatu hal yang tidak ada sangkutnya denganku?

"Ceritakan semuanya!"

Aduhai, di usia ini aku masih dibentak? Bukankah seharusnya itu telah menjadi guratan masa silamku? Lama aku berjuang mengemas sisa-sisa bentakkan di sepanjang rel hidup yang kulalui dengan tertatih. Aku pungut ia dan kumasukkan ke dalam karung masa yang akan tertinggal sebagai cermin diri di sepanjang jalanku. Aku merasa telah begitu jauh meninggalkan karung itu sampai-sampai aku mulai lupa entah di sisi mana ia tertinggal.

Berat bagiku meninggalkan sisa-sisa bentakkan itu. Di setiap sisi hidupku ia hadir mengejar, mendampingi bahkan kerap ia menemani. Di masa lalu bentakkan menjelma menjadi istri terbaik dalam hidupku, menggantikan sosok yang tak pernah sempat mampir walau sekadar berziarah di rumah hidup ini. Dunia ini begitu keras sehingga membuangku dalam setiap putarannya, meninggalkanku di persimpangan awalnya, membiarkanku termenung, tercenung sembari mencoba dalam-dalam menghapus sekat antara aku dan dia. Di saat itulah bentak menjadikan aku ada lagi, membangkitkanku dari ketercenungan untuk kemudian melompat ke kancah deru dunia yang terus menerus menendangku ke tepi.

Di zaman Romusha, bentak menjadi teman sejatiku. Ia keras, menakutkan dan didampingi bayonet yang garang. Tapi tiap pagi ia menyapa dengan caranya, memaksaku untuk menjadi dirinya. Sering ia membuatku tak bisa lagi memisahkan malam dan siang, pagi dan malam atau senja dan gelap. Bentak benar-benar menyiksaku jiwa dan raga tanpa batas waktu dan tanpa hirau akanku.

Namun lama-kelamaan, waktu mengajarkan bagaimana menerima bentak di dalam diriku. Sedikit demi sedikit, hari demi hari, bentak memasuki diriku dan menjelma menjadi diriku lalu bersatu dalam sikapku. Kini akulah bentak dan bentak telah menjadi aku. Banyak rekan yang gagal berkawan atau bahkan sekadar turut berkenalan dengan bentak sehingga jasad mereka bergelimpangan sepanjang panggung romusha.

"Hei !! Mengapa diam? Kau tidak tuli kan?"

Bentakkan semakin menghardikku, ingin memisahku dengan masa silamku. Aku tak akan berhenti bercumbu dengannya, ia begitu indah untuk kupisah. Hariku semakin pendek untuk mencari waktu lain untuk menatapnya lamat.

Pertunjukkan romusha usai, tapi ia meninggalkan kawan yang telah menjadi diriku. Aku dan bentak. Di setiap perjumpaan, aku telah menakutkan banyak orang, mengelisahkan setiap diri yang mencemaskanku. Apa lagi? Aku telah begitu mengeras hasil romusha. Aku bukan lagi anak muda lembut yang dilepas dari sudut Priangan sana. Aku kini adalah singa garang yang mengaum karena luka, aku juga anjing pemburu kelaparan yang menyalak keras menyerbu buruan yang terus mengelak garisan takdir maut.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan Cip. Entah siapa nama sebenarnya namun yang kutahu, ia kupanggil "Cip" dan ia tersenyum. Cip juga bekas romusha, sama denganku. Hanya saja ia sempat dikirim ke proyek di Jepang sana yang tak kuketahui itu proyek ada di sebelah mananya Jepang atau proyeknya apa. Pernah Cip bercerita tapi aku tak terlalu menggubris. "Buat apa?" Pikirku kala itu. Pandangan Cip sangat berbeda denganku. Ia tenang dan tak berkawan dengan bentak. Begitu lembut, sampai-sampai aku tak percaya kalau ia bekas romusha.

Cip datang ke Jakarta dengan kapal barang dari Jepang tepat setelah negeri itu bertekuk lutut di depan Negeri Amerika. Jumpa pertama, Cip terlihat begitu kurus, ringkih, dada yang terbuka sampai dapat kuukur penyangga paru-parunya. Jalannya tertatih dan setiap langkah adalah perjuangan maha berat. Terdengar nafas yang sangat keras, melenguh dipaksakan. Aku sangat menakutkan dirinya. Tapi satu yang membuatnya lain, tatapan matanya dan raut muka penuh harap tanpa kecemasan. Aku tahu ia menahan sakit di setiap titik jasadnya, tapi ku juga tahu betapa keras hati dan tekad di dada remuknya.

"Prak!!!"

Hampir patah meja di depanku. Dua pria di hadapanku menatap tajam dan tak sabar. Tatapan itu ingin menekanku tapi, Tidak... Jangan sampai ia pisahkan aku dengan masa yang telah menyusun mozaik diriku.Wajah Cip kini membayang semakin nyata di pelupuk mata. Ia tersenyum dan melambai. Ah.. Andai saja ada waktu lebih lama kala itu...

Langkah Cip semakin terhuyung dan wajah itu akan segera menyapu bumi kalau saja aku sedikit terlambat menangkapnya. Tapi aku masih cukup takut kalau ia akan menuju jalan terjauh di tanganku. Panik. Bentak hadir didalamku melibas setiap pasang mata di jagadku. Semua kecut, wajah pucat memutih menjadikan merah wajahku terasa asing. Tapi yang jelas bentaklah yang menggerakkan mereka yang pias mencari pertolongan. Cip bangkit dan kini menjadi yang ketiga antara aku dan bentak.

Namun kini aku menghadapi pertanyaan baru. Hidupku harus berlanjut tapi kemana? Berat nian menatap hari-hari ini. Bentak seolah nanar. Aku mengajaknya bertemu, menyusun langkah masa hadapan tanpa melepas persahabatan. Kupanggil dia, namun ia tak dapat memberiku jalan. Katanya ia melihat tembok menghalangi tiap langkah. Ada yang terbuka, namun tetap berujung pada titik pertemuan ini. Hanya jalan buntu atau jalan melingkar yang membalik, itu saja untuk bentak. Bentak bingung dengan dirinya yang entah akan kemana. Sempat ia berpikir untuk tidak berjalan dan tetap saja berada di sini, menjadi artefak dalam hidupku. Masa depan tak lagi bersahabat dengannya.

Keputusasaanya telah menakutkanku, kebingungannya semakin mebahayakanku. Aku mati rasa. Sejenak pertemuan harus diakhiri agar aku dapat menatap pasti aku di depanku.

Lari.. Mestilah aku lari mencari aku. Lemah aku tergagap di sudut gubuk reot, semakin sayu. Dan pada suatu senja temaram lututku menyatu dengan tanah. Ada butiran panas di ujung pipi dan jatuh membasahi ujung lutut. Aku benar-benar tenggelam. Masaku mungkin akan hilang dan aku hanyut bersendirian. Tak tertolong.

"Krak!"

Dua petugas menarik tanganku ke belakang lalu mulai menampar pipiku seakan ingin meleraiku dengan pikiranku. Aku tersenyum dan aku tak ingin berpisah dengan bayangan diriku. Kapan lagi ada waktu seperti ini.

Tangan hangat menyentuh pundakku. Cip. Aku tahu ia dan bentak tak akur. Ada persaingan antara mereka untuk mendekatiku tapi aku tak ingin dipisah dengan bentak. Dengan dia aku bertahan di kamp menyakitkan romusha sehingga dapat menabung umur hingga hari ini. Lihat Cip! tampak begitu tua dan lemah. Usia telah diboroskannya di romusha. Tapi kini aku lihat dia berbeda. Ia kuat bahkan dari tiang gubuk ini sekalipun. Ia menatapku tajam tapi tak membuatku takut. Sinar mata itu telah menyelusup dari pupil mataku ke lensa, secepat kilat mencapai retina dan menerobos masuk ke otakku. Tapi.. oh tidak.. Sinar itu tak berhenti di otakku, ia menyelinap lambat menjejakkan kehangatan terus ke getaran dada menuju hatiku. Ya.. ia memberikan rembulan ke sudut hatiku.

Kini aku tenang. Cip tak banyak berkata. Ia hanya menagajakku membasuh muka dan menuju ruang bicara dengan Kesejatian. Katanya itulah yang telah menguatkan mata yang menempel di tubuh kuyunya. Aku terperangah. Cip mengajakku pada sisi yang aku tak berusaha untuk mengerti. Cip hanya tersenyum dan lagi-lagi menerbitkan kemilau di jantungku pada setiap ulasnya. Kini aku mulai merasa ada yang lain.

Cip mengajakku ke suatu tempat. Di sana orang berkumpul dengan tenang sambil berusaha berbincang dengan Sang Sejati. Aku menurut saja tanpa banyak berpikir. Sempat kurayu bentak menemaniku menyusun mozaik bersama dengan masa depan bersama. Tapi bentak tak bersuara selain memberi isyarat penolakkan. Sebuah garis ia tampakkan sebagai pembatas aku dan dia. Lenguhannya memaksaku mengerti salam perpisahan. Walau tak ikhlas, senyumnya berusaha dipaksakan.

Di tempat baru, aku menjadi seperti ini. Tak pernah lagi bentak berusaha memasuki hidupku. Walau terkadang ia lewat sambil lalu dan bahkan tak ingin untuk sekadar menyapa. Ah.. Bentak.. betapa jauh aku dengannya sekian lama.

Cip harus pergi. Raganya tak kuat menyangga tatap tajam penuh harapnya. Tapi ia telah titipkan tatap itu padaku di pertemuan itu. Pertemuan yang berjarak teramat sebentar dengan kepergiannya. Tinggallah aku di tempat baru itu, bergaul dengan mereka yang menatap sama seperti Cip. Mereka yang selalu bahagia seperti Cip yang tabah, menjadikan aku bertemu dengan jalan takdirku.

Hampir 60 tahun aku di tempat itu. Menyaksikan mereka yang terus mencurah setiap makna pada Kesejatian. Mereka bergerak di siang hari dan kembali di malam hari. Mereka datang dan pergi berganti raga berganti wajah, berganti rupa. Namun mereka terus mencari Kesejatian. Hanya aku yang tetap di situ sampai siang tadi.

Siang tadilah sebuah mobil berhenti di depan tempat kami mencari Kesejatian dan membawa aku untuk menjadi saksi atas Kesejatian yang mereka cari dan lakukan. Oh.., Sang Sejati.. Apakah gerangan yang terjadi?

"Krak!!"

Pipiku yang satu lagi mulai ditampar. Aku mulai tak tenang. Sudah lama aku tak berkawan lagi dengan bentak.

Cip telah memperkenalkanku akan Kesejatian dan ragaku menjadi tempat titipan tatapannya untuk Kesejatian itu. Dengan tatapan itu pula aku mengumpulkan kenangan yang silih berganti yang kini dengan bentak hendak dibuka. Aku tak akan melakukannya. Biarlah bentak terus menamparku asalkan ia tak pernah lagi menjadi diriku. Hatiku terus berharap agar bentak mulai memahami perpisahan yang tampaknya disesalinya. Tapi sudahlah. Aku terlalu tua untuk kembali ke pertemanan itu. Namun apakah yang hendak diminta dua orang kasar ini padaku?

Aku hanya menjalani apa yang merasuk ke dalam diriku melalui tatapan Cip dan hari demi hari berlalu di sekitarku yang tak beranjak. Aku tetap tak akan beranjak karena aku di sini untuk Kesejatian. Dan aku tak tahu apa yang terjadi di luar yang saat ini hendak mereka tanyakan padaku.

"Buuk!!"

Sebuah tinju di arah lain di tubuhku. Tapi aku terlanjur telah menuju Kesejatian untuk tahu bagian mana yang telah merasakan akibatnya. Aku hanya melihat segenap ruang menjadi putih mewangi dan wajah Cip tersenyum hangat menyambutku .[]

Menteng Raya 58, 13 Maret 2007

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts