Mengapa Dakwah Habaib Tidak Berkembang di Sumatera Barat?


Salah seorang Buya yang saya hormati di Sumatera Barat pernah mengajukan soalan mengapa dakwah para Habib tidak berkembang di Sumatera Barat? Di daerah lain seperti di Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi bahkan hingga ke ujung Papua kita temukan para Habib. Sedangkan di Sumatera Barat, jangankan dakwahnya, komunitas keturunan Habib pun tidak dapat kita temukan.

Sebagaimana masyarakat Sumatera Barat pada umumnya, ia baru mengenal adanya suatu kelompok yang bernama Habaib atau Sadah atau Asyraf belakangan. Yaitu ketika dia mulai berinteraksi dengan masyarakat Islam lainnya di luar Sumatera Barat. Di sana ia baru berkenalan dengan para Habib dan berguru pada sebagian dari pada mereka. Sedangkan di Sumatera Barat sendiri ia tidak menemukan Habib yang asli tumbuh dan membesar di sana.

Ada beberapa penjelasan yang mungkin dapat dijadikan sebagai dugaan mengapa kelompok ini tidak berkembang di sana.

Pertama, tentang karakter masyarakat. Ada klaim dari masyarakat Minang bahwa mereka adalah masyarakat yang egaliter. Di dalam masyarakat seperti ini, status yang didapat melalui jalur keturunan tidak terlalu mendapatkan tempat. Dengan kata lain, status Habaib yang lahir dari hubungan geneologis dengan Rasulullah tidak sesuai dengan karakter masyarakat Minang yang egaliter.

Terhadap pandangan pertama ini ada catatan yang dapat diajukan. Misalnya, jikalau jalur keturunan biologis ini tidak mendapatkan tempat, mengapa di beberapa tempat jalur ini pernah dan masih diakui? Contohnya di Lima Puluh Kota masih ada silsilah Bani Abdurrahman yang melestarikan kedudukan sebuah keluarga di tengah masyarakat. Pun juga di surau-surau tradisional, pola ini masih terpelihara. Jika Bani lokal saja bisa mendapatkan pengakuan, apatah lagi Bani Alawi?

Kedua, adalah tentang karakter keagamaan masyarakat Sumatera Barat. Umum disangka oleh kebanyakan orang bahwa masyarakat Sumatera Barat cenderung ke model Islam Puritan. Hal ini dihubungkan dengan sejarah kaum Paderi dan kuatnya Muhammadiyah -yang untuk batas tertentu juga puritan- di Sumatera Barat.

Terhadap pandangan kedua ini ada juga catatan yang patut diberikan. Pertama, apakah pandangan keagamaan Paderi ini memang puritan ala Salafi Wahabi, ataukah sebenarnya mereka hanya mengadopsi pola gerakan yang lebih keras? Apakah Paderi ini hanya gerakan mirip FPI yang meskipun keras namun pahamnya masih dalam lingkup Asy'ariyah? Beberapa anak muda Tarbiyah (kaum "tradisionalis") di Sumatera Barat memberikan perspektif baru. Menurut mereka, Paderi bukan kaum salafi wahabi. Dengan demikian ia tidak puritan jika memakai pandangan ini.

Kemudian tentang pandangan bahwa Muhammadiyah sangat kuat di Sumatera Barat, rasanya itu relatif saja. Mungkin di kota-kota, model Islam Muhammadiyah cukup terasa terutama di wilayah pasar. Namun di daerah pinggir kota dan di nagari-nagari luar kota, kaum tradisionalis sangat kuat. Surau-surau tarikat cukup bertahan.

Ketiga tentang model kekerabatan di Sumatera Barat. Ada dugaan bahwa para Habib yang datang dari Timur Tengah itu "kehilangan" anaknya begitu menikah di Ranah Minang. Menurut cerita yang masyhur, Bani Alawi yang datang dari Hadramaut umumnya adalah lelaki dan mereka menikah dengan warga lokal. Di daerah-daerah yang bersistem patrilineal, anak-anak para Habib yang dilahirkan oleh perempuan lokal ini tetap membawa dan terbawa ke dalam kaum ayahnya. Misalnya ayahnya bermarga Syihab, anaknya turut bermarga Syihab.

Lain halnya bila ia menikah dengan orang Minang yang matrilineal. Misalnya ia menikah dengan perempuan bersuku Chaniago maka anaknya bukan dikenal sebagai Syihab lagi tetapi sebagai Chaniago. Ia akan dibesarkan di rumah gadang kaum Chaniago sebagaimana mestinya seorang Chaniago. Ia akan hidup dan terikat dalam kaum ibunya. Ia terserap benar ke dalam masyarakat ibunya itu.

Seorang kawan yang mencari silsilah Tuanku Imam Bondjol pernah bertanya kepada orang Bondjol tentang fam Shahab yang ada di nama belakang Tuanku Imam Bondjol. Jawaban orang sana, "Ia di sini lebih dikenal sebagai orang Chaniago*)."

Saya pribadi lebih cenderung pada pandangan ketiga ini. Lazim di Minangkabau apalagi di zaman dahulu, hubungan Ayah dan anak tidak terlalu kuat karena seorang anak adalah bagian dari klan ibunya. Ia akan dibesarkan oleh dan untuk klan ibunya ibu.

Ilustrasi sederhana, misalnya seorang Habib bermarga Assegaf menikah dengan perempuan bersuku Piliang. Dari pernikahan itu ia mendapatkan anak laki-laki. Dan tentu saja anak laki-laki ini tidak akan dikenal sebagai Assegaf, melainkan sebagai Piliang.

Lalu, ada Habib lain bermarga Alhabsy menikah dengan perempuan bersuku Bodi. Dari pernikahan itu ia memperoleh anak perempuan. Dan tentu saja anak perempuan itu akan dikenal sebagai seorang Bodi ketimbang seorang Alhabsy.

Bila anak kedua Habib itu berjodoh, akan terjadilah pernikahan antara Piliang dengan Bodi. Bukan antara Assegaf dengan Alhabsy. Dan tentu saja pernikahan ini akan diurus oleh Datuk Penghulu kaum Piliang dan Bodi. Dan jika pasangan ini memperoleh anak, anaknya akan bersuku Bodi sesuai suku perempuan.
 
Dimana Assegaf dan Alhabsy mereka?
Jawabnya : hilang karena mereka telah terserap ke dalam klan ibu mereka.

Perhatikan, hanya berjarak dua generasi saja, klan sang Ayah yang habib sudah hilang. Jika klan saja hilang, apalagi ikatan pada keluarga dan kultur keluarga Ayahnya yang tertinggal nun jauh di Yaman sana.

Coba saja tanya pada orang Minang nama kakeknya dari jalur Ayah 4-5 generasi ke atas. Sepertinya akan lebih banyak yang menggeleng dari pada yang menjawab.

Mungkin itu sebabnya mengapa kultur Minang sulit ditembus bahkan oleh kultur Habib sekalipun.

Note :
*) Saya lupa-lupa ingat apakah jawabannya memang suku Chaniago atau suku lainnya. Kalau ada pembaca yang tahu, boleh tinggalkan komentar

Sumber gambar : Youtube Sidogiri

Post a Comment

2 Comments

Recent Posts