Ticker

6/recent/ticker-posts

Membaca Peran Orang Dekat Kekuasaan

Hajib, Letkol Teddy, Prabowo, Ibnu Khaldun, Foucault

Dalam podcast Bocor Alus Politik yang diproduksi Tempo, terungkap bahwa ada sejumlah memo dari menteri yang berisi substansi kebijakan tidak sampai ke meja Presiden Prabowo. Padahal memo-memo itu dititipkan melalui Letkol Teddy Indra Wijaya, mantan ajudan Prabowo yang kini menjabat Sekretaris Kabinet. Informasi ini menunjukkan betapa strategisnya kedudukan Letkol Teddy dalam jejaring kekuasaan di sekitar Presiden.

Untuk memahami fenomena ini, ada baiknya kita melirik kembali catatan klasik yang menjelaskan fenomena serupa. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyebutkan jabatan-jabatan dalam Istana dan juga menyebut evolusi dari suatu jabatan yang secara hierarkis relatif rendah, berkembang menjadi jabatan yang sangat strategis dalam jaringan kekuasaan. Itulah dia Hajib. Sesuai namanya, Hajib berarti ‘pembatas’ (Hijab), yakni orang yang mengawal pintu menuju ruang raja. Sebuah posisi yang tampaknya sepele dalam struktur pemerintahan.

Akan tetapi, sebagai pengawal paling dekat kepada raja, Hajib berwenang memeriksa siapa saja yang hendak bertemu raja untuk memastikan keselamatan raja. Setiap tamu mulai dari rakyat biasa hingga perdana menteri harus diperiksa apakah membawa senjata atau tidak. Jika membawa senjata, senjata itu mesti dititip kepada Hajib. Lama-kelamaan, Hajib bukan hanya memeriksa senjata, tetapi juga menyeleksi siapa yang boleh menemui raja dan siapa yang tidak. Hajib juga yang mengagendakan jadwal bertemu raja. Bahkan ketika hendak bertemu atau berkomunikasi dengan raja, Perdana Menteri perlu mendapatkan konfirmasi jadwal dari Hajib terlebih dahulu.

Sekilas Hajib bukan mengatur raja, melainkan mereka yang hendak bertemu raja. Namun hakikatnya, Sang Raja pun diatur oleh Hajib. Raja tidak dapat bertemu dengan tamu, kecuali sesuai jadwal yang disusun Hajib. Raja pun hanya dapat bertemu dengan orang-orang yang diloloskan oleh Hajib. Lama-lama, informasi yang diketahui raja terbatas kepada informasi yang telah disaring oleh Hajib. Dalam kondisi ini, Raja menjadi terisolasi dari realitas. Satu-satunya realitas yang dia ketahui hanyalah realitas yang telah diseleksi oleh Hajib.

Hajib telah mengalami evolusi. Dari semula hanya pengawal yang menjaga pintu, kini menjadi pengatur raja. Dari semula hanya mengatur jadwal tamu, kini mengatur jadwal raja. Dari semula hanya memberi izin masuk kepada tamu, kini menjadi penyaring informasi yang diterima raja. Raja pada akhirnya tunduk pada ekosistem yang dipilihkan oleh Hajib.

Fenomena ini membawa kita kepada apa yang dikatakan Foucault tentang kekuasaan. Bahwa kekuasaan tidak melekat pada jabatan tertentu, tetapi beroperasi melalui relasi dan posisi dalam jaringan. Kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang bekerja melalui hubungan seperti aliran energi dalam sistem. Seperti ditunjukkan Foucault dalam Power/Knowledge, kekuasaan bekerja melalui sirkulasi pengetahuan, bukan melalui kepemilikan posisi formal. Ia beroperasi dalam ruang yang tampak remeh, dalam praktik sehari-hari, dalam kendali atas arus informasi dan akses. Semisal Hajib yang tampak remeh ini, tetapi menjadi mata rantai penting dari relasi kekuasaan. Ia menjadi jembatan antara jabatan formal dengan para pemangku kepentingan. Ia menjadi simpul tempat kekuasaan mengalir dan bekerja sekaligus medium yang memungkinkan kekuasaan berlangsung. Dalam hal ini, bukan pangkat atau jabatan tinggi yang menentukan kekuasaan, melainkan kendali atas akses dan informasi. 

Di negara kita, nampaknya Teddy sudah menjadi peran mirip Hajib dalam dunia istana klasik. Keluhan para menteri yang terungkap dalam podcast Bocor Alus Politik menjadi indikasinya. Kemampuan para Teddy untuk mengatur informasi tentang apa yang boleh atau tidak boleh diterima Presiden, menjadikannya sangat penting dalam jaringan kekuasaan. Sejauh ia mampu mengontrol arus informasi itu, sejauh itu pula ia menjadi simpul penting dalam kekuasaan.

Akan tetapi Teddy bukan seorang. Sejak dahulu para pejabat tinggi umumnya mempunyai "Hajib". Hajib ini adalah orang kepercayaan yang telah mendampinginya sejak sebelum menjadi pejabat tinggi. Dia bukan PNS, tak memiliki pangkat atau golongan meskipun kadang diberikan jabatan nominal sekedar asisten pribadi atau staf khusus. Tetapi semua pejabat karir dalam kantor itu tidak dapat melangkahinya. Mereka walaupun secara kepangkatan lebih tinggi, harus mendapatkan persetujuan Hajib kalau ingin bertemu dengan sang pejabat tinggi. Bahkan akan lebih efektif menemui Sang Pejabat tinggi itu jika melalui jalur Hajib ketimbang bersurat secara formal ke lembaganya, sebab surat itu belum tentu akan sampai ke meja sang pejabat tinggi. 

Secara berseloroh dapat dikatakan, "Jika sang pejabat adalah orang nomor 1 di kantor itu, Hajib ini adalah orang nomor 1.5."

Lalu jika Prabowo adalah RI-1, Gibran RI-2, Teddy apa? Apakah dia RI 1.5? 

Tanya je, jangan marah..

Posting Komentar

0 Komentar