Dialog Dengan Direktur Penelitian LP3ES

Sehubungan dengan banyaknya lembaga Survey yang melakukan berbagai penelitian menjelang Pemilu, saya mengajukan beberapa pertanyaan polos pada Kanda Fajar Nursahid, M. Si, Direktur Penelitian LP3ES.
Pertanyaan saya adalah :
Salam. Mas fajar
  • Apakah secara metodologis dan praktis, hasil survey punya kemampuan memprediksi?
  • Apakah kemampuan survey hanya melakukan snapshot pada batasan spasial dan temporal saat survey itu dilakukan saja, atau melangkah lebih jauh sampai memprediksi?
  • Apakah kisaran capaian parpol berdasarkan survey itu dengan sendirinya membuat effort partai menjadi tak berguna?
  • Apakah dengan demikian, swing voters tak lagi terwujud?
  • Apakah mereka yang menyatakan "sudah mantap" pada saat pengumpulan data survey betul-betul "sudah mantap" dengan statemen "sudah mantap" itu?


Salam Hangat

Yudi

Kemudian pertanyaan saya dijawab cukup jelas oleh beliau (thanks ya mas!)

Berikut jawabannya

Yudi yang baik dan kritis..
Survei, jika dilakukan dengan metodologi yang benar, tentu saja memiliki kemampuan untuk memprediksi. Karena memang itulah esensi survei sebagai salah satu paradigma ilmiah (positivistik), memiliki kelebihan untuk dijadikan dasar penarikan kesimpulan (generalisasi) dalam batas kesalahan (margin of error) yang bisa ditoleransi, misalnya, 2 atau 3 %. Sebagai contoh, ribut-ribut soal DPT yang sekarang lagi marak digugat partai politik soal jumlah pemilih yang menggelembung, misalnya, jauh hari sudah diprediksi oleh LP3ES per Agustus 2008 saat Daftar Pemilih saat itu masih berstatus sebagai DPS. Saat itu melalui audit terhadap DPS yang dilakukan berbasis survei, ada sekitar 19% masyarakat yang terindikasi berpindah tempat --baik permanan ataupun sementara waktu, ada 3% data tidak valid baik karena yang bersangkutan sudah meninggal, belum cukup umur, anggota tentara/polri, dan sebagainya. (Untuk penjelasan lebih lengkap soal "Kisruh DPT" silakan baca artikel saya yang dimuat di Koran Sindo, Minggu 29 Maret 2009, dalam versi on-line dapat diunduh di http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/224891/).

Kamu benar, masa keberlakuan hasil survei bersifat temporal dan spasial. Artinya, survei hanya bisa menggambarkan secara snapshot berdasarkan situasi pada saat survei dilaksanakan. Makanya waktu dan cakupan wilayah (apakah kabupaten, provinsi, ataukah nasional) menjadi konteks penting yang tidak bisa dipisahkan. Tetapi dalam survei, apalagi jika itu dilakukan secara berulang (time series), akan terdapat pola tertentu yang bisa dijadikan acuan untuk memprediksi keadaan secara lebih jangka panjang. Terlebih jika hal itu didukung oleh kondisi yang tidak berubah secara ekstrem, baik karena kondisi yang memang relatif stagnan ataupun adanya treatment tertentu terhadap populasi. Maka keberlakuan hasil survei tersebut menjadi relatif kuat. Data mengenai perkiraan 3 layer partai politik dalam Pemilu 2009 yang saya kutip dalam posting saya terdahulu, merupakan pola yang terbentuk dari tracking survei selama beberapa bulan terakhir. Meskipun itu didapat bukan dari aktivitas survei yang bersifat serial, tetapi dengan analisis cross-reference, bisa menjadi data yang tersambung dan membuat pola sebagaimana survei time series pada umumnya.

Dalam kaitannya dengan survei preferensi politik, tentu saja petanya sangat mungkin berubah. Itulah makanya, partai atau aktor politik yang cerdas, justeru akan menggunakan hasil survei untuk memberikan treatment tertentu terhadap populasi untuk mengubah konstelasi yang ada. Sebagai contoh, ketika LP3ES mengumumkan hasil survei pada Januari 09 yang salah satu temuannya menunjukkan bahwa elektabilitas SBY kalah dibandingkan Megawati di Indonesia Timur, sebagai aktor politik yang 'cerdas', SBY lalu melakukan kunjungan dinas ke Manokwari. Ini adalah salah satu bentuk treatment yang paling sederhana. Lalu apakah peta politik jadi berubah? Itu diperlukan survei lanjutan untuk mengukur tingkat perubahan yang terjadi setelah treatment dilakukan. Nah, saya kira, treatment politik dikaitkan dengan hasil survei semacam ini lazim dilakukan oleh partai-partai politik atau kandidat yang mau maju dalam bursa Pemilu/Pilkada, termasuk mengontrak lembaga tertentu sebagai konsultan politiknya. (Hanya saja perlu dipisahkan antara fungsi lembaga survei sebagai produsen pengetahuan dengan konsultan politik, yang dalam praktik keseharian sering campur-aduk nggak karuan).

Saya tidak mengatakan bahwa effort partai tidak berguna. Justeru yang saya selalu sarankan kepada partai-partai adalah, jadikan hasil kajian empiris melalui survei sebagai bahan penting untuk menyusun strategi memberikan treatment kepada masyarakat. Itu makanya setiap kali hasil survei LP3ES diumumkan, saya selalu share ke sejumlah kawan yang aktif di partai politik untuk ditimbang sebagai referensi. Dengan begitu, harapannya, mereka bisa punya effort untuk mengubah peta politik senyampang mereka sempat dan mampu.

Posting saya terdahulu soal prediksi perolehan suara partai-partai pada Pemilu 2009 menurut survei bukan saya maksudkan sebagai "vonis mati" kepada partai politik --dan memang bukan itu maksud survei dilakukan. Saya hanya hendak menyampaikan bahwa partai-partai perlu juga bersifat realistis, jangan hanya mengandalkan klaim politik yang kurang berdasar sehingga kalkulasinya tidak akurat.

Lalu, apakah survei selalu benar dan dapat dipercaya? Tentu saja tidak. Saya dan begitu juga hasil survei, tentu saja bisa salah. Tetapi tidak ada maksud --dan apalagi sengaja, untuk menipu atau mengelabui. Setidaknya inilah tradisi yang saya pelajari selama 10 tahun bergelut dengan dunia survei di LP3ES.

Salam,
Fajar



Post a Comment

0 Comments

Recent Posts