Clergy in Minangkabau 2

Selain struktur kekuasaan keagamaan informal sebagaimana posting sebelumnya, di Minangkabau juga terdapat struktur lain yang terintegrasi dengan adat. Jika struktur Ustad, Buya, Guru, Syech lebih sebagai pengakuan sosial, maka struktur yang berikut ini diresmikan sebagai bagian aturan hukum di Minangkabau.

Begitu Islam diterima sebagai agama resmi, serta merta keseluruhan warga Minang beralih menjadi Muslim. Masuknya agama Islam ke Minangkabau cukup unik. Walaupun tanpa peperangan, namun sisa-sisa kebudayaan Hindu-Budha nyaris pupus, padahal sebelumya penjajah Jawa sempat menyerang dan menawan dua anak dara dari negeri ini untuk menjadi istri penguasa di sana.

Mengikuti rakyatnya, kekuasaan adat di Minangkabau pun mengikuti perubahan. Dilakukanlah pembagian kekuasaan tertinggi di Ranah ini. Lembaga Raja Ibadat yang bertahta di Sumpur Kudus dibentuk sehingga kekuasaan Raja Dua Sila (Raja Alam dan Raja Adat) bertambah menjadi Raja Tiga Sila dengan tambahan Raja Ibadat. Eksekutor yang biasa disebut Besar Empat Balai juga berubah. Sebelumnya di lembaga ini ada empat anggota yakni Tuan Titah di Sungai Tarab, Indomo di Saruaso, Makhudum di Sumanik, dan Tuan Gadang di Batipuh. Setelah Islamisasi, posisi Tuan Gadang di Batipuh digantikan oleh Tuan Kadi di Padang Gantiang. Dari peristilahan “Tuan Kadi” jelas sekali bahwa lembaga ini adalah lembaga agama yang berasal dari kata “Qadhi” dalam Bahasa Arab.

Namun demikian, perlu dipahami pula bahwa dalam masyarakat Minangkabau, posisi kuasa kerajaan tidaklah signifikan. Ia hanya simbol yang secara efektif tidaklah mempunyai kekuasaan di daerah asli Minangkabau. Raja hanya menjadi pemerintah bagi daerah Rantau (daerah luar Minang yang tunduk pada Raja Minangkabau). Malah ada sejumlah informasi bahwa Raja Alam Minangkabau hanyalah Raja pelarian yang diberi tanah untuk membuat Istana di Minangkabau. Menurut cerita, sebelumnya kerajaan ini adalah Kerajaan Melayu yang bermarkas di Hulu Sungai Batang Hari yang juga disebut sebagai Kerajaan Dharmasraya. Nama ini kemudian diabadikan menjad nama kabupaten di Hulu Sungai Batang Hari. Kerajaan ini diserang oleh pasukan dari Jawa dalam ekspedisi Pamalayu, sehingga menjadi lemah. Salah seorang raja kerajaan ini –Adityawarman- meminta perlindungan ke pedalaman Minangkabau sehingga diberikan tempat di Pagaruyung. Kalau pembaca pernah ke Pagaruyung, akan terlihat bahwa tempat ini lebih layak disebut persembunyian ketimbang ibukota.

Kekuasaan sesungguhnya di Minangkabau justru berada di keluarga besar (suku/clan) yang didasarkan oleh kekerabatan berbasis Ibu (matrilineal). Salah seorang anggota keluarga yang dianggap paling cakap diangkat sebagai penghulu yang bergelar Datuk. Setiap suku mempunyai Datuknya masing-masing dengan gelar masing-masing pula. Akbat kedatangan Islam, struktur suku pun mengalami perubahan. Selain Datuk, dibentuklah semacam lembaga eksekutor yakni Manti (Menteri), Malin (Muallim), dan Dubalang (Hulubalang). Ketiga jabatan inilah yang mengelola berbagai urusan sebuah suku.

Tetapi ada juga di tempat tertentu di Minangkabau, struktur keagamaan tidak melekat pada suku, tapi pada Nagari. Misalnya di Gunung Malintang, Kabupaten 50 Kota. Di sana, struktur keagamaan dibagikan antar suku. Struktur tertinggi yakni Khatib, dijabat oleh suku Domo, Imam oleh suku Melayu, Bilal oleh suku Pagar Cancang, dan Siak oleh suku Piliang. Di suku Melayu nagari Kampung Tangah, Kab Agam berbeda pula. Strukturnya tidak seketat di 50 Kota. Pimpinan tertinggi tetap di Tangan Datuk Marajo, namun ada dua institusi keagamaan dalam suku itu yakni Imam Putih dan Khatib Marajo. Kebetulan, yang menjadi Datuk Marajo adalah Om saya, dan jabatan Khatib Marajo pernah disandang oleh adik nenek saya sejak tahun 1940-2005. Ia diangkat sebagai Khatib pada usia sangat muda sampai-sampai nyaris tidak ada lagi yang tahu siapa nama aslinya sebab di Minangkabau, bila seseorang telah bergelar, ia harus senantiasa dipanggil dengan gelarnya, bukan namanya.

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts