Mau diapakan Ahmadiyah?

Ada empat usul yang diajukan Menteri Agama untuk menyudahi masalah Ahmadiyah yakni 1. Dibubarkan, 2. Kembali ke ajaran Islam yang benar, 3. Membuat agama baru, 4. Dibiarkan. Keempat usul ini berasal dari satu asumsi yang berbahaya bahwa Ahmadiyah adalah "salah" dan ajaran Islam Mainstream adalah "benar". Asumsi selanjutnya adalah bahwa Ahmadiyah adalah pembuat masalah sedangkan selain Ahmadiyah tidaklah membuat masalah. Asumsi ini membuat semua usulan pada dasarnya adalah 'treatment' pada Ahmadiyah. Dalam hemat saya, masalah Ahmadiyah ini muncul bukan karena orang-orang Ahmadiyahnya. Masalah ini datang justru dari orang-orang yang tidak bisa menerima eksistensi Ahmadiyah oleh karena itu orang-orang inilah yang seharusnya mendapatkan "treatment' tertentu.

Marilah kita kaji usulan ini satu persatu jika objek dari usulan ini adalah kaum Ahmadiyah.



1. Dibubarkan
Keyakinan itu hidup dalam jiwa seseorang. Sesuatu yang hidup di dalam jiwa tidak dapat diganggu-gugat. Usul ini terlihat tidak rasional, bagaimana mungkin keyakinan dibubarkan? Yang bisa dibubarkan hanyalah organisasi atau institusi.

2. Kembali ke ajaran Islam yang benar
Ajaran Islam manakah yang benar? Apakah ajaran yang dianut oleh mayoritas umat Islam serta merta berarti benar? Sejak kapan Islam menerima kebenaran agama ditetapkan oleh mayoritas?

Sebagian kalangan memberikan jawaban bahwa ajaran Islam yang benar adalah ajaran yang kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah. Pernyataan ini lebih tepat dianggap sebagai kriteria teoritis ketimbang kriteria praktis. Apa makna kembali pada Qur'an dan Sunnah jika keduanya tidak bisa dijadikan kriteria praktis?

a. Kembali pada Qur'an
Kembali pada Qur'an artinya menimbang realitas berdasarkan teks-teks Al-Qur'an. Secara sederhana hal ini telihat mudah. Semasa saya masih remaja saya malah berkhayal untuk mengumpulkan semua pemimpin Islam di satu konferensi untuk menguji berbagai keyakinan dan praktek agama mereka dengan Al-Qur'an. Jika ada yang berbeda, maka harus legowo menggantinya. Lalu konferensi ini akan menghasilkan suatu konsepsi keyakinan dan amaliah resmi Islam. Ide ini sekarang malah membuat saya ketawa dan untungnya saya tak lagi berpikir tentang ide yang ke-remaja-remaja-an ini (untungnya ide ini dulu muncul memang saat saya masih 16 tahun, masih remaja).

Ide "kembali pada Al-Qur'an" ini ternyata tidak semudah itu. Al-Qur'an sendiri terdiri dari ayat Muhkamat (jelas) dan Mutasyabihat (ambigu). Malangnya, Al-Qur'an sendiri tidak menjelaskan mana ayat yang Muhkamat dan mana yang Mutasyabihat. Jadi akan ada dua masalah terkait ini yakni menentukan ayat mana yang muhkamat atau mutasyabihat dan menentukanmakna dari ayat mutasyabihat itu sendiri. Ujungnya harus kembali merujuk pada penafsiran masing-masing penafsir. Oleh karenanya pernyataan "kembali pada Al-Qur'an" tidak dapat dimaknai secara praktis.

b. Kembali pada Sunnah
Dimana kita menemukan Sunnah? Tentunya pada hadits. "Kembali pada Sunnah" hanya dapat dimaknai apabila sebuah hadits dapat dipastikan benar. Adakah itu?

Proses periwayatan hadits berlangsung jauh setelah wafatnya Rasul (tahun 632 M). Upaya resmi pertama untuk mengumpulkan hadits dilakukan oleh Raja Umar bin Abdul Aziz (wafat pada 720 M) dari Kerajaan Umayyah, namun tidak diketahui kitab hadits apa yang dihasilkan. Upaya setelah itu belangsung setelah Kerajaan Umayyah jatuh dan Kerajaan Abbasiyah berkuasa. Raja Abbasiyah kedua yang bernama Abu Ja'far Almanshur (wafat pada 775 M) memerintahkan seorang ulama Madinah yang bernama Malik Bin Anas (wafat pada 795 M) untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi. Malik kemudian melakukannya dan menghasilkan satu kitab bernama Al-Muwatha yang merupakan kitab hadits pertama. Mansur meminta agar kitab itu dijadikan standar hadits yang resmi namun Malik menolak. Upaya pengumpulan hadits secara besar-besaran dan serius baru berlangsung pada abad ketiga hijrah dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Bukhari, Muslim, Nasa'i, Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majjah. Kitab dari keenam tokoh ini disebut Al-Kutubus Sittah.

Dari paparan di atas, pengumpulan hadits nabi itu berlangsung jauh sesudah wafatnya nabi (hampir tiga abad). Kalau dianalogikan kepada saat sekarang, jarak antara wafatnya nabi dengan pengumpulan hadits itu hampir sama dengan jarak kita saat ini dengan kelahiran Imam Bonjol atau Diponegoro, jadi jauh sekali. Karena jarak yang jauh itu, para ahli hadits membuat metode untuk menguji kebenaran suatu hadits. Dalam metode ini sebuah hadits dikategorikan pada beberapa kategori yakni Shahih, Hasan, dan Dhaif. Hadits Shahih berarti hadits yang "Diduga kuat benar", hadits Hasan adalah hadits yang "Diduga benar" sedangkan hadits Dhaif adalah hadits yang "Diduga salah". Artinya, tingkat kebenaran hadits pada dasarnya hanya dugaan atau sangkaan. Apa yang diduga benar boleh jadi salah begitu juga sebaliknya.

Jika demikian, apakah kembali kepada Sunnah dapat diandalkan? Jawabannya tidak. Sesuatu yang pada saat tertentu dianggap sahih oleh tokok tertentu, boleh jadi dianggap tidak sahih oleh tokoh tertentu. Karenanya ada "Shahih menurut Bukhari", "Shahih menurut Muslim" dst.

Oleh karena kebenaran tafsir Al-Qur'an tidak mutlak dan kebenaran hadits hanyalah sangkaan (zhan) maka "Kembali pada ajaran Islam yang benar" menjadi sangat relatif.

3. Membuat agama baru
Pilihan ini mensyaratkan kita untuk menyelesaikan masalah otoritas Agama. Siapakah pemegang otoritas agam Islam? Jawabnya tidak ada karena Islam tidak mengenal sistem kependetaan. Yang ada hanyalah otoritas dalam organisasi atau mazhab tertentu (dan tidak semua mazhab mempunyai otoritas). Dengan tidak adanya otoritas agama dalam Islam, maka tak ada pula yang berhak mengeluarkan orang dari satu agama.

Secara historis jalan keluar membuat agama baru ini tidak dapat diandalkan. Kasus yang paling dekat adalah Lia Eden. Sejak tahun 90-an Lia Aminuddin telah memproklamirkan agama baru di luar Islam bernama Salamullah, namun tetap saja dia diganggu sampai saat ini.

4. Dibiarkan
Pilihan ini adalah yang paling rasional dan menurut saya merupakan pilihan paling bertauhid. Tauhid meniscayakan pengesaan Allah dan mengakui bahwa semua manusia setara di hadapan Allah. Oleh karena itu semua manusia berhubungan langsung dengan Allah dalam segala bentuk keyakinannya. Manusia lain bukanlah penguasa bagi manusia lainnya dalam berhubungan dengan Allah. Oleh karena itu biarkanlah semua orang beriman kepada Allah dengan caranya dan konsepsi masing-masing dan biarkan pula masing-masingnya bertanggungjawab di muka Allah.

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts