Menyapa Blog yang Terlantar

Barangkali blog ini tak layak lagi disebut anak tiri. Mungkin lebih tepat sebagai anak terbuang. Setahun terakhir ia tak pernah diberi makan, miskin minum atau sepotong gula-gula. Sama sekali tidak ada. Ia tak terkunjungi bahkan tak terpikir untuk dikunjungi. Bak peti rongsokan di sudut gudang, sunyi, terlunta, terlupakan. Sebuah kisah sedih yang makin mendayu jika diulas. Tapi sederhanya begini saja, ada bocah lucu lain yang menarik perhatian. Ia lincah, cepat, cergas, adaptif, lucu, ringan, dan santai. Seringkali ia muncul sebagai perempuan genit dan tak jarang malah seperti bocah tua genit yang jijay :)



Blog adalah fenomena yang membesar sekitar 2-3 tahun yang lalu. Itu sebenarnya jangka yang terlambat saya kira jika diukur semenjak istilah weblog diperkenalkan oleh Jorn Barger tepatnya pada bulan Desember 1998. Saya menyebut kiraan 2-3 tahun lalu karena pada saat itulah blog seolah menjadi budaya pop yang gaungnya mungkin tak kalah dari Facebook dan Twitter pada hari ini. Namun belakangan blog makin sepi terlindas Facebook dan Twitter ; dua bocah lucu tersebut.

Sepanjang amatan saya, blog mengajarkan tiga karakter; berpikir teratur, bertulis teratur, dan tanggungjawab gagasan. Hampir bisa dipastikan blog hanya hidup di tangan manusia jenis ini. Kendati tak membatasi batas minimal penulisan, blog memaksa author membuat tulisan tidak pendek. Mouse komputer akan kewalahan jika blogwalking hanya untuk menemukan blog dengan posting 420 karakter seperti Facebook atau 140 seperti di Twitterland. Untuk menghasilkan itu, seorang penulis butuh berpikir mulai dari agak serius sampai kontemplatif. Kalau pun sebuah posting berisi lelucon, candaan, dan seqabilahnya, tetap diawali dari proses yang lebih serius ketimbang sekedar lontaran. Sebuah proses berpikir selalu meniscayakan tesis dan antitesis yang selalu berhadap-hadapan sehingga membuat gagasan yang tertuang semakin matang, semakin bijak dan semakin dapat dipertanggungjawabkan. Ada argumentasi, data dan kelogisan yang berpadu untuk menghasilkan sebuah posting sesederhana apapun. Walhasil, blogger rata-rata lebih "bijak" karena proses berpikir, mengungkap dan menuliskan itu.

Lalu mengapa Blog ini terlantar sampai lebih dari setahun? Alasannya kembali kepada bocah lucu bernama Facebook tadi. Awalnya saya sering kehilangan ide yang bisanya mengalir di saat yang tak diduga-duga. Kadang saat di bis, di kereta, ada kejadian dan ide membara. Sering juga saat mengemudi motor ide itu melonjak-lonjak minta perhatian apalagi saat menghadiri diskusi, rapat, seminar dan saudaranya. Akan tetapi begitu sampai di rumah, ide itu terlupa dan teringat kembali saat naik bis, di motor atau berada di tempat yang tak diharapkan tadi. Karena itulah pada awalnya saya mengintensifkan penggunaan Facebook untuk tujuan itu, menyimpan gagasan, menjadi bank ide. Tapi di sini lah bencananya. FB ternyata adalah sebuah realitas tersendiri yang punya pakem tersendiri pula. Ia mengikat yang ada di dalamnya, menciptakan dunia yang unik dan melenakan. Kita disibukkan dengan lontaran-lontaran yang kadang memancing untuk ditanggapi walau tak bermanfaat secara konten dan konteks. Secara konten seringkali dangkal, secara konteks sering irrelevant baik pada sisi orangnya maupun konteks spasio-temporalnya.

Saya tak hendak mengkambinghitamkan FB untuk keterlantaran blog ini. Saya sangat salut kepada Facebooker yang mampu menyepadankan budaya melontar status dengan budaya menulis teks di FB. Facebook memang menyediakan layanan dahsyat yang hampir-hampir sanggup mengantikan semuanya. Ada note yang mengancam blog, ada chat yang menakuti YM apalagi MiRC, ada message yang membuat e-mail hanya sebagai barang mati penanda identitas, ada fasilitas foto uploader melawan Photobucket atau Flikr apalagi Picasa, ada Video untuk menandingi Youtube, ada reminder, ada link, dan sebagainya dan sebagainya yang semuanya hadir secara integral tanpa perlu mencari lagi script-script yang tersebar seperti di blog. FB sesaat seolah air bah yang siap menghantam pulau-pulau web. Di sinilah, dengan segala kelengkapan fasilitas itu, FB terasa mubazir hanya sebagai tempat melontar status. Dengan ini pula, saya angkat topi dengan seorang friend FB saya yang mampu menyeimbangkan status dengan note. Dalam satu tahu pertemanan di FB, ia menghasilkan hampir seribu note/tulisan!! Salut.

Akan tetapi ada tiga hal yang tak terdapat di FB, kesenyapan, keterbukaan, dan karakter. Ia senyap karena tak akan diketahui apa yang baru darinya tanpa usaha dari pengunjung mendatanginya. Penulis punya kesempatan untuk merenung dan mengunggah tulisannya. Namun di sisi lain ia sangat terbuka karena tak menuntut "log in" untuk membacanya. ia terbuka begitu saja, dapat dikomentari siapa saja. Tapi jangan harap komen di blog hanya kata-kata manja ala FB. Blog juga menyajikan relevansi dengan penulisnya. Blog hadir sebagai extended personality sang penulis. Lihatlah kustomisasi desain yang bisa dilakukan di blog yang benar-benar luas. Dari desain blog, pengunjung bisa memahami sang penulis dan sang penulis bisa mengkomunikasikan dirinya. Ini jadi semacam dunia simbol yang mungkin perlu kajian semiotis.

Karena itu, halaman kost-an berupa blog ini perlu dimanfaatkan agar berguna bagi penulisnya. Buat pembaca? Belum tentu. Yang penting nikmati sajalah, tidak usah dibayar.

Post a Comment

1 Comments

  1. setubuh... eh setuju,, haha.. kalo anda penggemar kopi silahkan mampir

    ReplyDelete

Recent Posts