Bencana dan Keadilan Tuhan

Beberapa bulan terakhir ini, musibah datang susul menyusul tanpa jeda. Sehabis banjir di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, disusul rubuhnya tanggul Situ Gintung lalu dilanjutkan dengan banjir bandang di Sumatera Barat. Tidak hanya bencana alam, musibah tergelincirnya pesawat sampai pendaratan darurat juga menimpa. Ditambah lagi petir yang datang silih berganti menyambar puluhan orang disertai tumbangnya pepohonan mengancam banyak orang serta berakibat pada macetnya berbagai aktifitas kehidupan.

Bencana merupakan sesuatu yang datang dari luar diri manusia. Ia adalah aspek luar yang berakibat pada manusia di luar kehendak manusia itu sendiri. Tak seorang pun yang tewas dalam bencana air bah mengira akan terjadi bencana itu sehingga mereka tak punya daya saat air bah menyapu masuk ke kamar dan ke tempat tidur mereka. Kilatan petir adalah proses elektrik sebagai hasil interaksi antara unsur-unsur muatan atomik di udara yang meluncur ke bumi secara tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi. Bencana seperti ini datang sekejap mata dan manusia tak punya waktu untuk berusaha menghindar. Muncullah pertanyaan bagi kita. Mengapa Allah yang Maha Penyayang menurunkan bencana dan musibah? Bukankah Ia Ar-Rahman yang sangat menyayangi hambaNya? Tapi mengapa Ia tega melihat hambaNya mengerang kesakitan dan meregang nyawa? Mengapa yang Maha Adil hanya menurunkan bencana pada sebagian saja dari golongan hambanya sementara sebagian yang lain tak tersentuh?Pertanyaan seperti ini berkecamuk di kepala kita dan butuh jawaban.

Dalam Surah Ar-Syura ayat 34, Allah menjelaskan musabab datangnya musibah, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” Namun tak semua perbuatan negatif tangan manusia berakibat pada musibah itu. Lanjutan ayat ini menjelaskan bahwa “ dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” sehingga Allah menghindarkan kita dari musibah. Ayat ini memperlihatkan kepada kita betapa kerusakan yang diciptakan oleh tangan manusia melalui berbagai cara seperti pemusnahan, kelalaian, ketakpedulian pada keseimbangan alam telah menjerumuskan manusia pada kerusakannya sendiri. Ayat ini juga memperlihatkan keadilan Allah yang tak sewenang-wenang menjatuhkan musibah pada sembarang orang. Bahkan dibalik “kekejaman” bencana, ternyata begitu banyak kerusakan yang kita ciptakan dimaafkan oleh Allah. Sebagai contoh, sadar atau tidak, knalpot kendaraan bermotor kita telah merusak udara namun Allah memaafkan itu sehingga tak semua kita diberi penyakit akibat polusi itu.

Namun demikian, mengapa Tuhan seringkali tak menjatuhkan bencana pada mereka yang membuat kerusakan besar seperti para pengembang yang tak memperhatikan keseimbangan alam atau pengusaha yang merusak ekosistem hutan? Tuhan bahkan memberikan kesenangan kepada mereka sehingga tak merasakan efek dari kerusakan itu. Untuk menjelaskan ini, Allah memberikan keterangannya bahwa Ia memang menunda hukuman pada mereka selama di dunia. “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali" (Q.S. 2: 126).

Allah dengan keadilanNya menganugerahkan fitrah asal yang sama kepada manusia yakni kecenderungan pada kebaikan. Keburukan bukanlah sifat asli manusia. Oleh karena itu, Tuhan menurunkan bencana sebagai sarana loncatan pengalaman berhubungan dengan Tuhan bagi mereka yang beriman, sementara bagi mereka yang tidak beriman, bencana adalah sarana untuk memutar haluan pada jalan kebaikan. “Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Q.S. 7: 16)

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts