From MAKASSAR with...

Akhir Agustus lalu tepatnya tanggal 27-31 Agustus 2007, PB PII menyelenggarakan Sidang Dewan Pleno Nasional (SDPN) di Makassar Sulawesi Selatan. SDPN merupakan Sidang peringkat kedua setelah Muktamar Nasional. Setiap periode harus menyelenggarakannya sekurang-kurangnya satu kali dalam periode kepengurusan. Pada tahun 60-an, sidang ini dinamakan Konferensi Besar yakni persidangan antara dua muktamar, begitu informasi dari Kak Zoubair Bakry, mantan PB PII, dan Mantan Ketua KAPPI Sulsel. 

Agenda SDPN kali ini diramu dalam satu tema besar yakni "Penguatan Strategi menuju PII dinamis dan produktif". Tema ini diturunkan dari kebijakan umum PB PII periode ini yang memfokuskan issu pada penguatan internal sebagai implementasi dari Rencana Jangka Panjang PII. Perdebatan di Arena SDPN menggambarkan usaha anak muda untuk merumuskan dirinya sendiri, mendinamisasi dirinya lengkap dengan perangai dan kurenah khas anak sekolahan.

Bagi saya sebagai Sekjend, SDPN ini penting untuk mendapatkan masukan terhadap kinerja PII secara keseluruhan sekaligus kinerja sekretariat jenderal secara khusus. Tertumpang satu kewajiban di pundak saya untuk menjamin dinamisasi proses internal di PB PII sekaligus kelancaran saluran komunikasi PII internal dan eksternal. 

Saya sangat merasakan sekali apresiasi kader-kader PII yang hadir, meskipun kritis, namun sangat konstruktif. Apa yang membanggakan dari SDPN kali ini? Bagi saya ada beberapa hal. Pertama, telah muncul kesadaran untuk mengefektifkan forum SDPN sebagai sarana evaluasi kinerja organisasi. Ingat bukan Kinerja PN an sich. Situasi ini membuat SDPN tidak dikungkung oleh frame bahwa arena ini adalah arena pemanasan untuk saling tuduh antar eselon. Semangat ini sangat terlihat dari pernyataan-pernyataan PW tentang kesiapannya untuk turut dievaluasi apabila proses pelaksanaan program justru terkendala karena proses di tingkat wilayah atau daerah. Begitu juga, beberapa PW memberikan jalan keluar atas berbagai persoalan bukan lagi dalam perspektif wilayah vis a vis PB, namun beralih menjadi perpektif Pengurus PII se Indonesia melihat masalah. Adalah peralihan dari PB oriented ke problem solving oriented. 

Kedua, adanya keterbukaan untuk menerima konsepsi baru. Sangat terlihat dari sidang pembahasan komisi dan sidang plenonya. Usaha dari Bidang Litbang mengintrodusir konsep Balanced Score Card sebagai instrument manajemen untuk mengukur kinerja PII nasional sangat diterima dengan kritis oleh semua peserta. Ini menjadikan PII sebagai Ormas pelajar pertama yang menggunakan konsep ini. Dengan Penggunaan ini, artinya PII mempercayakan pengukuran kinerja secara objektif dan terukur, bukan lagi berdasarkan pertimbangan ketika muktamar saja seperti di Ormas lain. Implementasi ini akan menghindarkan usaha pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mempolitisir laporan pertanggungjawaban kepengurusan. Muktamar PII harus bersih dari political eksperiment. Ini Competitive Advantage yang harus, mutlak dan tidak bisa tidak harus dipertahankan di PII sampai titik darah penghabisan. Ini perkumpulan pelajar sekolahan..bukan perkumpulan politik. 

Namun di balik itu, masih ada satu hal yang perlu diperhatikan benar-benar. Yakni strategi agar forum benar-benar efektif. Sudah hal biasa di Indonesia, sidang sampai larut malam, namun telat untuk sidang paginya. Keterlambatan ini selalu berulang setiap kali melanjutkan sidang selepas jeda. Ke depan harus diperhatikan lagi. 

Terlepas dari proses SDPN itu sendiri, bagi saya pribadi, ini adalah kunjungan kedua di Makassar. Pertama kali ke sana adalah saat Muktamar Nasional PII ke 23 tahun 2002 di gedung yang sama. Saat ini saya masih Sekum PW PII Sumbar. Kala itu, saya tidak bisa jalan-jalan. Hanya datang dari pelabuhan ke lokasi, lalu selesai muktamar, kembali ke pelabuhan. Beda dengan sekarang Saya sempat berkeliling kota Makassar sambil nyetir tengah malam, karena kalau siang kan masih sidang. Kita berkeliling sampai jam 4 pagi, namun tidak menemukan coto makassar. Akhirnya kita makan ikan bakar Lamongan.. He..he.. Temanku yang orang lamongan berkomentar,"Masak jauh-jauh dari Jakarta ke Makassar dapatnya masakan lamongan?". Pada malam berikutnya barulah kami mendapatkan coto. 

Kunjungan kali juga memberi kesempatan kepada saya untuk naik pete-pete. Ternyata naik pete-pete juga sama dengan naik angkot.

Sebenarnya masih ingin lebih lama di Makassar untuk berkunjung ke Bone, Toraja, Bantimurung dan lainnya.. sayang gak sempat. Untungnya sempat ke Karunrung.. 

Kuliah di Jakarta harus segera di hadiri. Jadi saya harus segera ke Jakarta pada tanggal 3 September. 

Kunjungan ini sangat berharga.. Karena ada yang dibawa dan ada yang ditinggalkan. 

From Makassar with... (gayana ji)

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts